Sejak lahir hingga kuliah di Yogya, saya tinggal di Bogeman, sebuah kampung di jantung kota Magelang. Sekitar satu kilometer dari alun-alun. Kampung ini tidak besar, tapi bagaimana kenangan masa kecil menjadi inspirasi di masa depan menjadi menarik untuk diceritakan. Bogeman terbagi menjadi tiga: Bogeman Lor (utara), Bogeman Kidul (selatan) dan Bogeman Wetan (Timur). Dari sejarahnya, Ibu saya berasal dari Bogeman Wetan dan kemudian pindah ke Bogeman Kidul mengikuti Bapak.
Nah Kisah Bogeman muncul saat ada salah satu tugas yang paling teringat ketika menjadi mahasiswa baru yaitu tugas matakuliah Sejarah Sosial Politik, dimana kami harus membuat Sejarah Diri Sendiri (thanks to Mas Cornelis Lay). Apapun!!! Tugas ini memberikan pandangan bahwa sejarah tidak hanya didominasi tokoh-tokoh besar dengan peristiwa besar, ia bisa lahir dari hal kecil dengan pelaku yang tidak penting. Saya memilih untuk menceritakan tentang kampung Bogeman dalam matakuliah itu yang berakhir dengan nilai A.
Nama Bogeman apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti PUKULAN. Dari namanya, anda tentu dapat membayangkan bagaimana kampung saya. Di sebelah barat, dipisahkan oleh Sungai Manggis yang terkenal karena Novel Burung Burung Manyar nya Romo Mangun, ada kampung Juritan. Di Sebelah Timurnya ada Kampung Jaranan. Di samping Jaranan ada kampung Paten (mati, meninggal). Juritan dulunya dipakai sebagai markas Prajurit dan Jaranan dipakai tempat menyimpan kuda, dan Bogeman, tentu saja, adalah tempat Prajurit Berpukulan. Artinya, kampung saya sudah mewarisi tradisi kekerasan sejak lama. Versi lain nama Bogeman karena terdapat makam Kyai Bogem, tapi hal itu tidak bisa menjelaskan nama Juritan dan Jaranan, apalagi Paten yang menjadi musuh bebuyutan perkelahian tarkam dengan Bogeman (sekarang masih ada gak ya).
Tiga Kampung Bogeman memiliki akar dan tradisi yang berbeda. Bogeman Timur, tempat mbah saya, tidak pernah menarik untuk diceritakan. Jalan yang sempit dan berliku dengan tumpuan rumah-rumah yang tidak beraturan menjadi setting geografis bagaimana seluruh MALIMA: Maen, Madon, Madat, Mabuk, Maling, menjadi gejala umum yang hampir bisa ditemukan di setiap sudut kampung. Tiap hari, selalu ada cerita tentang si A yang istrinya selingkuh, Si B yang tertangkap mencopet, Si C yang jadi Bandar Kuda Lari (judi yang menjadi generasi penerus SDSB) dan sebagainya. Saat menginap di rumah Embah, yang Alhadulillah tak pernah lepas wudhu sampai wafatnya, saya seringkali dibangunkan oleh suara lemparan piring pecah, makian istri karena suami pulang pagi, dan anak yang menangis minta sarapan, yang tak kunjung tersedia karena memang tidak ada yang bisa dimasak. Tapi bagaimanapun, menginap di rumah Embah selalu menjadi pengalaman yang menyenangkan, terlebih karena saya bisa mencicipi babat sapi goreng yang dipersiapkan untuk dijual bersama bahan sarapan lainnya, 100 meter dari rumah Embah setiap hari. Setiap pukul 2 pagi, pasangan suami istri ini telah menanak nasi, menyiapkan kluban, menggoreng tempe untuk dijual guna mencukupi biaya keenam anak mereka.
Bogeman Lor dan Bogeman Kidul juga memiliki setting yang tidak kalah berbeda dengan Bogeman Wetan. Bedanya, dikeduanya dilalui jalan agak besar yang bisa dilalui dua mobil, yang menghubungkannya dengan beberapa titik lain di Magelang. Kedua Bogeman ini, lebih maju secara ekonomi. Khusus di Bogeman Kidul, kelas menengahnya lebih banyak dan diantara mereka tidak sedikit yang sudah memikirkan pendidikan tinggi. Di Bogeman Kidul juga ada satu-satunya masjid yang jaraknya 25 meter dari rumah saya.
Di seluruh kampung Bogeman, terutama di Bogeman Kidul, banyak sekali penduduk dari etnis Cina. Dari rumah saya, rumah di seluruh arah mata angin dimiliki Cina. Tapi jangan salah, Cina di Bogeman berasal dari seluruh strata kelas ekonomi, mulai tukang becak, preman, copet sampai pedagang kaya. Banyak teman kecil saya yang juga Cina dan nama nama Cina semacam, Ping Ping, Wen Wen, Ming, An, akrab betul di telinga. Cina di Bogeman juga berbaur total dengan etnis lainnya. Setiap tahun, pemrakarsa pembersihan got di kampung dan penyokong dana 17-an didominasi Cina. Di Bogeman, saya menemukan bagaimana Bhinneka Tunggal Ika menunjukkan kesaktiannya.
Saya menikmati masa kecil yang menyenangkan di Bogeman. Kampung ini menawarkan beragam pilihan masa kecil. Semua bisa memilih menjadi anak kecil baik-baik yang melewatkan sebagaian besar sore di masjid atau menjadi dolop* kecil yang membantu penjualan obat. Sejak kecil, saya mengenal konsep ‘taruhan‘ lewat permainan kartu dan kelereng. Ada juga penjual es putar yang nyambi jadi bandar “rolet” , versi kampung dari Roulette, judi yang terkenal di Vegas sana. Di bagian belakang sepedanya, setelah bahan-bahan untuk berjualan es, ada sebuah kotak untuk berjudi. Ketika kotak itu dibuka, ada putaran yang didudukkan secara horisontal, seperti roulette dengan paku yang dapat menunjukkan ke 16 gambar yang masing-masing dipisahkan dengan kawat. Jika putaran berhenti, paku akan menunjuk ke salah satu gambar. Sisi lainnya, yang menjadi dinding ketika kotak ini ditutup, berisi ke 16 gambar yang dipakai untuk bertaruh. Gambarnyapun lokal sekali, ada Gareng, Petruk, Semar dls. Saya sering bertaruh di Togog dan tidak pernah menang. Menariknya, selain dapat bertaruh diluar membeli es, setiap anak yang membeli es akan diberi “bonus” satu kali kesempatan memutar rolet dengan kesempatan 1/16 mendapatkan es kedua. Jika ingin taruhan saja tanpa membeli es, anak-anak dibatasi bertaruh seharga dua buah es. Menarik sekali..
Ketika SD, saya tahu betul bagaimana Pencuri sandal di Masjid dikurung di rumah kami untuk mengaku, dengan bogem mentah yang mendarat bertubi-tubi. Di luar jendela, ratusan orang berteriak-teriak minta maling ini dikeluarkan. Kisah maling sandal ini unik karena ditangkap setelah “diumpan” sandal untuk dicuri. Peristiwanya terjadi ketika tarawih dan sudah empat pasang “sandal umpan” yang terlewat. Canggih juga nih maling sandal.
Tak lama setelah itu, pintu rumah diketok polisi yang minta ijin ke bapak yang kebetulan Ketua RW Bogeman Kidul (selama 28 tahun), untuk menangkap seorang buron. Drama ini diakhiri dengan desingan peluru yang membuat seorang warga Bogeman tertembus di kedua kakinya dan jatuh dari genteng rumah. Kalau tak salah namanya Ibrahim, panggilannya Brahim. Di Bogeman, nama nabi pun bisa jadi residivis.
Bogeman juga memberikan pelajaran penting tentang komunitas. Saat menjadi ketua remaja masjid untuk dua periode (namanya IRIS: Ikatan Remaja Islam), saya menemukan bagaimana sulitnya menyatukan beragam orang, dengan berbagai motivasi dan latar belakang, untuk mengajak orang mau ke Masjid. Kondisi ini berbeda jauh dengan memimpin beberapa organisasi di SMU yang relatif memiliki latar belakang yang mirip.
Dunia sekolah membuat saya terlepas dari akar ke-Bogeman-an. Sahabat di SD memberikan tawaran berteman yang baru. Sekolah memberikan jendela bahwa ternyata dunia ini begitu luas. SMP memberikan alternatif menarik lainnya. Praktis sejak selesai di remaja Masjid di kelas 2 SMU, Bogeman hanya menjadi tempat yang menyisakan ruang bagi keluarga. Sejak saat itu, Bogeman hanya menjadi pelengkap cerita masa kecil.
*Dolop adalah sebutan untuk ‘pemeran pembantu’ (marketing staff ) dalam penjualan kelas teri obat, sulap, lem, kerajinan, dls. Dulu Obat (tanpa cap Depkes tentu saja) dijajakan secara terbuka di depan bioskop Kresna. Dolop adalah bagian dari penjual obat yang membaur diantara pembeli, yang berpura-pura sakit, dan sembuh setelah minum atau diolesi obat tertentu, atau bercerita pengalamannya memakai obat. Pendeknya tugas utama Dolop adalah menjual produk, bagaimanapun caranya.
Dalam sulap, tugas dolop membangun image kekaguman yang seolah berasal dari penonton, yang membuat penonton lain tertarik membeli produk sulap. Sejak SD, saya sudah tahu modus penipuan ini.