Kedaulatan Rakyat, Analisis- 11 Juli 2009
Dalam setiap kesempatan debat dan kampanye, setiap kandidat presiden dan wakil presiden selalu berjanji untuk melakukan banyak hal di berbagai sektor. Pengangguran akan diturunkan, pertumbuhan ekonomi ditingkatkan, pendidikan digratiskan dan kesehatan dijamin. Semudah itukah presiden terpilih merealisasikan janji kampanyenya?
Kebijakan publik tidak hanya didasarkan atas keinginan presiden semata tetapi harus dikontestasikan dalam struktur politik yang ada. Tidak seperti negara diktator yang kekuasaan tersumbu pada satu titik, negara demokratis menyebar kekuasaan “veto”-nya pada beberapa lembaga. Indonesia yang merupakan satu-satunya negara demokratis di Asia Tenggara dengan kategori “free” (Freedomhouse.org). Artinya, walaupun pasangan capres memenangkan pemilu, bahkan dengan satu putaran sekalipun, upaya mewujudkan misi dan programnya masih teramat panjang dan berliku.
Dalam sistem presidensial murni yang diterapkan di Indonesia, tantangan terbesar presiden terletak pada kemungkinan tercapainya konsensus di DPR. Proses penyusunan kebijakan publik memerlukan dukungan DPR sebagai bagian dari mekanisme checks and balances. Semakin banyak Presiden didukung di DPR, semakin mudah merealisasikan program-programnya. Untuk tujuan inilah, siapapun presiden terpilih tidak memiliki pilihan lain selain menyusun kabinet “pelangi” yang menteri-menteri berasal dari berbagai partai politik. Dengan memiliki kekuatan di eksekutif dan legislatif sekaligus, realisasi program kerja diusahakan untuk seminimal mungkin di veto oleh DPR.
Selain itu, pola kebijakan publik yang dihasilkan presiden terpilih dapat dilihat dari jumlah komposisi perolehan kursi partai-partai yang mengusung pasangan capres. Jumlah 560 kursi DPR terbelah ke dalam tiga koalisi pendukung pasangan dalam pilpres. Saat ini Mega-Prabowo didukung oleh 121 kursi di DPR (21,61%), SBY-Budiono 314 kursi (56,07%) dan JK-Wiranto 125 kursi (22,23%).
Presiden terpilih pasti akan berupaya memperoleh dukungan setidaknya 50%+1 di DPR melalui koalisi, baik di kabinet maupun di DPR. Apabila Mega-Prabowo yang memenangkan Pilpres, mau tidak mau pemerintah baru ini harus menggandeng pendukung pasangan JK-Wiranto dan sebagian pendukung SBY-Budiono. Kondisi yang sama akan terjadi apabila pasangan JK-Wiranto yang memenangkan pilpres. Artinya, jika kedua pasangan ini yang memang, tarik ulur koalisi seperti yang terjadi sebelum pencalonan pilpres akan terulang kembali, dengan pertarungan yang jauh lebih keras. Politik dagang sapi tidak lagi bernegoisasi tentang sesuatu yang masih dibayangkan, tetapi sesuatu yang nyata lima tahun ke depan.
Keadaan yang agak berbeda akan terjadi apabila pasangan SBY-Budiono yang memenangkan Pilpres. Karena telah menguasai mayoritas kursi di DPR, posisi tawar yang dimiliki koalisi ini menjadi lebih tinggi. Namun demikian, pemerintahan SBY tetap berupaya meningkatkan dukungannya untuk semakin memudahkan jalannya pemerintahan. Apabila Golkar akhirnya bergabung dalam koalisi SBY karena sejarahnya yang belum pernah menjadi oposan, akan terbentuk pemerintahan yang sangat kuat. Tantangan terbesar terletak pada upaya internal untuk mempertahankan koalisi, bukan pada menghadapi oposan di luar.
Walaupun secara matematis tampak sederhana, kondisi di lapangan tentu akan jauh berbeda, terutama karena diterapkannya sistem suara terbanyak (Open-list Proportional System) dalam pemilu DPR. Kontrol yang dimiliki partai politik tidaklah sekuat DPR yang lalu karena anggota DPR mendapatkan mandat langsung dari pemilih. Anggota DPR akan lebih memperhatikan suara dari pemilih di dapil-nya masing-masing daripada mendengarkan intruksi dari pimpinan partai. Artinya, setiap anggota dewan akan berusaha untuk mewujudkan janji kampanye mereka sendiri yang bisa jadi berbeda atau bahkan berseberangan dengan keinginan partai. Dampaknya jelas, fungsi fraksi di DPR lebih lemah dari sebelumnya. Artinya, jika voting terjadi, hitungan dukungan tidak bisa dianalisis berdasarkan preferensi fraksi, tetapi harus melihat preferensi individu anggota DPR.
Dalam kondisi demikian, diharapkan akan terjadi perdebatan yang seru dalam perumusan kebijakan publik. Perdebatan ini sangat mungkin menghasilkan kebijakan yang lebih berkualitas, walaupun memerlukan waktu yang lebih lama. Kita tunggu saja.