Musnahnya Nama Lokal Indonesia

Dari iseng-iseng di semester break kali ini, kalau diamati,  ternyata banyak hal menarik dalam proses pemberian nama anak. Teman-teman saya, teman-teman adik dan kakak saya, memberi nama anak mereka dengan nama yang tidak berbahasa Indonesia dan tidak berbahasa daerah. Bahkan dalam lingkup extended family, nama anak-anak didominasi oleh nama dengan bahasa Arab untuk kami yang Muslim. Setelah saya cermati, ternyata nama kedua anak saya pun juga bisa dibilang terjangkiti virus ke-Arab-an tersebut. Gejala apakah ini?

Cobalah anda perhatikan nama anak-anak dan balita sampai setidaknya usia sepuluh tahun, terutama dari kelas menengah perkotaan Indonesia. Dominasi nama-nama berbahasa Arab terbukti sangat dominan. Nama perempuan Zahra misalnya, sangat laris belakangan ini, entah sebagai nama depan atau nama belakang. Nama seperti Raihan, untuk laki-laki, juga tidak kurang menarik penggemar.

Sebenarnya, tren nama Arab sudah muncul sejak Islam pertama kali menyebar di Indonesia. Buku sejarah menyebut Islam masuk ke Indonesia sekitar abad 11-12. Beberapa temuan artefak menunjukkan Islam telah datang lebih dulu, sekitar abad 7 (misalnya temuan stempel di bangkai kapal di perairan Cirebon). Sejak ditemukannya makam Fatimah binti Maemun di abad 11 di Gresik, nama-nama Arab menghiasi tren nama di Indonesia.

Seringkali nama-nama Arab tersebut “dikontekskan” dalam lidah lokal, menjadi perpaduan nama Arab rasa lokal yang masih mudah ditemukan saat ini. Instead of Taufik misalnya, orang Jawa lebih senang memanggil Topik. Fatimah menjadi Patimah, Fitri menjadi Pitri, Efendi menjadi Pendi, Saiful menjadi Ipul dan Zakaria menjadi Jakaria. Itu adalah contoh nama-nama Arab generasi lama, sebelum tergantikan oleh Zahra, Raihan, Najwa, Izza dan Nabil. Sampai saat ini sepertinya belum muncul sebutan lokal untuk generasi baru Arab ini.

Selain itu, nama-nama impor juga mudah ditemukan bagi anak yang orangtuanya beragama Christian. Saya kurang mencermati tren perubahan nama pada umat Kristiani, tapi mudah diduga terjadi tren yang sama dengan Muslim. Artinya, tren pemberian lebih dekat dengan Religious line dan tidak lagi pada cultural dan regional lines seperti yang selama ini terjadi. Pada generasi dulu, sangat mudah membedakan nama seperti nama yang berawal dengan “SU” (yang berarti baik) pasti dimiliki orang Jawa, misalnya Suharto, Sukarno, Susilo. Begitu mendengar nama Daeng, Wanggai, Yesulu, Matalatta, Made, pasti bukan dari Jawa.  Sekarang, siapa yang bisa memastikan nama Gregorius atau Raihan berasal dari daerah tertentu.

Selain itu, satu hal yang paling mudah dicermati adalah, semakin lama, nama-nama tersebut semakin kompleks, sejalan dengan semakin kompleksnya kehidupan dan cara berpikir orang tuanya. Kompleksnya nama bisa dilihat dari berapa suku kata nama tersusun. Orang jaman dulu terkenal irit karena hanya memberi satu suku kata dalam namanya misalnya Zakiyah, Rosidi, atau Untung, Wagiman, Tukiran dan Slamet.  Di generasi saya, sangat jarang ditemukan satu suku nama, paling tidak terdiri dari dua nama. Sekarang, muncul tren tiga suku sampai empat suku kata. Hanya orang Sunda yang dari dulu jarang memberi nama dengan satu suku kata, sebab di Sunda, panggilan bagi si anak dijadikan nama depannya. Contohnya, sebenarnya nama yang ingin diberikan sebenarnya hanya Juheri dengan panggilan Heri. Di akte kelahiran menjadi tertulis Heri Juheri, yang memberikan kesan diulang-ulang. Maunya memberi nama Juice dengan panggilan Ice, jadinya Ice Juice :lol:. Pada masa lalu, nama-nama di Sunda sering diberikan oleh guru SD mereka saat pembuatan ijasah, karena tak ada akte kelahiran.

Kata banyak orang, nama itu adalah doa orang tua, tetapi sejak dulu nama juga menunjukkan di kelas sosial mana kita berada. Nama satu suku masih sangat mudah ditemui di rural Indonesia. Cara berpikir yang sederhana membuat mereka fokus memberikan doa pada anaknya, misalnya Slamet, Untung, Bejo. Diam-diam saya kagum pada orang desa jaman dahulu yang berdoa dengan fokus, yang terlihat dari pemberian nama. Cukup satu kata saja, misalnya Slamet, dia ingin anaknya selalu selamat.

Di kalangan ningrat berlaku sebaliknya. Kaum ningrat selalu mempertahankan nama ningratnya, minimal dengan mencantumkan huruf “R” di bagian depan. Bukan hanya nama, bahkan gelar ningrat sudah membuat orang lain bergidik, tentu saja kalau bukan membuat besar kepala empunya nama. Mari kita perhatikan gelar raja dari empat bagian pecahan Mataram Islam. Hamengkubuwono (he who encircles the world), Pakubuwono (centre of the world), Pakualam (centre of the earth), Mangkunegaran (encircles the state.) Padahal sebenarnya, kekuasaan Mataram telah sepenuhnya diserahkan ke VOC oleh Susuhunan pada tahun 1749. Sejak saat itu, seluruh kerajaan dilarang memiliki kekuatan angkatan perang,  bahkan internal security juga diserahkan ke VOC.

Nah, tren pergeseran nama ini mengancam eksistensi nama lokal yang dianggap tidak lagi populer. Buku-buku tentang nama-nama bayi yang tebal itu hanya memberikan sedikit alternatif yaitu Islam (dalam tulisan ini Arab), Barat dan Nasional (terutama untuk kelas menengah). Nama-nama seperti Bambang, Wagiman, Tukiman, Katiman, Wagiran, Prapti, Siti, dan nama dengan awalan “SU” bisa dikatakan masuk dalam kategori endangered.

Apakah kita kehilangan rasa percaya diri pada kebudayaan kita sendiri dan lebih nyaman meng Copy-Paste nama yang dihasilkan dari kebudayaan lain? Tampaknya terdapat tren kuat seperti itu. Semakin barat dan semakin Arab sebuah nama, kok sepertinya terdengar semakin keren. Seringkali, orang tuanya pun tak fasih menjelaskan arti nama anak-anak mereka. Apabila dulu begitu belajar menulis setiap anak akan mudah menuliskan namanya sendiri, sekarang mungkin harus lebih belajar keras untuk itu. Bagaimana lagi, inilah resiko bangsa yang sedang mencari identitas. Kalau nama anda dan anak anda bagaimana?