Perjuangan politik adalah perjuangan melawan lupa…
Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa (Milan Kundera)
Barangkali itulah semangat yang ingin dimunculkan M Yuanda Zara, mahasiswa sejarah UGM angkatan 2003, melalui bukunya: Kematian Misterius Para Pembaru Indonesia. Seperti biasa, buku bahasa Indonesia yang mampir di stock buku baru Chiefley library, perpus Sosial politik ANU, bisa menjadi semacam ‘refresing’ membaca saya. Telah dua buku tentang ‘masa lalu’ yang saya baca, yang pertama buku tentang ‘Tommy Soeharto’ dan yang kedua buku Zara ini. Buku semacam ini, tak lebih dari 3 jam dibaca, begitu dipinjam, dibaca di perpustakaan dan langsung dikembalikan.
Buku ini bercerita tentang enam tokoh Pembaru Indonesia yang meninggal karena dibunuh atau dihilamgkan. Keenamnya adalah Tan Malaka, Marsinah, Udin, Wiji Thukul, Baharuddin Lopa dan Munir. Keenamnya ditulis dengan gaya deskriptif dan lebih banyak naratif sembari bertutur. Tapi berbeda dengan tulisan lainnya yang cenderung interogative, tulisan ‘adik’ ini menarik karena ditulis dengan memanfaatkan berbagai sumber, termasuk internet dan blog.
Keenam orang itu adalah misteri bagi bangsa Indonesia. Hidup keenamnya adalah perjuangan dan akhirnya adalah sebuah misteri. Tan Malaka ditembak dan mayatnya dibuang di kali Brantas, Marsinah disiksa selama tiga hari sebelum dibunuh tentara, Udin dieksekusi pembunuh di rumahnya di jalan Parangtritis, istrinya sempat melihat pembunuh suaminya, Wiji Thukul hilang, Lopa dan Munir dikabarkan dibunuh dengan arsenic.
Buku ini mengingatkan saya pada peristiwa 1 Juni lalu di Monas. Kabarnya, ratusan orang bersorban putih dan berpekik “Allahu Akbar” menyerang sekelompok lainnya yang lebih kecil yang mendukung pluralisme. Peristiwa itu menegaskan bagaimana kekerasan merupakan sarana yang paling mudah untuk menyelesaikan urusan. Mirip dengan FPI, bagi pembunuh keenam tokoh itu, kematian para tokoh itu adalah jalan satu-satunya. Bagi para pembunuh, diplomasi dan dialog adalah jalan buntu. Karena keenamnya terlalu ‘membahayakan’ untuk ukuran social politik pada saat peristiwa terjadi. Mereka semua memang harus dihabisi.
Karena itulah, sejarah Indonesia seringkali merupakan sejarah panjang kegetiran. Sejarah tentang bagaimana perjuangan seringkali ‘mentok’ dan penyelesaian singkat dipilih…BUNUH, adalah ungkapan kesenduan itu.
Sayangnya, sejarah memang mencatat bagaimana perjuangan mereka memang pada akhirnya terhenti, atau paling tidak, gaungnya tidak seperti dulu lagi. Bernas tentu saja kehilangan gaya tulisan Udin yang jujur dan lugas. Lopa, dan kejaksaan Agung sepeninggalnya, tentu tak bisa lagi membuat koruptor ke terali besi. Wiji Thukul, tentu akan berhenti membuat syair dan puisi.
Tetapi, pembunuh-pembunuh itu menafikan satu hal yang krusial. Kenangan akan mereka tak akan lekang berabad-abad. Semangat mereka tak akan pernah mati dan akan melahirkan ribuan orang yang akan meneruskan perjuangan mereka. Barangkali FPI juga lupa, bahwa pentungan dan bogem mentah tak mampu merubah keyakinan di hati dan pikiran, yang hanya akan mungkin dirubah lewat tukar pikiran dan dialog.
Sejarah kegetiran lebih sering hinggap di tengah kaum minoritas. Film Ayat Ayat Cinta yang kabarnya sempat menjadi isu di Indonesia adalah ungkapan bagaimana minoritas (Mariah) yang harus tersungut di tengah depresi. Hal ini semata-mata karena ‘mesir’nya Fahri adalah Islam sementara di sendiri tidak. Film romantis ini diakhiri dengan meninggalnya Mariah ketika untuk pertama kalinya melakukan sholat yang diimami Fahri.
Ayat-Ayat Cinta tentu hanya sebuah fiksi. Film ini menegaskan bahwa mayoritas (bac: Islam) akhirnya memang menang. Saya hanya membayangkan seandainya kisah film ni dibalik. Fahri yang Nasrani, dan Mariah yang muslim. Nyawa Mariah akhirnya terlepas ketika untuk pertama kalinya dia mengucap nama :YESUS.
Bayangkan reaksi yang terjadi…..
FPI jelas akan angkat parang terhadap pesan KRISTENISASI, tapi acuh pada ISLAMISASI.
Film ini jelas menunjukkan betapa vulgarnya ISLAMISASI, tetapi mayoritas muslim Indonesia lebih keras berbicara tentang KRISTENISASI. Di ANU, seminar film Ayat Ayat Cinta digelar, dipromosikan tentang bagaimana muslim menghadapi realitas dunia yang berubah. Bagaimana sosialisasi tentang nilai Islam disosialisasikan dalam budaya handphone dan internet. Kita seringkali lupa, sebagai mayoritas, untuk juga memikirkan minoritas. Di Australia, pelajaran tentang minoritas ini sungguh terasa bagi kaum kaum muslim. Hanya ada satu masjid di tengah 300 ribu penduduk Canberra. Harus berkendara 20 km untuk mencari daging halal dan berbagai perjuangan lainnya untuk sekedar ingat akan Allah.
Saya hanya teringat pesan orang orang Jawa…
Sopo Nandur Bakal Ngunduh…