Ini adalah tulisan pertama kali tentang music. Hari Minggu menjelang Natal di Canberra memang terasa sepi di Kampus, tentu di Canberra Centre memuncak keramaian, tetapi saya menyendiri di kamar UniHouse, membaca buku Koentjoroningrat dan sesekali mendengarkan musik Dewa19 di Youtube, terutama konser reuni Dewa19 Juni 2012.
Bagi saya dan juga banyak orang lain, musik adalah bagian dari nostalgia masa lalu yang tak mungkin diulang kembali. Saat Achmad Dani mengumumkan Dewa19 adalah band nostalgia, bagi saya, Dewa19 adalah band nostalgia sejak tahun 2000.
Sekali lagi, music adalah persoalan nostalgia. Musik disukai karena merupakan milik jamannya. Kebetulan, jaman saya tumbuh menjadi remaja di era 1994 saat masuk ke SMA, Dewa19 mengeluarkan album Format Masa Depan dan setahun kemudian Terbaik. Album terbaik keluar disaat kecintaan pada music memuncak dikala itu. Sehingga bagi saya, album terbaik sepanjang masa adalah album Terbaik milik Dewa19.
Album Terbaik Dewa19 ini menemani salahsatu periode penting dalam proses pencarian jati diri. Dia menemani tebing-tebing curam, tenda-tenda seadanya di lereng-lereng gunung di Jawa yang saya daki, mulai Merbabu, Sundoro, Sumbing, Lawu dan Semeru. Album Terbaik dan gunung-gunung itu adalah salah satu kenangan indah yang pernah saya miliki.
Sayangnya, umur kreatifitas bermusik itu tak lama, paling banter sampai umur 35 an tahun. Setelah itu, sedikit pencipta lagu yang terus menciptakan lagu baru, seolah menegaskan bahwa musik adalah memory. Saya punya beberapa contoh untuk hal ini. Pertama, Iwan Fals. Walaupun tetap eksis dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah Raya lahir, Iwan Fals tak cukup mampu menciptakan lagu yang fenomenal seperti di era 1980-1990 an, sebelum Galang meninggal dunia. Padahal suprasistem saat ini jelas lebih mendukungnya untuk berkreasi dibandingkan dengan jamannya berkarya. Kedua, KLA Project yang walaupun sudah berkumpul kembali, albumnya tak sefenomenal dulu. Ketiga, Ebiet G Ade yang sangat produktif di umur 20-30 an dan kemudian berhenti.Keempat, tentu saja Slank, dalam situs resminya, Slank tetap mengklaim komposisi ajaib mereka ada sebelum bubar, saat masih bersama Bongki, Indra dan Pay. Masih ada sederet bintang lain yang bisa menjadi contohnya, walau ada beberapa pengecualian. Dhani misalnya, adalah salah satu musisi terhebat yang pernah dimiliki Indonesia.
Sayangnya, musisi-musisi harus berjuang keras sejak internet semakin lama semakin popular. Kalau jaman dulu, orang masih repot mendengarkan lewat kaset, sekarang bisa download langsung via iPod dan HP dengan kualitas suara yang tak jauh berbeda. Namun demikian, cerita pembajakan adalah cerita lama, hanya metodenya yang berubah dan caranya semakin mudah. Kalau dulu harus memiliki tape double deck untuk mengcopy lagu yang hasilnya sering tak sama atau merekam melalui radio, sekarang hanya butuh beberapa klik dengan kualitas suara yang sama dengan aslinya.
Tantangan teknologi ini, dibarengi dengan sifat dasar manusia yang mau untung, menyebabkan tak mudah lahir musisi hebat Indonesia di beberapa tahun terakhir. Musisi juga manusia yang butuh hidup dari hasilnya berkarnya, mirip dengan penulis yang menulis buku. Tetapi teknologi memungkinkan proses karya itu tidak dihargai dalam bentuk materi, tetapi popularitas saja. Padahal musisi juga butuh materi, tidak hanya popularitas. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang komunal, lagu yang baru dilauncing, sudah dapat diundur di Internet bahkan sebelum CD nya bisa sampai ke toko music. Saat saya membeli CD Iwan Fals (asli) dan saya masukkan ke laptop, iTunes bahkan menawarkan untuk mengimport seluruh isi CD kedalam iTunes library. Jadinya CD tersebut hanya digunakan satu kali saja.
Jadi kalau sekarang lahir era boyband yang tidak jelas itu, mungkin itu akibat kesalahan kita juga yang tidak menghargai hasil karya monumental musisi kita. Mungkinkah akan lahir grup atau musisi seperti Iwan Fals, Kla Project, Dewa19, Ebiet G Ade, Chrisye, Slank dan belakangan Padi atau SheilaOn7? Ah sekali lagi, mungkin saya sedang bernostalgia.