Salah satu menu klasik Indonesia yang bisa ditemui di hampir seluruh muka bumi adalah nasi goreng. Tak ada yang istimewa dari nasi hampir basi yang digoreng dengan bumbu standar yang tergeletak di dapur. Hanya saja, nasi goreng menjadi menu yang terkenal. Ketika ada acara lunch di Mc Tavish Hall McGill University awal Agustus 2005, nasi goreng disejajarkan dengan beberapa menu Asia lainnya seperti mie goreng dan fu yung hai. Tentu saja untuk acara makan siang di tengah summer, nasi goreng tentu bukan menu yang tepat. Apa boleh buat, dengan gaya masakan Cina yang tidak sepenuhnya enak dan halal, kami makan juga nasi goreng tersebut, berikut rasa syukur. Fenomena nasi goreng menjadi luar biasa karena Moira sampai susah payah cari nasi goreng di China Town, siang-siang lagi. Fenomena diatas tentu lebih sering ditemukan di Australia, dengan banyaknya lidah Indonesia yang selalu merindukan nasi goreng.
Nasi goreng sebenarnya adalah menu keterpakasaan. Nasi goreng lahir saat ketiadaan lauk pauk dipadu dengan keinginan kuat untuk menyajikan menu yang enak. Tak ada lauk lain yang digoreng, nasipun tak masalah. Ibaratnya, walau perut hanya dipenuhi karbohidrat, yang penting rasa lapar teratasi. Toh upaya untuk menghilangkan lapar (bukan usaha memenuhi kecukupan gizi) masih menjadi masalah utama 70 juta rakyat Indonesia. Artinya, makan nasi goreng menunjukkan semangat solidaritas, semangat merasa sama dengan saudara yang tidak beruntung lainnya.
Di tempat lahir saya, nasi goreng disajikan dengan sedikit variasi. Variasinya pun tak muluk-muluk, hanya menambahkan sedikit mie di dalam nasi goreng. Jadi jika mau hemat, bisa mendapatkan dua menu sekaligus, nasi goreng dan mie goreng dengan sekali pesan. Nasi goreng Magelangan, bagitu nama populernya, hanya bisa ditemukan di luar Magelang. Karena di seluruh antero Bumi Harapan itu, seluruh nasi goreng menggunakan mie, dengan harapan sedikit meningkatkan derajat Nasi Goreng.
Nasi goreng Pak Pele sedikit lebih istimewa, walaupun bukan penggemar nasi goreng, tapi saya bisa merasakan keunikan nasi goreng pak pele yang tidak hanya menawarkan nasi goreng sebagai sebuah menu, tapi dilengkapi dengan suasana khas Ngayogyakarta Hadiningrat. Letaknya yang berada persis di sisi timur Siti Hinggil Kraton menjadikan nuansa lesehan yang dibarengi dengan pengamen full song, -pengamen yang tidak hanya menyanyi sebelum diberi recehan-, lengkap. Menu khas lainnya adalah wedang jahenya yang dibuat dari jahe bakar plus gula jawa dan sedikit rempah-rempah, menjadikan nasi goreng Pele jauh mengalahkan cafe-cafe menu barat yang bertebaran di seantero Yogyakarta, terutama semenjak kuliah mahal UGM diberlakukan.
Salah satu upaya mengenali wisata kuliner Yogyakarta populer bisa ditengarai dari banyaknya motor yang terparkir. Motor yang terparkir menandai dua hal yang bisa jadi saling menegasikan, murah dan enak. Jadi bisa jadi, parkiran motor yang meluber lebih menandakan “kapasitas” tiap piring, daripada “kualitasnya”. Biasanya fenomena ini bisa ditemui di dekat-dekat pondokan mahasiswa. Bagi mahasiswa dan terutama bagi teman saya Asrul Tusna Aminuddin (sori srul), kuantitas porsi menjadi sasaran utama. Di Nasi Goreng Pele, parkiran lebih didominasi mobil dengan beragam plat nomor, walaupun plat nomor tidak otomatis menandakan pemiliknya tidak tinggal di Yogyakarta.
Tapi yang jelas, peminat nasi Goreng Pele adalah mereka yang ingin menikmati kekhasan Yogyakarta, kekhasan menu orang-orang tertindas.
Terimakasih untuk Danang Rio dan Aji Nugroho yang mengenalkanku dengan nasi goreng pele.