Teror yang Gagal

Kedaulatan Rakyat-Analisis-21 Juli 2009

RUANGAN Education 424 University of Sydney itu mendadak sunyi ketika panitia menyampaikan berita tentang dua bom yang mengguncang Jakarta. Jumat 17/7/09 adalah hari terakhir dilaksanakannya Indonesian Council Open Conference (ICOC) 2009 yang dihadiri Indonesianists (ahli Indonesia) dari seluruh dunia. Dua bom itu seolah menghancurkan asumsi dasar konferensi yang didirikan di atas pilar-pilar perdamaian, kesetaraan dan demokrasi yang jauh dari teror. Sukseskah dua bom itu membalikkan pandangan dunia atas Indonesia?


Sampai saat ini, tidak ada definisi jelas tentang terorisme. Tetapi setidaknya beberapa kriteria terorisme dapat dirangkum sebagai berikut (Richardson (2006), Deen (2005) dan Pape (2005)): Pertama, tindakan teror bertujuan untuk memberikan rasa takut (fear). Kedua, tujuan jangka panjang jauh lebih penting daripada akibat jangka pendek. Ketiga, tindakan teror adalah upaya untuk mewujudkan sesuatu ideologi. Keempat, memiliki korban dari kalangan sipil dan bersifat massal. Kelima, dilakukan pada waktu dan tempat yang tidak terduga. 


Berdasarkan definisi tersebut, sebenarnya tindakan teror bom di dua hotel mewah di Jakarta dapat dikatakan gagal daripada berhasil. Keberhasilan teror tersebut terletak pada output-nya saja yaitu bom yang meledak dan gagal mencapai tujuan lainnya (outcome) yang jauh lebih besar dilihat dari beberapa fakta sebagai berikut.


Pertama, bom tersebut gagal memberikan rasa takut kepada masyarakat Indonesia dan dunia. Hampir tidak ada perubahan yang berarti dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama Jakarta. Ekonomi Indonesia tidak terguncang. Selain itu, tidak terjadi eksodus di berbagai bandara di Indonesia, pusat perbelanjaan berjalan normal, tingkat hunian hotel di Jakarta relatif stabil dan aktivitas Jakarta yang berjalan normal.


Kedua, bom tidak berhasil membawa korban yang jauh lebih besar yang bisa jadi, menjadi tujuan utama peledakan. Ceritanya akan jauh berbeda jika bom ‘berhasil’ menewaskan pasukan Manchester United (MU) dan Tim All Star Indonesia. Paling tidak, pesan penting pelaku teror akan membekas seumur hidup di pecinta sebakbola dan menghancurkan satu generasi sebakbola Indonesia dan Inggris. Selain itu, dalam Piala Dunia di Afrika Selatan tahun depan, pesan teroris akan kembali menggema di seluruh dunia.


Ketiga, agenda teroris untuk memanjangkan isu selama mungkin terkubur oleh pernyataan presiden sore hari yang menghubungkan teror tersebut dengan pilpres. Pernyataan ini telah mengaburkan motif dan agenda sebenarnya dari pemboman karena menjadi spesifik dan sempit hanya berkaitan dengan kekecewaan pada pilpres. Tindakan teror tidak dilakukan berdasarkan fenomena ‘dadakan’ seperti ketidakpuasan pilpres, tetapi lebih merupakan kumpulan dendam yang terbentuk sedikit demi sedikit dalam waktu lama. Dua buku otobiografi karya Iman Samudra dan Amrozi jelas mengindikasikan hal tersebut. 


Keempat, dilihat dari dampaknya, bom saat ini belum sebanding dengan bom mobil di JW Marriot tahun 2003 atau bom Bali 2002. Hal ini penting untuk melihat tingkat kekuatan teroris di Indonesia. Artinya, aparat keamanan Indonesia sebenarnya telah berhasil mereduksi secara signifikan jaringan dan kekuatan teroris di Indonesia. Kita seharusnya bangga dengan kinerja para aparat yang rela berpisah berbulan-bulan dengan keluarga demi memburu para teroris tersebut. Jika kita mencelanya, hal ini hanya akan menambah luas senyuman di mulut para teroris yang masih berkeliaran.


Kelima, ‘Bom MU’ juga gagal menghapus predikat Indonesia sebagai negara paling demokratis di Asia Tenggara. Demokratis atau tidaknya sebuah negara tidak ditentukan oleh 10-16 orang (jumlah teroris di Indonesia seperti diprediksi media Australia) yang di dalam otaknya tidak ada pikiran lain selain membunuh kaum westerners. Demokrasi ditentukan oleh 176 juta orang yang telah berhasil memilih Presiden Indonesia secara langsung untuk kedua kalinya, dan 171 juta rakyat Indonesia yang berhasil memilih wakilnya di DPR dan DPD.


Walaupun demikian, peristiwa ‘Bom MU’ tersebut kembali menegaskan kegagalan demokrasi untuk mereduksi terorisme. George W Bush menggunakan asumsi bahwa dengan menjadikan negara-negara di Arab ‘terinstal’ demokrasi akan meminimalisir kemunculan terorisme. Dalam jangka panjang dapat meningkatkan keamanan warga Amerika sendiri. Dimulailah serangkaian proses ‘instalasi’ demokrasi tersebut dengan cara-cara yang jauh dari demokratis. Namun tampaknya demokrasi bukanlah solusi untuk terorisme (Gause, 2005).

 

 

8 Replies to “Teror yang Gagal”

  1. bos, maksud tulisan ini menyuruh para terorist mengulangi lagi perbuatannya karena aksinya gagal. begitu ya bos?

    Bayu Dardias
    gitu ya mas… tertarik??

  2. Menanggapi paragraf terakhir, saya rasa faktor demokrasi justru bisa dijadikan inspirasi kebangkitan radikalisme agama. Demokrasi yang melindungi kebebasan bicara dan berpikir tidak mungkin membungkam pemikiran2 tertentu, termasuk pemikiran yg bertentangan dg demokrasi – karena pembungkaman itu bertentangan dengan makna demokrasi.

    Bisa kita lihat di Indonesia contohnya, otonomi daerah justru melahirkan kesempatan pada pihak2 tertentu untuk menggolkan perda berbasis syariat Islam.

    Btw salam kenal, saya jg lulusan UGM *ah info gak penting, hihi*

    Bayu Dardias
    Kebebasan dalam demokrasi tidak bisa dilepaskan dengan nilai-nilai civility yang menjadi inti demokrasi. Teror adalah antitesis dari civility tersebut. Memang di Indonesia sepertinya reformasi membawa juga kebebasan tanpa batas. Tentang perda Syariat Islam (syariah bylaws), itu perda gombal, perda gak perlu karena hanya mengatur cara berpakaian, miras, judi dan pergaulan, yang semuanya sudah ada di KUHP. Perda Syariah kehilangan momentum pasca 2005. Kagama juga dong heheheh

  3. Malang bener! Begitu banyak usaha dari para Indosianists kita dan luar negeri sekarang mentah lagi karena bom Juli Jakarta, back to zero. Sepanjang tahun ini gue berharap travel warning against Indonesia diangkat dalam waktu dekat agar anak SMA yg antusias mau study tour di sana bisa terwujud, sekarang gue tau itu harapan udah melayang. Hari Senin … Read Morepertama kali masuk untuk Catur Wulan 3 ini pas ngajar mereka, ada satu murid nanya “We never go to Indonesia for our excursion, don’t we?” and gue jawab “No (*pause*) sorry”. Level kecewa and marah gue hari ini masih sama kayak waktu hari Jumat. Pasti elo juga Yu, apalagi your level nasionalis mode lagi on banget karena sedang terlibat dalam konferensi itu. Malangnya nasib Indonesia.

  4. “teror yang gagal”, termuat di KR hari ini !!! Selamat …….
    tpi kok fotonya beda yaaaaa!!!

  5. SG JELAS DADI RA SIDO NONTON MU maen…hikhikhik… nggosu tetan ko ….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.