Kedaulatan Rakyat, Analisis, 14 Agustus 2015
KPU, sesuai sistem di UU Pilkada yang mengharuskan minimal dua pasangan calon, menunda Pilkada di empat daerah: Kabupaten Tasikmalaya, Timor Tengah Utara, Blitar dan Kota Mataram sampai 2017. Apabila dilihat dari prosentase peserta Pilkada serentak 2015 yang berjumlah 269 daerah, tentu hal itu tak signifikan atau hanya 1,5%. Namun, apabila dihitung dari jumlah penduduk, keempat daerah tersebut memiliki 3, 5 juta jiwa yang nasibnya harus “digantung” selama dua tahun. Pejabat Bupati atau Walikota dilarang mengambil keputusan strategis yang berbeda dengan pemimpin daerah sebelumnya. Sebenarnya pilkada tak perlu diundur jika taat pada sejarah dan prinsip demokrasi.
Pemilihan bukan hal baru dalam sejarah politik lokal di Indonesia. Dari berbagai variasi cara dan metode pemilihan di desa-desa dalam praktek yang sudah menyejarah, kita mengenal calon tunggal yang melawan “bumbung kosong”. Tak jarang yang menang adalah “bumbung kosong” tersebut. Pada titik inilah pemilihan diulang. Tetapi calon yang sudah mendaftarkan diri sesuai dengan ketentuan yang ada tidak dihapus haknya untuk berkompetisi. Model serupa diadopsi dalam rekomendasi Kemendagri dimana pasangan tunggal melawan gambar kosong. Tapi toh akhirnya Perpu tidak keluar dan Pilkada di empat daerah tersebut ditunda sesuai PKPU 12/2015.
Pada tataran praktis di negara demokrasi yang lebih mapan, calon tunggal juga tidak menghalangi yang bersangkutan berkompetisi, sehingga calon tunggal langsung ditetapkan menjadi pimpinan eksekutif. Logika berpikirnya masuk akal; prosedur demokrasi sudah dijalankan dan ketika tidak ada kandidat lain yang bertarung, mereka dianggap mengaku kalah.
Dalam praktik demokrasi di Indonesia yang bertumpu kepada partai politik, penetapan langsung maupun melawan gambar kosong memiliki dasar pembenaran yang kuat. Partai sudah diberi kesempatan untuk berkompetisi tetapi tidak memanfaatkan ruang kompetisi tersebut, merekalah yang seharusnya mendapat hukuman, dan bukan calon yang sudah melakukan proses demokrasi yang telah ditentukan KPU. Selain partai, setiap orang juga berkesempatan untuk bertarung di pilkada walaupun syaratnya semakin sulit.
Sehingga, menunda pilkada yang disebabkan sistem dua pasangan adalah keputusan yang tidak sehat untuk demokrasi kita karena beberapa alasan. Pertama, mereka yang “dihukum” dengan tidak bisa berkompetisi justru pasangan yang melalui seluruh prosedur yang benar. Seharusnya pasangan yang siap mensukseskan pilkada, diberi apresiasi bukan dengan dihukum melalui penundaan pilkada. Sanksi untuk partai politik yang tidak mengajukan pasangan calon, walaupun memungkinkan, sepertinya tak akan dilakukan, padahal inilah yang seharusnya dilakukan. Parpol jelas-jelas terbukti mencederai prinsip-prinsip demokrasi dengan mengganggu jalannya pilkada dengan tidak mengajukan calon.
Kedua, pembangunan daerah yang tertunda menyengsarakan rakyat. Tiga setengah juta penduduk di empat daerah tersebut tidak memiliki dosa politik apapun sehingga pembangunannya harus tertunda. Mereka telah menunjukkan partisipasi politiknya secara sukarela pada Pileg 2014 yang mempercayakan pilihan mereka kepada parpol di tingkat lokal yang gagal mengajukan calon. Walaupun pemerintahan daerah akan tetap berjalan, tetapi hampir pasti tidak ada terobosan. Tentu akan sangat berbeda apabila daerah dipimpin oleh pemimpin yang mendapatkan legitimasi penuh melalui pilkada.
Ketiga, tidak ada jaminan bahwa Pilkada 2017 akan menghasilkan lebih dari satu pasangan apabila tidak ada perubahan regulasi dan struktur politik lokal. Harapan parpol yang tidak mengajukan calon di pilkada umumnya beranggapan bahwa kondisi akan berubah dalam dua tahun apabila petahana yang menjadi calon tunggal tidak lagi menjabat sebagai kepala daerah. Dalam kondisi seperti itu, mereka akan mengajukan calon karena, berdasarkan kalkulasi politik, probabilitas kemenangan lebih besar. Pendapat ini bisa jadi benar tetapi tidak bisa dipastikan terjadi. Politik adalah momentum, dan momentum seringkali berlangsung tanpa bisa diskenariokan. Jika hal yang momentum politik ternyata tidak berubah, pertanyaannya apakah akan terjadi penundaan pilkada berikutnya di empat daerah ini?
Pendeknya, penundaan pilkada bukan hanya tidak menyelesaikan masalah tetapi justru berpotensi melahirkan masalah yang lebih besar di 2017. Ada potensi daerah yang akan bertarung di Pilkada serentak 2017 untuk juga tidak mengajukan calon. Lalu sampai kapan menunda jika tak juga ada dua pasang calon?