Berpuasa dengan Gembira

Malam ini Ramadhan telah tiba dan tawarih pertama baru saja selesai ditunaikan oleh beberapa gelintir muslim Canberra. Tidak ada penyambutan, tidak ada spanduk “marhaban ya Ramadhan” seperti yang biasa ditemukan di gang-gang dan masjid kampung. Di beberapa kampung yang walaupun memakai spanduk yang sama dari tahun ke tahun dengan hanya diganti angka tahunnya, tetap gempita menyambut Ramadhan. Siapa tahu ada malaikat yang kebetulan sedang ‘patroli’ dan memberikan berkah ke seluruh kampung. Di negeri ‘kafir’ ini, hanya ucapan persiapan di milis-milis dan SMS yang mengingatkan bahwa sekarang sedang diskon ampunan. Tapi itu sudah cukup dan tentu terlalu muluk untuk mengharap lebih.

 

Jumat kemarin saya mengobrol dengan seorang teman dari Mongolia. Temen saya in tidak habis pikir bagaimana mungkin manusia bisa tahan tidak makan dan minum selama 14 jam. Ini adalah kebingungan kedua setelah dia tahu sebelumnya bahwa muslim sholat 5 kali dalam sehari. Tak mau saya menambah kepusingannya dengan cerita ‘lobi’ Nabi Muhammad SAW dari kewajiban sholat 50 kali dan sholat tarawih di malam hari. Sentuhan dengan muslim-muslim Indonesia sepertinya merupakan  hal yang baru baginya. Hal ini dibuktikan dengan  ketidaktahuannya akan arti ‘fasting’, bahasa Inggris untuk berpuasa. Puasa baginya adalah ‘out of my mind’, ‘unimaginable’, dan ‘imposible’.

 

Obrolan ini mengantarkan imaginasi pada jaman Nabi SAW dulu. Bagaimana reaksi pertama dari orang-orang yang menerima perintah ini pertama kali yang mungkin reaksi pertamanya keluar dengan lontaran ‘are you nut?’. Tapi tentu ini tidak terjadi karena ketauhidan telah sempurna ditanamkan Nabi SAW. Kalau tidak, reaksinya bisa beragam, termasuk seperti temen dari Mongolia itu.

 

Kita mengerti dan mengamalkan puasa sejak kecil, yang menjadikan puasa bagian dari budaya yang menjadikannya aspek integral dalam hidup. Karena menjadi bagian dari budaya itulah, turun peringatan tentang manusia yang hanya mendapatkan lapar dan dahaga ketika berpuasa (semoga kita semua bukan bagian dari golongan ini) dan ‘they just do it’ persis seperti yang diajarkan leluhur bertahun tahun. Nah karena telah terbiasa dengan sambutan Ramadhan menjadi bagian dari budaya, berpuasa di Canberra menjadi sangat menyiksa.

 

Saat masih kecil dulu, fenomena setahun sekali ini menjadi salah satu momen paling ditunggu. Setiap hari, selalu mendapatkan teman-teman yang mendadak hadir di masjid, menjadi teman bermain baru. Jika ada yang kekenyangan ketika berbuka, matanya akan lucu terkantuk-kantuk di shalat terawih yang tidak pernah tuntas sampai 23. Waktu itu, sholat tarawih 23 adalah prestasi, sebuah capaian tertinggi. Tetapi, tentu saja dengan kehilangan waktu untuk bermain di sela-sela sholat tarawih. Selain teman baru, permainan baru juga bertambah, seperti ses, ses dor, mercon iprit, mercon leo (karena ada gambar leonya), mercon bantingan dls. Selain itu, hadir pula penjual jajanan baru yang hanya hadir di bulan puasa yang menjajakan camilan khas puasa seperti kolak. Dalam dunia kecil waktu itu, tidak ada yang lebih menarik selain teman baru, permainan baru dan jajanan baru.

 

Ketika SMP, teman-teman baru ketika kecil berubah menjadi gebetan-gebetan baru. Fenomenanya hampir mirip, mendadak banyak sekali gadis-gadis yang tidak pernah dikenal sebelumnya hadir di masjid, yang biasanya mengisi shof bagian belakang. Ciri-cirinya mudah dikenali, mereka tidak pernah datang sendiri, selalu dengan teman lainnya dan seringkali datang bergandengan. Mereka juga buru-buru membuka mukena ketika sholat baru sampai 8 rokaat. Mendekati ‘gadis Ramadhan’ ini tidak mudah, karena mereka akan segera menghilang dari masjid sebelum bulan puasa sampai di tengahnya.

 

Sejak saat itu, saya selalu rindu untuk merasakan ekstasi bulan puasa dengan menjadi pemain di tengah arena. Semakin bertambah umur, bulan puasa sedikit demi sedikit tidak seistimewa dulu. Semakin saya berusaha menjadi bagian dari pusaran yang menarik untuk lebih dekat dengan Pencipta,semakin kuat usaha iblis untuk menarik keluar dari pusaran ekstasi Illahi itu. Akhirnya, puasa hanya menjadi rutinitas tanpa makna, dan tanpa rasa gembira. Semoga saya diberi kembali kegembiraan menyambut Ramadhan dengan kegembiraan masa kecil dulu. Tentu saja, dengan niatan yang lebih sempurna.