Electionist dalam Sistem Presidensial

Banyak pihak memperkirakan angka Golput akan naik pada pemilihan 2009 dengan berbagai alasan, mulai dari kontestasi politik, regulasi hingga kinerja KPU. Faktor yang jarang diperbincangkan tetapi penting berkaitan dengan bosannya pemilih karena terlalu banyaknya pemilihan. Mungkinkah ini menjadi faktor utama tingginya Golput dan bagaimana hubungannya dengan sistem presidensial yang dipakai Indonesia saat ini?

Dalam praktek pemilu di banyak negara, tingkat partisipasi politik dalam pemilu dihitung bukan berdasarkan pada pemilih yang tidak hadir (Golput) tapi dihitung berdasarkan tingkat pemilih yang hadir (voters’ turnout). Munculnya fenomena terbalik di Indonesia disebabkan antitesis atas dominasi Golkar di era 70 an yang tersimbolkan dalam pilihan frasenya: Golput sebagai lawan dari Golkar. Jika di luar negeri pemilu diupayakan untuk meningkatkan jumlah voters’ turnout, di Indonesia pemilu diusahakan untuk menurunkan jumlah Golput.

Tidak dapat dipungkiri, pemilu merupakan elemen terpenting demokrasi. Demokrasi hanya bisa hadir dalam partai politik yang tumbuh bebas yang bertarung dalam pemilu yang jujur (Duverger 1963). Hadirnya institusi pemilu yang mantap juga sangat vital dalam konsolidasi demokrasi. Selain itu, pemilu juga sarana efektif untuk menyalurkan partisipasi politik rakyat dan menjamin terpilihnya elit politik yang sesuai dengan keinginan rakyat. Sejak reformasi, pemilu di Indonesia bisa dikategorikan jujur dan menjadi rujukan kisah sukses terkait dengan konsolidasi demokrasi di negara berkembang.

Konsekuensi Presidensial

Sejak reformasi, sistem pemerintahan bergeser dari parlementer “abu-abu” menjadi presidensial. Sistem presidensial mengasumsikan terjadinya mekanisme checks and balances antara presiden baik sebagai kepala pemerintahan (chief of state) maupun sebagai kepala pemerintahan (head of the government) sekaligus berhadapan dengan legislatif (DPR). Baik legislatif maupun eksekutif (Presiden) dihasilkan melalui proses pemilihan yang berbeda. Artinya proses pengisian jabatan politik di tingkat pusat pada sistem presidential dilakukan dalam dua kali pemilihan, pemilu legislatif dan pemilu presiden (Pilpres).

Sebagai pembanding, sistem parlementer hanya memerlukan satu kali pemilihan untuk menentukan elit di pusat, baik legislatif maupun eksekutif. Eksekutif (biasanya disebut perdana menteri) dipilih oleh dan dari anggota legislatif. Kondisi yang hampir mirip pernah dipraktekkan Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen.

Logika sistem presidensial yang dipakai di tingkat nasional, diadopsi di tingkat lokal untuk menjamin mekanisme checks and balances tetap berlangsung. Akibatnya elit politik lokal di daerah, baik di provinsi maupun kabupaten/kota juga dihasilkan dari dua kali pemilihan. Legislatif dihasilkan dari Pemilu dan eksekutif diperoleh dari Pilkada. Hal ini berdampak luas terhadap ketertarikan rakyat untuk ikut dalam pemilihan berkaitan dengan luas dan banyaknya daerah di Indonesia.

Setelah pemekaran, saat Indonesia memiliki satu pemerintahan di tingkat pusat, 33 provinsi dan 489 kabupaten/kota. Artinya jabatan politik yang harus dipenuhi diselenggarakan oleh pemilihan sebanyak (1+33+489) x 2 = 1046 kali. Dikurangi enam bupati/walikota di Provinsi DKI yang ditetapkan gubernur, Indonesia setidaknya melakukan 1040 pemilu selama lima tahun atau 208 pemilu per tahun. Apablila terdapat 365 hari dalam setahun, hitungan kasar menunjukkan setidaknya pemilihan diadakan setiap dua hari sekali.

Hitungan diatas sengaja tidak memasukkan faktor berupa pemilihan yang diadakan serempak untuk mengisi beberapa jabatan politik di beberapa tingkatan sekaligus yang digelar di beberapa daerah. Tetapi hitungan sederhana diatas, belum ditambah dengan pemilihan di tingkat desa yang juga dua kali, menunjukkan banyaknya pemilihan yang diikuti warga negara pemegang hak pilih. Kondisi ini menimbulkan apa yang disebut sebagai electionist atau bosan memilih. Pemilu bukan lagi peristiwa menantang yang dihadapi sekali dalam sekian periode tertentu, tetapi membosankan karena dilakukan berulang-ulang seperti sebuah rutinitas sehari-hari.

Solusi

Seandainya jumlah golput yang meningkat memang disebabkan oleh pemilu yang terlalu sering solusi terhadap persoalan ini tidaklah sederhana. Kunci persoalan terletak pada penggunaan sistem presidensial dan adopsi kaku di tingkat daerah. Perubahan pilihan sistem jelas tidak mudah, pun pilihan terhadap sistem apapun memiliki kekurangan dan kelebihannya sendiri. Dibandingkan dengan parlementer, sistem presidensial memiliki keunggulan antara lain lebih demokratis, pemerintahan lebih stabil dan masa jabatan yang tetap (Lijphart 1992). Selain itu, perubahan sistem pemerintahan harus dilakukan melalui amandemen UUD 1945 yang juga menguras energi.

Pengurangan jumlah pemilu di tingkat lokal harus dilakukan dengan penggantian undang-undang yang berkaitan dengan pemerintahan daerah dan pemilihan daerah. Selain itu hal ini tidak menunjukkan konsistensi dari adopsi sistem presidensial yang dipilih.

Satu-satunya jalan keluar adalah dengan perencanaan pemilihan untuk beberapa tingkatan sekaligus baik legislatif maupun eksekutif. Pilkada yang dilakukan di beberapa daerah dalam satu provinsi bisa menjadi alternative. Pemilihan yang baru berakhir di Amerika tidak hanya dilakukan untuk memilih presiden, tetapi memilih beberapa jabatan politik sekaligus termasuk gubernur. Pemilihan yang diadakan serentak juga mampu meningkatkan greget pemilu dan penting secara ekonomi. Selama ini, hitungan ekonomis pemilu lebih didasarkan pada hitungan penyelenggaraan pemilu dibandingkan dengan ongkos sosial dan ekonomi yang harus ditanggung masyarakat. Angka kerugian yang diakibatkan terhentinya kegiatan ekonomi karena pelaku ekonomi sibuk mengikutis tahap demi tahap pemilihan belum diketahui pasti.

Tetapi paling tidak, meminimalisir jumlah pemilihan berbanding terbalik dengan kerugian ekonomi, sosial dan politik yang muncul.

References:

Lijphart A 1992, ‘Introduction’ in Lijphart (ed), Parliamentary Versus Presidential Government (Oxford: Oxford University Press)

Duverger, M 1963. Political parties: their organization and activity in the modern state, North, B. and  North R., tr. New York: Wiley, Science Ed.