Menjadi Mahasiswa Australia (lagi)

Saat mendapatkan beasiswa ADS dan memulai studi di ANU lima tahun lalu, ada seingat saya semuanya mudah karena dua hal. Pertama, ada staff ADS yang membantu dan kedua banyak teman-teman yang satu program sehingga bisa saling mengingatkan.

Hal ini agak berbeda dengan kondisi sekarang, seolah seperti baru saja datang ke Canberra. Banyak hal yang saya lupa, misalnya terkait enrolment untuk kelas (jika ada). Prosedur dan caranya tentu bisa didapatkan dengan mudah di situs kampus, tapi bedanya dulu kami enroll sama-sama untuk pertama kalinya dengan dibimbing dari ADS Staff. Sekarang harus sendirian. Selain itu, karena dulu OSHC atau asuransi kesehatan dibayarkan oleh kampus dan saya hanya terima jadi kartunya, sampai sekarang saya belum beli OSHC. Masalahnya, butuh beberapa hari agar kartu ATM bank dikirim ke alamat rumah, tidak instan seperti di Indonesia. Untuk urusan rekening ini, kita memang lebih cepat.

Urusan lainnya yang cukup menyenangkan adalah bahwa mahasiswa PhD mendapatkan kantor yang bahkan sudah disiapkan sebelum saya datang. Kantor itu tak luas, kira-kira hanya 4×3 meter dan diisi dua orang. Tapi sampai saat ini kantor saya masih sendirian. Disediakan computer baru corei5 Dell dan jaringan internetnya. Hanya saja, saya tak bisa install program, apalagi program bajakan, harus lewat admin kampus. Kantor ini ternyata membantu banyak hal. Kalau dulu saat master gak ada kantor, repot juga harus nenteng buku perpustakaan kesana-kemari ditambah reading brick yang cukup tebal. Sekarang, masih leluasa tanpa tas ke perpus, karena ditinggal di kantor, jadi ada ruang transit yang ternyata sangat bermanfaat.

Saya juga mengalami hal lain yang seru yaitu tinggal di asrama mahasiswa. Kebetulan saya menggantikan (sublet) kawan dari Indonesia yang menengok istrinya ke Amerika selama dua bulan, kamarnya sementara saya pakai. Asrama ini ada di University House yang tidak ditawarkan secara online dalam pemilihan akomodasi kampus. UniHouse memiliki sekitar 200 kamar yang disewakan untuk tamu Universitas dan 61 kamar yang khusus disewakan untuk mahasiswa PhD. UniHouse dibangun tahun 1960 dan mengalami perbaikan di sana-sini. Di ANU, asrama favorit adalah Graduate House yang letaknya disamping UniHouse. Di GH, mahasiswa master boleh tinggal. Selisih harga keduanya tidak terlalu jauh, kalau UniHouse $22 / hari, di GH sekitar $23/hari.  Selain di GH dan Unihouse, ada beberapa bangunan lain misalnya ToadHall, tempat dulu saya tinggal dan yang baru:Unilodge.

Unilogde uni harganya bisa dua kali harga di GH karena bangunannya yang baru dan memang market yang disasar adalah mahasiswa atau professional yang bekerja di City Centre. Harganya minimal $275 per minggu (UniHouse hanya $172 perminggu setelah Utilities).

 Satu hal yang terulang adalah menjadi penghuni asrama yang semuanya bekerja dengan system sharing. Kamar mandi, toilet, dapur, dll harus sharing. Saat sharing, kita harus ingat akan kepentingan dan kebutuhan orang lain.  Kalau biasanya agak jorok, harus pintar menjaga diri karena kita tak ingin kejorokan orang lain juga mengenai kita. Disini hidup mahasiswa dari 5 benua dengan karakter yang tentu saja jauh berbeda, belum kita bicara agama, kebiasaan dan kulturnya. Menariknya, aturan yang tegas dan tempelan dimana-mana untuk menjaga toleransi ternyata mampu menyamakan kepentingan 5 benua itu dalam satu konsep: memikirkan orang lain.

Memikirkan orang lain ini bisa membuat orang tak sembarangan menggunakan toilet, tak sembarangan menggunakan kompor dapur dan turut menjaga kebersihan asrama. Ini semangat yang tinggal sedikit tersisa di banyak benak kita. Lawan dari itu tentu saja, memikirkan diri sendiri yang dampaknya merusak.

Saya ingat status teman di FB yang mendengarkan seorang ibu menasehati anaknya yang mengambil bola bukan miliknya di sebuah taman umum disini. Alih-alih mengatakan bahwa hal ini melanggar agama karena bisa dikategorikan mencuri, ibu ini bilang: “Apa kamu suka jika orang lain mengambil bola milikmu yang kausayangi? Ayo kembalikan. Letakkan dimana engkau menemukannya”

 Well, semangat menghargai orang lain ini bisa jadi sekarang kita butuhkan. Bukankah itu yang diajarkan agama-agama?