Kedaulatan Rakyat, Analisis, 10 Maret 2012
Kasus Ajib Hamdani, menarik perhatian untuk disimak. Walaupun diduga memiliki uang sampai dengan 17 milyar rupiah di rekeningnya, pembawaannya santai di depan media. Ada beberapa perbedaan kasus Ajib dengan kasus Dhana dan Gayus, biarpun ketiganya bekerja di Dirjen Pajak dan ditugaskan di Jakarta, lahan paling “basah” di Indonesia.
Pertama, baik Gayus maupun Dhana, keduanya ditangkap saat masih menjadi PNS aktif. Sedangkan Ajib menjadi berita justru karena pengajuan pengunduran dirinya sebagai PNS sejak 2009 tidak pernah mendapatkan kepastian. Ajib bahkan meminta jika kasus mafia pajak dibuka, oknum dibalik terhambatnya pengunduran dirinyalah yang pertama diperiksa.
Kedua, Ajib memanfaatkan media, baik media tulis melalui blog maupun media televisi untuk klarifikasi terhadap tuduhan kepadanya. Dalam tiga hari terakhir, ia sudah melakukan roadshow ke berbagai media elektronik nasional. Hal ini berbeda dengan Gayus dan Dhana yang cenderung menghindari media dengan cara sederhana, menutupi wajah dengan topi atau berlari di tengah kerumunan wartawan.
Ketiga, apabila kasus Gayus pertama kali disampaikan Susno dan ditindaklanjuti KPK, sementara Dhana ditahan Kejaksaan. Ajib justru dilaporkan Irjen Kemenkeu ke Mabes Polri. Artinya Ajib satu-satunya orang yang dilaporkan instansinya sendiri. Masalahnya, penyelidikan terhambat karena surat Mabes kepada Kemenkeu untuk meminta data tiga perusahaan belum dikabulkan sejak 8 Februari.
Keempat, walaupun ketiganya memiliki rekening fantastis, hanya Ajib yang berani melakukan pembuktian terbalik. Dalam safety box Gayus ditemukan emas dan uang senilai 74 milyar dan Dhana memiliki mobil mewah Bentley yang berharga milyaran. Sementara Ajib tak banyak mengkoleksi harta, luas rumah Ajib seluas 141 m².
Selama proses menunggu apakah status Ajib akan meningkat menjadi tersangka seperti dua orang seniornya di STAN, ada beberapa catatan kecil tentang pemberantasan korupsi. Dalam beberapa literatur korupsi, dapat dikategori dalam tiga pendekatan: individu, institusi dan budaya. Bagi pendukung liberal, korupsi adalah pilihan rasional setiap orang untuk melakukannya. Setiap orang akan memiliki perhitungan untung rugi sebelum melakukan korupsi. Seandainya keuntungan materialnya lebih besar daripada ancaman hukuman, seseorang akan korupsi. Sehingga perlu mekanisme hukuman yang berat agar seseorang tidak korupsi.
Pendukung pendekatan kedua percaya bahwa institusi menjadi pendorong utama seseorang untuk korupsi. Bisa jadi, seseorang yang tidak pernah berniat untuk korupsi, terjebak dalam jaringan institusi yang memaksanya untuk korupsi. Inilah yang disebut mafia pajak sehingga setiap individu tidak memiliki kontrol rasional untuk melakukan atau menolak korupsi karena kekuatan institusional yang memaksanya korupsi. Mereka yang menolak bekerjasama akan segera disingkirkan karena “mengganggu” sistem korup tersebut. Cara paling efektif untuk meminimalisir korupsi institusi adalah reformasi institusional dengan pengetatan aturan dan hukuman. Dibutuhkan pemimpin yang kuat dan berintegritas untuk menghapus mafia yang berjejaring sangat kuat.
Ketiga korupsi merupakan manifestasi dari kebudayaan masyarakat yang korup. Masyarakat secara sukarela menerima perilaku korup yang menjadi bagian dari keseharian mereka. Hal ini bisa terjadi karena rendahnya kesadaran sebagai warga negara. Contohnya sederhana, ketika selesai membuat KTP, orang cenderung ingin memberikan “uang terima kasih” kepada petugas, padahal hal tersebut sudah menjadi tugasnya dan mereka digaji untuk itu. Walaupun diberikan dengan “iklas” hal ini mendorong korupsi. Semakin lama, ketika semua orang melakukannya, petugas hanya melayani mereka yang memberinya sogokan. Merubah kultur masyarakat tentu tidak mudah dan butuh proses panjang.
Kasus Gayus, Dhana dan Ajib berada didalam ketiga kondisi yang memungkinkan mereka melakukan korupsi. Ancaman hukuman koruptor di negeri ini sangat rendah dan tidak pernah menyentuh orang kuat. Ditambah dengan dibatalkannya pengetatan remisi bagi koruptor akibat gugatan Yusril di PTUN, resiko korupsi semakin rendah.
Di sisi lainnya, walaupun reformasi di Dirjen Pajak terus berjalan, mafia pajak masih kuat mencengkeram. Dalam Blog Ajib, ia memposisikan diri sebagai orang yang menolak setoran ke atasan. Laporan Irjen adalah rekayasa untuk menjatuhkan nama baiknya.
Artinya, kasus Ajib justru menunjukkan bagaimana berhasil tidaknya reformasi di Dirjen Pajak dilakukan. Apabila Ajib tidak terbukti melakukan yang disangkakan, bisa jadi bola panas akan menggelinding kembali ke Inspektorat Kemenkeu. Sekali lagi justru menegaskan bahwa mafia pajak masih berkuasa.