Tahukah anda mengapa gelar raja-raja Mataram begitu hebat dan luar biasa? Sebelumnya mari kita lihat gelar empat raja Mataram yang tersisa. Sebenarnya tidak empat raja, dua raja dan dua lagi penguasa wilayah. Tapi toh gelar keempatnya mirip-mirip dan luar biasa mentereng, walaupun hanya sebagian dari gelar panjangnya.
Pertama, Sultan Hamengkubuwono yang berarti yang memangku dunia. Artinya, seluruh dunia berada dalam pangkuannya. Kedua, Pakualam, menjadi paku atau sumber atau intisari, tidak hanya dunia, tetapi alam semesta. Ketiga, Mangkunegaran, memangku negara, dialah intisari dari negara. Keempat, Pakubuwono, menjadi paku dunia. Pendeknya, keempatnya menjadi inti dari seluruh dunia dan alam semesta, walaupun realitasnya, kekuasaannya hanya beberapa ratus/ribu hektar dengan supervisi ketat VOC dan Pemerintah Belanda.
Saya membaca buku G Moedjanto (1987) yang berjudul Konsep Kekuasaan Jawa: penerapannya oleh raja-raja Mataram, terbitan Kanisius. Gelar-gelar yang mentereng tersebut menurut Moedjanto karena seluruh keturunan raja Mataram berasal dari petani sehingga dibutuhkan gelar sebagai basis legitimasi kekuasaan. Hal ini dibuktikan dengan gelar Panembahan (yang dipakai Panembahan Senopati) yang sebenarnya bukan gelar untuk golongan ningrat. Juga gelar Ki Ageng (yang digunakan Ki Ageng Pemanahan) yang hanya menunjukkan legitimasi local diantara petani.
Sehingga, keturunan raja-raja Mataram adalah keturunan yang mencoba untuk terus memburu gelar sebagai basis penguat legitimasi kekuasaan. Istilahnya tetap mendapatkan: trahing kusuma, rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih. Saat berubah menjadi Mataram Islam, gelar Sultan dipakai karena menunjukkan adanya legitimasi atas Islam yang mulai menyebar. Gelar Sultan dipandang lebih tinggi dari gelar sebelumnya yang pernah ada. Perburuan gelar itu terhenti saat sudah mencapai level yang sudah tidak bisa lagi disamai oleh orang kebanyakan. Jadi perwujudan politik identitas oleh raja-raja Mataram dilakukan dengan menegaskan gelar kebangsawanan yang mustahil disamai oleh bangsawan lainnya.
Keturunan petani ini juga terus dipertanyakan, terutama oleh pemberontak. Trunojoyo, yang memberontak dan berhasil mengusir Amangkurat II dari keraton menghina bahwa keturunan raja Mataram itu ibarat tebu,” Raja Mataram iku dak umpakakake tebu, pucuke maneh cen legiyo, sanadjan bongkote ing mbiyen ya adem bae, sebab raja trahing wong tetanen; angor macula bae bari angona sapi” ( Raja Mataram itu saya umpamakan tebu; masakan ujungnya manis, pangkalnya saja sejak dulunya terasa tawar, sebab raja keturunan petani; lebih baik kalau mencangkul saja sambil menggembalakan sapi) (Medjanto 1987, hal. 84) . Trunojoyo kemudian ditangkap atas bantuan Pangeran Puger dan VOC. Kepalanya konon berada di bawah anak tangga menuju makam Imogiri. Siapapun yang akan berziarah ke Makam Imogiri akan menginjak kepala Trunojoyo.
Perlawanan terhadap raja Mataram bahkan juga dilakukan oleh seorang kepala desa. Namanya Ki Ageng Mangir (perhatikan gelar Ki Ageng Mangir Wanabaya yang mirip Ki Ageng Pemanahan) yang berkuasa di sekitar Kulonprogo, tak terlalu jauh dari pusat kekuasaan. Untuk meredam pemberontakan Mangir, Raja mengutus putrinya untuk menggoda Mangir dengan menjadi seniman keliling. Setelah terpikat, Mangir menikahi putri raja ini. Mangir kemudian dapat dibujuk untuk mengadap raja. Pada saat melakukan sungkem kepada mertuanya, raja menghantamkan kepala Mangir ke lantai. Mangir tewas seketika. Makamnya saat ini ada di Makam Kotagedhe dengan posisi yang paling mudah dikenali. Separuh makam berada di dalam tembok makam, dan separuhnya lagi berada di luar tembok. Jadi makam Mangir pas dibelah di bagian perut, separuh diluar, separuh di dalam. Hal ini untuk menunjukkan bahwa Mangir separuh dianggap sebagai menantu dan separuhnya pemberontak.
Masih menurut Moedjanto, basis petani bagi raja-raja Mataram ini membawa implikasi kekuasaan yang serius. Dalam tradisi petani, seandainya seorang petani memiliki sebidang sawah 10 hektar dengan 5 orang anak, maka biasanya masing-masing anak akan mendapatkan 2 hektar. Hal ini tentu saja tidak bisa dilakukan dalam kerajaan. Hanya putra mahkota yang menjadi pewaris seluruh kekuasaan raja. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perebutan kekuasaan dalam hampir setiap pergantian raja di Mataram. Dalam proses pelantikan seorang raja, selalu ada orang yang dituakan (tetua kerajaan) yang akan melakukan pemakluman dengan mengatakan, kira-kira begini: “Atas perkenan Raja yang mendahului, putranya ….. menggantikan di atas tahta; maka bula ada yang tidak setuju ayo maju saja, saya yang akan menghadapi” (Moedjanto, hal 29). Belakangan, terutama setelah Amangkurat II (cucu Sultan Agung), VOC dan Belandalah yang melakukan fungsi tersebut.
Dalam sejarah Mataram, perebutan kekuasaan tidak jarang menjadi konflik yang berlarut-larut dan berakhir perang. Itu karena pemikiran setiap keturunan memiliki hak yang sama untuk meneruskan kekuasaan orangtuanya. Hal ini diperumit dengan tradisi raja yang umumnya memiliki banyak istri dengan status antara garwa ampenan (selir) dan prameswari (permaisuri). Selir biasanya dimiliki lebih dulu, bahkan sebelum yang bersangkutan menjadi raja, sehingga jika memiliki anak laki-laki, usianya akan lebih tua dari anak dari permasuri. Inilah kasus yang terjadi pada Sultan Agung yang menjadi raja (seharusnya Pangeran Martapura dari permaisuri).
Selain itu, cerita suksesi sering dilengkapi dengan wangsit dan mistis yang tak pernah menemukan pembenaran logis. Salah satu cerita suksesi paling menarik adalah tatkala Amangkurat II meninggal dunia. Konon, kemaluan sang raja tetap tegak walau dirinya sudah tak bernyawa. Dalam detik-detik yang menegangkan tersebut, Pangeran Puger (adik Amangkurat II) melihat ada cahaya di ujung kemaluan sang kakak. Pangeran Puger lalu mengecup ujung kemaluan tersebut dan konon itulah wangsit kekuasaan. Pangeran Puger kemudian menjadi raja Mataram dengan gelar Pakubuwono I, menggantikan keponakannya Amangkurat III atas dukungan VOC.
Cerita lain belakangan adalah transisi kekuasaan dari Sultan HB VIII ke Sultan HB IX sebagaimana ditulis dalam desertasi Seloseomardjan. Saat menjemput anaknya yang tiba di Batavia menggunakan kereta api, Sultan HB VIII telah sakit-sakitan. Sultan HB VIII meminta anaknya segera kembali ketika sedang di Belanda. Dalam perjalanan menggunakan kereta ke Yogyakarta, di tengah perjalanan, Sultan HB VIII menyerahkan keris Joko Piturun yang mendadak muncul kepada anaknya. Sultan HB VIII wafat tak lama setelah menyerahkan keris Joko Piturun yang dipercaya sebagai symbol kekuasaan Kasultanan Yogyakarta. Masih menurut Selosoemardjan, saat tiba di Stasiun Tugu, petir menggelegar di siang bolong yang menjadi pertanda Raja hebat akan muncul di Yogyakarta.
Jadi, kembali ke gelar raja-raja Mataram, dari sejarah kita tahu, kekuasaan adalah sesuatu yang akan selalu digugat, bahkan oleh saudaranya sendiri. Raja-raja Mataram adalah subjek dari gugatan-gugatan tersebut karena terlahir sebagai keturunan petani, yang mencoba mencari legitimasi.