Kedaulatan Rakyat, 20 Februari 2012
Pemberitaan di televisi tentang partai Demokrat semakin hari semakin panjang. Pemirsa seperti disuguhi sinetron yang tiada akhir. Dalam beberapa hari ini, muncul isu baru tentang korupsi dan suap di konggres Partai Demokrat dari suara beberapa daerah. Secara gamblang disuguhkan bagaimana suara di konggres yang memenangkan Anas Urbaningrum diperdagangkan.
Miris. Kisah sendu PD dihembuskan oleh kadernya sendiri, menandakan centang-perenangnya institusionalisasi partai. Publik dapat melihat jelas bagaimana bermacam-macam kubu di dalam PD saling beradu argumen di media. Secara jelas ditunjukkan bahwa konggres Bandung belum usai. Anas secara de jure memang Ketua, tapi secara de facto, legitimasinya dipertanyakan kadernya sendiri.
Pasca konggres Bandung, Anas berusaha menyatukan seluruh elemen PD untuk bergabung dalam kepemimpinannya. Baik kubu Andi yang sedikit, dan kubu Marzuki Alie yang kuat, diajak bersama dalam kepemimpinan baru. Sayangnya, masing-masing kubu tersebut merasa sakit hati karena mensinyalir dukungan suaranya dibelokkan ke Anas dengan politik uang. Merekalah yang menyerang PD dari dalam untuk menurunkan Anas sebagai Ketum.
Masalahnya, dampak serangan sesame PD yang memanfaatkan media, disadari atau tidak, justru memberikan efek desktuktif bagi PD secara keseluruhan. Rakyat akan dengan mudah mengasosiasikan Demokrat dengan wisma atlet, walau sudah lupa perolehan medali emas Indonesia di Sea Games lalu. Ujungnya, Demokrat menghadapi ancaman terbesar setiap partai politik: kehilangan suara di Pemilu. Siapapun petarung yang menang, bisa jadi hanya berebut pepesan kosong di 2014.
Selain itu, prahara jeratan korupsi yang menimpa PD diperparah oleh beberapa hal:
Pertama, KPK bekerja sangat lamban dalam mengungkap kasus korupsi yang melibatkan petinggi PD. Secara internal, KPK menghadapi masalah sendiri pasca keanggotaan baru dalam proses kepemimpinan Abraham Samad. Butuh proses untuk mampu bersinergi diantara pimpinan KPK yang bekerja kolegial. Pengumuman tersangka untuk kasus Wisma Atlet sangat lambat, belum termasuk kasus Hambalang dan lainnya. Belum ada gebrakan KPK yang hampir selalu dipertontonkan dalam beberapa tahun terakhir.
Kedua, pada jajaran Dewan Pembina, harapan untuk mampu cepat bergerak menyelesaikan prahara PD, tak pernah terwujud. Kepemimpinan SBY sekali lagi dituduh menjadi biang persoalan. Suara di tingkat DPP seringkali berbeda dengan suara Dewan Pembina. Tidak terlihat sinergi antara kedua strutktur penting partai ini.
Ketiga, banyak individu DPP PD yang menikmati popularitas di televisi tanpa memikirkan dampak destruktifnya. Sistem pemilu yang menekankan pada kemampuan individual daripada partai, memaksa orang untuk menyapa konstituennya melalui media. Cara menyapa seperti inilah yang dikonseptualisasikan oleh Clark (2003) sebagai individual direct linkage, cara paling efisien untuk berkomunikasi dengan konstituen pada era digitalisasi.
Keempat, pada level pengurus pusat, suara Sekjen PD, Edie Baskoro atau Ibas, tak terdengar sama sekali. Beliau hanya muncul sekali saat memberi penjelasan bahwa Nazaruddin sakit di Singapura. Satu-satunya kemunculan dengan positioning yang keliru yaitu membela koruptor. Seandainya dapat ditunjuk, Ibas adalah orang yang seharusnya menjadi benteng PD di media. Dialah yang menjelaskan kepada pemilih, prahara yang mengepung Demokrat. Hampir tidak masuk akal seorang Sekjen partai tidak memberi penjelasan apapun tentang wakilnya yang menjadi tersangka korupsi.
Kondisi yang terjadi di PD ini menunjukkan perjuangan berat bagi partai baru yang mendadak mengelola kekuasaan yang begitu besar. Disadari atau tidak, gelembungan dukungan yang didapatkan oleh PD bukan berasal dari hasil kerja pengorganisasian internal partai, tetapi diperoleh dari seorang figur SBY. Gelembungan ini akan menghadapi kondisi kritis ketika figur tak bisa lagi berlaga di 2014.
Sinetron PD juga memberikan contoh bekerjanya teori politik kuno bahwa suatu kelompok cenderung bersatu ketika menghadapi musuh bersama yang diidentikkan berada diluar struktur kelompok. Sebaliknya, akan terpecah begitu menghadapi musuh yang berasal dari lingkungan internal.
Tak mudah untuk mencari solusi terhadap prahara yang dialami PD. Saat ini semua fihak menunggu langkah KPK untuk mengembangkan kasus korupsi. Seandainya Anas menjadi tersangka sesuai BBM Anggie-Rosa yang menyebutkan Ketua Besar, langkah penyelamatan partai bisa segera dilakukan. Tetapi KPK tentu akan mengukur kekuatan, sehingga kasus Cicak-Buaya tak lagi terulang. Jadi sepertinya episode Sinetron Demokrat masih akan panjang.