Berbarengan dengan naiknya harga bahan kebutuhan pokok seiring dipangkasnya subsidy BBM, Indonesia digemparkan dengan temuan BBM (Bahan Bakar Motor) dari Air (H2O) yang diberi nama Blue Energy. Temuan yang diklaim Djoko Soeprapto ini kemudian masuk ke lingkar dalam SBY, menipunya, sehingga didukung orang no 1 di Indonesia. JS dikenalkan ke SBY melalui ‘staf pribadi‘ Heru Lelono dan kemudian membangun perusahaan di Cikeas, 2 kilometer dari rumah SBY. Tulisan ini akan mengurai bagaimana Indonesia hanya memberikan cek kosong bagi siapapun presiden negeri ini yang dengan leluasa membangun kitchen cabinet.
Sejarah telah mencatat terdapat sedikitnya empat kali kasus penipuan besar yang melibatkan presiden dan pejabat negara. Penipuan pertama dilakukan Raja Idris dan Ratu Markonah yang mengaku dapat membantu Soekarno membebaskan Irian Barat. Setelah mengaku sebagai pemimpin Suku Anak Dalam dan tinggal berminggu-minggu di hotel, Markonah yang ternyata adalah pelacur kelas kambing di Tegal dan Idris yang tukang becak ketahuan belangnya.
Penipuan kedua terjadi di masa Soeharto ketika Adam Malik menjabat Wapres. Nuansa religius yang kental di tahun 1970 an waktu itu mencetuskan ide Cut Zahara Fona yang mengaku memiliki bayi dalam kandungan yang bisa mengaji. Buya Hamka, Adam Malik dan mantan PM Malaysia Tengku Rahman Putra, tercatat tertipu Fona yang ternyata menggunakan tape recorder kecil di balik bajunya, barang langka ketika itu.
Penipuan keempat berlangsung ketika Istana dipermak menjadi mirip Pesantren di jaman Gus Dur, sehingga Soewondo, tukang pijatnya, bisa ngemplang 35 milliar. Penipuan keempat dilakukan Prof Said Agil, menteri Agama dan dosen yang mengali situs batutulis untuk menemukan harta karun guna membayar hutang.
Nah, sejak reformasi dan amandemen UUD 1945 diberlakukan, banyak sekali celah dalam system ketatanegaran kita. Celah-celah ini sedikit demi sedikit ditutup oleh lahirnya Undang Undang baru yang diikuti dengan berbagai peraturan pendukung. Sayangnya, saat ini Presiden masih diberi ‘cek kosong’ setelah memenangkan Pilpres. Presiden ‘dapat’ membuat lingkaran di seputar dirinya yang tumpang tindih fungsinya dengan cabinet yang dibentuknya. Lingkaran ini disebut sebagai Kitchen Cabinet dalam tulisan lainnya, saya mengkritiknya dengan Chicken Cabinet, karena mandul mengadapi DCA.
Dalam kasus blue energy, Kitchen Cabinet SBY memangkas kerja lembaga-lembaga negara lainnya seperti BPPT dan LIPI. Kuatnya jaringan penipu ini mampu mengelabui SBY yang rela jongkok di belakang knalpot, mempopulerkan Blue Energy di acara International UNFCC di Bali dan bahkan SBY kemudian menamai minyak tersebut sebagai Minyak Indonesia Bersatu. Memprihatinkan karena tidak ada saringan komunikasi yang masuk ke Presiden.
Kitchen Cabinet sebenarnya bukan barang baru, ide Gus Dur ketika membuat Dewan Ekonomi Nasional (DEN) dan Dewan Keamanan Nasional (DKN) sebenarnya bisa dipandang sebagai reaksi putus asa Gus Dur melihat kabinet komprominya macet. Semasa Megawati yang singkat, tidak terekam kitchen kabinet dibuat, tapi kemungkinan besar ada dan bersinggungan dengan peran suaminya, Taufik Kiemas yang bisa dilihat dari kunjungan suami istri ini ke beberapa negara. Berbeda dengan Gus Dur dan Mega, SBY sejak awal pemerintahan membangun Kitchen Cabinet setelah belajar dari kegagalan dua pendahulunya.
Sebagaimana kita tahu, kabinet Indonesia bersatu juga merupakan cabinet ‘kompromi‘ yang berisi berwakilan dari partai-partai politik, terutama partai besar. Terdapat delapan partai yang masuk ke kabinet pelangi ini (Partai Demokrat, Partai Golkar, PBB, PKPI, PKS, PKB, PPP dan PAN). Kabinet ini menyisakan PDIP untuk bertarung di luar kabinet. Kompromi ini wajib hukumnya bagi SBY mengingat suara Partai Demokrat, partai yang mengusungnya, hanya 7 persen di DPR. Untuk dapat menjalankan pemerintahan tanpa ‘interupsi’ oleh DPR di system Presidensill dalam mekanisme Checks and Balances, SBY tidak punya pilihan lain selain membuat cabinet kompromi. Pendeknya, jika nanti ditanya DPR tentang suatu program, SBY toh tidak terlampau ‘salah’ karena pemerintahannya cukup tangguh karena diisi perwakilan partai-partai. Bagi Partai-Partai di DPR, menjatuhkan SBY sama saja dengan menjatuhkan wakil partainya di Eksekutif. Dengan langkah ini SBY berhasil memindahkan locus checks and balances antara Eksekutif (presiden) dan legislative (DPR) menjadi intra legislative, sekaligus memandulkan fungsi DPR karena sibuk berdebat sesama anggota DPR dari lain Fraksi/Partai.
Kekurangan cabinet kompromi terletak pada kemampuan Presiden yang lemah dalam mengontrol menteri-menterinya. Menteri-menteri dan Political Appointees di kabinet bisa ‘bermain’ untuk kepentingan partainya masing-masing. Kabinet menjadi susah dikontrol dan liar, atau dalam bahasa birokrat menjadi ‘kurang koordinasi.’ Masing-masing departemen memiliki urusan yang tumpang tindih, dan tidak sejalan. Pemerintahan jelas menjadi lamban dan tidak efektif, seperti kita temukan saat ini.
Untuk menyiasatinya, SBY menciptakan kitchen cabinet yang dibentuk dari lingkaran dalamnya sendiri guna mengatasi masalah di cabinet kompromi. Ini menjadi semacam kabinet bayangan yang powefull karena diisi oleh orang-orang pilihan presiden. Tidak ada kualifikasi tertentu karena tidak diuji publik dan tidak masuk dalam pengawasan DPR. Prinsipnya gampang, Siapa Dekat, Dia Dapat. Presiden ‘dapat’ membuat, mengangkat dan memecat orang-orang dalam kitchen cabinet karena sampai saat ini tidak ada ketentuan Undang Undang yang melarangnya. Idealnya, hal ini diatur dalam Undang Undang tentang Kepresidenan. Teori lama hukum berkata, selama tidak dilarang, ‘diasumsikan’ boleh dilakukan.
Undang Undang tentang Kepresidenan seharusnya mengatur seluk belum Presiden secara professional dan presiden secara pribadi. UU ini yang menentukan staff apa saja yang bisa dibentuk dan kewenangan apa saja yang bisa dimiliki. UU ini juga mengatur presiden secara personal, mulai menentukan masa cuti presiden, hingga perlukah tukang pijak masuk ke istana dan criteria memijat apa yang dimiliki (yang bisa saja didetailkan dengan peraturan). Sekali lagi, pengaturan urusan remeh temeh ini nampak sepele, tetapi sebagai presiden yang memimpin 225 juta rakyat Indonesia, ‘kecethit‘ atau ‘tengeng‘ saja bisa menjadi hal yang serius. Bayangkan jika dalam laporan tahunan 16 Agustus, Presiden tidak bisa menunduk atau menengok karena ‘tengeng‘ lehernya, kan repot dan memalukan. Disamping itu, Presiden tengeng akan dikenang sejarah bertahun-tahun. UU ini juga membahas tentang kemungkinan-kemungkinan kecil tapi penting, misalnya jika Presiden dan spouse-nya bercerai. Siapa yang menjadi ibu/bapak negara??? Terlihat konyol, tapi UU semacam ini diberlakukan di hampir seluruh negara yang menganut asas presidensial murni seperti Indonesia.
Sudah 4 tahun ini, Tim Jogja (minus alm. Prof Riswandha Imawan) mempromosikan pentingnya UU Kepresidenan ke DPR. Draft alternative sudah dibuat dan sudah disebarluaskan, seminar-seminar sudah dilakukan, tapi tampaknya DPR tidak menganggapnya serius.
Terakhir, kembali ke Blue Energy, mungkin SBY kuwalat, karena telah menipu rakyat dengan berjanji untuk tidak menaikkan harga BBM (dengan terus memberi subsidy) September lalu.