Oposisi Setengah Hati

 

Kedaulatan Rakyat -Tajuk Rencana- 16 Juli 2009

Tinggal menunggu waktu, SBY hampir bisa dipastikan memimpin Indonesia untuk kedua kalinya. Pada saat yang sama, para penantang yang kalah, berikut barisan koalisinya, gundah. Kemanakah layar mereka akan tertuju? Bergabung bersama penguasa, menjadi oposan, atau tidak menjadi dua-duanya?

Oposisi dapat dipahami sebagai gabungan partai-partai politik di DPR yang berseberangan dengan pemerintah. Wacana oposisi kemungkinan besar akan muncul sebagai bagian dari berita politik, setidaknya sampai pemerintahan baru berjalan Oktober kelak. Wacana oposisi juga akan dipakai sebagai tawar menawar partai untuk mendapatkan jatah menteri di kabinet. Namun demikian arsitektur politik Indonesia menyulitkan hadirnya oposisi. Beberapa sebab itu antara lain:

Pertama, Indonesia menganut sistem presidential murni yang memisahkan secara tegas garis antara eksekutif dan legislatif. Oposisi lazim muncul dalam sistem parlementer dimana eksekutif/pemerintah menyatu dengan parlemen. Pemimpin tertinggi pemerintahan yang biasanya disebut Perdana Menteri berikut kabinetnya adalah bagian dari parlemen. Begitu juga sebaliknya, pimpinan oposisi adalah bagian dari parlemen. Artinya, dalam pemerintahan parlementer, pemilihan hanya dilaksanakan satu kali dalam periode tertentu untuk memilih seluruh anggota parlemen termasuk kabinet. Lazim terjadi, pimpinan partai pemenang kemudian menjadi perdana menteri. Indonesia pernah mencoba melakukan praktik parlementer pada awal kemerdekaan, walaupun kurang berhasil.

Kedua, masa jabatan pemerintahan di bawah presiden telah ditentukan secara tegas selama lima tahun. Dalam iklim oposisi, masa jabatan pemerintah sangat bergantung pada kemampuannya memimpin. Pemerintahan dapat jatuh kapan saja apabila mosi tidak percaya (motion of no confidence) lolos di DPR karena dianggap wanprestasi. Pilihan bagi pemerintah yang jatuh tidak banyak, mengundurkan diri, pemilu ulang atau tampilnya oposisi di pemerintahan. Dalam amandemen UUD 1945, pemerintahan hanya dapat jatuh apabila terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan presiden, yang kemungkinannya sangat kecil. Artinya, walaupun janji kampanye tidak diwujudkan oleh pemerintah, hampir tidak ada peluang untuk menjatuhkan presiden selama tidak melakukan tindak kriminal.

Ketiga, absennya kabinet bayangan. Senada dengan poin kedua, pihak oposisi memiliki kabinet bayangan (shadow government) yang sewaktu-waktu menggantikan pemerintah berkuasa. Struktur kabinet bayangan biasanya dibuat sama dengan kabinet sebenarnya dengan pimpinan oposisi sebagai pemimpin kabinet bayangan. Perdana Menteri dihadapkan dengan pimpinan oposisi. Menteri dalam kabinet sebenarnya dihadapkan pada menteri dari kabinet bayangan dalam setiap proses pengambilan kebijakan. Dari pertarungan satu lawan satu inilah, publik menilai mana yang lebih baik sebagai pertimbangan dalam pemilu berikutnya. Selain itu, disain ruangan juga dipersiapkan berhadap-hadapan, tidak seperti model berbaris di DPR.

Keempat, tidak adanya dua kekuatan utama di DPR, antara pemerintah dan oposisi. Dua kekuatan besar ini merupakan hasil dari sistem pemilu Majoritarian dimana setiap daerah pemilihan (Dapil) hanya mengirimkan satu wakil ke parlemen (single member district). Artinya, hanya kandidat dengan lebih dari 50% suara yang bisa melenggang ke parlemen. Indonesia memakai sistem Proportional yang mengirimkan banyak Caleg ke DPR untuk setiap dapilnya (multi member district). Sistem proportional lebih menjamin terwakilinya kaum minoritas untuk menyuarakan aspirasinya ke dalam sistem. Namun, sistem ini tidak menjamin terjadinya pengerucutan kekuatan karena aspirasi yang tersebar dalam berbagai partai politik. Jikapun koalisi dilakukan, keberlangsungan kontrak politik tidak akan dapat dijamin mengingat tajamnya perbedaan kepentingan tiap partai. Kekuatan politik di parlemen tetap tersebar di beberapa partai.

Kelima, platform partai yang mirip. Dari 34 partai politik yang berlaga secara nasional April lalu, hampir semuanya mengusung isu seragam yang berada di tataran abstrak. Pilihan masyarakat kemudian diarahkan pada figur personal akibat ketidakmampuan partai mengkomunikasikan perbedaannya dengan partai lainnya, misalnya dengan hadirnya “fraksi” artis di DPR. Oposisi tentu tidak bisa hadir dalam keseragaman ini.

Praktis sejak sistem parlementer dihapuskan, berlanjut ke Orba dan diteruskan di era reformasi, tidak ada tradisi oposisi di DPR. PDI-P berusaha memposisikan diri sebagai partai oposisi sejak kalah di Pilpres 2004, terbukti kurang menunjukkan hasil yang memuaskan. Oposisi tidak dikawal oleh pemimpin partai di DPR sehingga tak cukup bergigi dan tidak terarah. Selama lima tahun berjuang menjadi oposisi, Megawati dalam debat capres pertama ketika menanggapi SBY berkata dengan kurang lebih “karena pak JK setuju, saya sebagai oposisi juga setuju.” Oposan sangat jarang seiya sekata dengan pemerintah penguasa, kecuali menyangkut isu tertentu. Oposan sedapat mungkin berbeda dengan mengambil titik pandang yang lain dari sebuah kasus.

Pendeknya, walaupun setengah mati memposisikan diri menjadi oposisi, yang terjadi justru oposisi setengah hati, karena absennya daya dukung sistem politik.  Lebih baik menjadi kekuatan kritis di parlemen tanpa harus melabeli diri dengan oposisi.