Ken Arok

Dalam setiap penggalan sejarah Jawa, selalu muncul orang-orang yang kemudian menjadi tokoh dan dikenang sepanjang masa. Kita bisa mundur ke belakang agak jauh, tapi kiranya hidup Ken Arok adalah salah kisah yang paling banyak diceritakan. Bukan hanya karena kisahnya dicatat di Pararaton, tetapi lebih karena kisah Ken Arok adalah contoh nyata seperti apa yang dibayangkan Machiavelli dalam The Prince.

Saya pertama kali mendengar cerita tentang Ken Arok, ketika masih SD, dari ibu yang kebetulan guru SD yang sedikit banyak tahu cerita itu. Versi visualnya saya dapatkan beberapa minggu kemudian dari ‘kartu‘ yang dipotong-potong untuk bermain ‘tomprang’ dan ‘kiyu-kiyu‘. Setiap kartu terdiri dari 36  bagian yang harus dipotong sendiri. Ada gambar ‘gunung kelud‘ di salah satu kotak. Bahannya dari kertas yang bagus di bagian depan dan berwarna, serta coklat di bagian belakangnya. Bagian belakang kadang berisi rambu-rambu lalu lintas. Saya tidak tahu apakah mainan semasa kecil ini masih ada, dugaan saya sudah digantikan dengan kartu ‘pokemon‘, ‘avatar‘, ‘winnie the pooh‘ yang bahannya lebih mahal dan tentu saja hanya bisa dibeli di supermarket. Siapa juga yang mau menggunting sendiri ke 36 bagian kartu itu.

 

Dalam ‘kartu‘ itu, diceritakan (dan digambarkan) bagaimana Ken Arok dipelihara preman-preman, mulai dari Lembong, ke Bango Samparan. Ketika berumur 9 tahun, Ken Arok bisa mengeluarkan sejuta kelelawar dari keningnya saat tidur. Inilah pertanda pertama keistimewaan Ken Arok yang dicari Lohgawe dari India yang dikabarkan sebagai titisan Wisnu. Tidak ada yang menduga anak yang dulu bekerja sebagai “blandong pasar” (kuli pasar) tersebut, menjadi raja Singosari yang bergelar Sri Rajasa Bathara Sang Amurwabhumi yang menelurkan raja-raja Jawa yang dari darahnya dan Ken Dedes.

 

Salah satu cerita menarik lainnya tentang Ken Arok adalah kesaktian sebilah keris yang belum jadi, konon mirip dengan dapur Pasopati dan salah satu bahannya dari meteor. Keris ini kemudian dipakai untuk membunuh pembuatnya, Mpu Gandring. Karena belum jadi, keris ini dikenal dengan keris Mpu Gandring (mungkin ini satu-satunya keris yang dinamai berdasar nama pembuatnya). Mengapa Ken Arok membunuh Mpu Gandring? Dalam kisah waktu itu, segala sesuatu dilakukan manusia berdasarkan hitungan dan paugeran yang saat ini dikenal dengan primbon. Tapi berbeda dengan hanya berbentuk sebuah buku, abad ke 13 waktu itu yang berlangsung adalah ‘ a living primbon‘, petunjuk segala sesuatu berdasarkan ‘catatan sejarah‘ masa lalu. Bahkan, ada petunjuk praktis bagi maling yang lahir pada Senin Kliwon misalnya, setelah keluar rumah, malinglah rumah di sebelah Tenggara setelah lebih dahulu pergi ke Timur, malinglah setelah tengah malam dan setelah maling, larilah ke Selatan. Nah begitu kira-kira.

Ken Arok tahu betul bahwa hari itu dia harus memiliki keris sakti jika ingin mendirikan kerajaan Singosari, dan ternyata Mpu Gandring ingkar janji. Kerisnya belum jadi. Apa daya, hitungan tak bisa ditunda, Mpu Gandring menolak menyerahkannya. Bagi seorang Mpu, tak layak memberikan barang yang belum jadi. Tapi kapankah sebenarnya seniman puas terhadap karyanya? Kemudian, dada Mpu Gandring menjadi warangka pertama keris bikinannya sendiri. Sejak saat itu, keris itu hanya berfungsi satu hal, membunuh, baik pemegangnya dan orang terdekatnya. Selain dimotivasi kekuasaan, perilaku Ken Arok juga didorong kecantikan Ken Dedes, istri yang tidak setia karena membongkar rahasia yang menyebabkan Ken Arok, suaminya, terbunuh oleh anak mendiang suaminya.

Sejarah tidak pernah adil dalam mengisahkan peristiwa. Walaupun dikenal suka berkelahi, Ken Arok tentu saja manusia. Bagaimana jika suatu ketika, preman satu ini bertobat setelah merasa seluruh capaiannya selama ini ternyata biasa saja. Manusia dikaruniai keinginan untuk mencapai sesuatu, dan jika telah dicapai, ternyata ‘biasa saja.‘ Kemudian dia duduk di pinggir jurang, merenung atas apa yang telah dilakukakannya, dan frustasi. Ken Arok, misalnya, mencoba bunuh diri. Dia terjun ke jurang yang ternyata menolak menjadi penyebab kematiannya. Dasar jurang menjadi elastis, menolak tubuh Ken Arok, meneruskan kutukan Mpu Gandring. Ken Arok tersipu.

Sejarah politik Jawa kemudian memang dipenuhi dengan intrik internal yang terus berlangsung. Sejarah kekuasaan Jawa, kehancuran dan perpecahannya selalu berasal dari orang-orang terdekat dan masih berhubungan darah dan tidak jauh-jauh dari tembok istana. Dalam tigaratus tahun terakhir, kita masih menyaksikan bagaimana Mataram terbagi menjadi Kasunanan sebagai induk dan ‘mekar‘ menjadi Kasultanan yang pada akhirnya kedua kerajaan itu masing-masing memiliki Daerah Khusus yaitu Pakualaman di wilayah Kasultanan dan Mangkunegaran di Kasunanan. Keempat penguasanya memiliki hubungan darah.

Yogyakarta saat ini menjadi satu-satunya institusi tradisional yang ‘diakui’ pemerintah Indonesia dalam bentuk provinsi. Kraton-kraton, termasuk Kasultanan, berjuang mencari eksistensi. Setelah Kasunanan diperebutkan antara Hangabehi dan Tejowulan, UU Keistimewaan Yogyakarta tidak pernah menjadi perhatian serius Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat cekatan dalam menerima aspirasi yang dilalui dengan konflik seperti Aceh dan Papua, tapi lamban menerima aspirasai damai Yogyakarta. Akankah ini menjadi pertanda kelam institusi tradisional kita? Semoga saya tidak menjadi saksi sejarah proses ini.