Piala eropa tengah digelar. Jutaan orang rela menanti di depan TV tiap dini hari untuk menyaksikan negara demi negara tumbang oleh negara yang lain. Sepakbola memang menjadi hiburan yang istimewa, membius dan menyebarkan candu. Tidak berbeda dengan rokok. Mungkin ini sebabnya, pabrik rokok selalu gemar beriklan di ajang bola. Tapi posting kali ini bukan posting tentang pencinta bola, apalagi tentang industri rokok. Ini adalah tulisan laki-laki yang tidak menyukai bola, yang menjadi minoritas di tengah komunitas laki-laki lainnya.
Lelaki Indonesia suka sekali dengan bola. Saya tidak tahu sebabnya. Sepakbola adalah olahraga tradisional yang peraturannya hanya berubah sedikit sekali dalam 300 tahun. Apa istimewanya sebuah bola yang ditendang ke kanan, kiri, depan belakang untuk dapat masuk di gawang yang besar itu. Gawangnya pun juga dijaga oleh kiper, tentu saja susah. Nah karena susah, mengapa menjadi menarik? Apanya yang istimewa?
Tapi fakta memang membuktikan bahwa sepakbola menjadi sarana social yang sangat ampuh dalam komunitas. Dalam komunitas lelaki, prestise bisa tiba-tiba terangkat jika hapal betul dengan nama-nama pemain, sejarah hidup dan kariernya, sampai urusan asmaranya. Lelaki tipe begini, bisa dipastikan mendominasi percakapan. Para lelaki, terutama remaja, lebih mudah menghapal semua pemain asing sebuah negara, daripada ibukota provinsi di Indonesia, yang menjadi pelajaran wajib di IPS. Mayoritas lelaki Indonesia, layak menjadi komentator sepakbola tingkat nasional.
Pengalaman saya dengan sepakbola tidak begitu menyenangkan, baik di lapangan ataupun di depan TV. Pertandingan ‘profesional’ pertama terjadi ketika kelas 1 SMP. Saat itu, sekolah mengelola pertandingan sepakbola antar kelas, mulai kelas 1A sampai kelas 1D, untuk itu saya harus berpartisipasi. Dunia sesempit itu tidak menawarkan pilihan untuk tidak ikut. Sepakbola menjadi semacam tanggung jawab kelompok guna memupuk solidaritas kelas. Apa boleh buat, saya lalu memilih menjadi bek. Alasannya sederhana, menjadi seorang bek hanya punya satu tugas, menendang bola ke depan sejauh-jauhnya. Nah, dengan satu-satunya kemampuan menendang gaya ‘nggajul’ yang saya miliki, pilihan ini saya harap tidak terlalu buruk.
Masalahnya, ini adalah pertandingan pertama saya memakai sepatu bola pinjaman yang sudah uzur, sedikit kegedean dan berkutu. Alih-alih mengawasi bola yang menyerang gawang, saya lebih sering menggaruk-garuk kaki yang gatal karena sepatu yang sudah telalu lama di gudang tetangga. Kondisi ini diperparah dengan pengertian dasar tentang posisi bek. Berdasarkan pemahaman waktu itu, bek adalah peneman kiper yang setia. Dia tidak boleh jauh-jauh dari kiper. Nah, ketika tim kami menyerang, saya selalu mengajak teman-teman bek untuk mundur menemani kiper. Tentu saja jarak terbentang segera tercipta antara gelandang dan bek. Nah, gol-gol lawan selalu datang dari serangan balik yang sangat cepat. Saya tidak mengerti jebakan offset, yang saya ingat, sekencang apapun saya lari, bola lebih cepat sampai ke gawang. Dalam hati bertanya mengapa susah menciptakan gol dalam kondisi semacam ini? Hasilnya tentu sudah jelas, kalah telak.
Kisah kedua, masih di turnamen yang sama, pengalaman pertama terulang kembali. Pada pertandigan ketiga, kiper kelas kami tidak datang karena sakit. Sekali lagi sebagai bentuk solidaritas kelompok, saya menjadi kiper. Belajar dari kesalahan menjadi bek, mungkin menjadi kiper lebih mengurangi kemungkinan salah posisi, wong toh tetap berada di bawah tiang gawang. Tapi ternyata pengalaman kedua ini tidak kalah memalukannya. Masih gatal dengan sepatu pinjaman tadi, saya lupa bahwa mata telah minus 2 sehingga sulit membedakan antara kepala lawan dan bola yang menyerbu. Keduanya sama-sama titik hitam di atas lapangan yang panas. Hasilnya sekali lagi kalah telak, dan kelas kami tidak pernah main lagi.
Ketika SMU kelas 2, kisah memalukan di lapangan bola kembali terjadi. Tapi hal ini bukan karena sepatu, atau salah posisi. Ini terjadi karena pertandingan antar kelas tidak memenuhi kuorum, hanya dihadiri 12 dari 22 orang yang seharusnya datang. Di luar dugaan, ternyata ada adik kelas 3 SMP yang juga ingin bertanding di lapangan yang sama, beradulah kami lawan anak SMP. Karena mayoritas tim diisi oleh orang-orang seperti saya, kami kalah telak 7-1. Tapi bukan ini yang memalukan. Lebih memalukan saat terpeleset waktu mau merapal jurus ‘tendangan nggajul’ andalan. Lapangan yang becek dan tendangan ‘ajian’ sekuat tenaga, mendorong kaki kanan sampai jauh di atas, menyebabkan sobeknya celana saya dari sambungan kolor depan, vertical ke sambungan kolor belakang. Tak perlulah ditulis dampak dari peristiwa ini.
Nah di luar lapangan, ketika ‘terpaksa’ harus menonton bola, keperpihakan pada salah satu tim seolah menjadi kewajiban, biar seru dan bisa saling mengomentari antara penonton lainnya. Nah, saya berada di posisi itu persis tanpa referensi, blank sama sekali. Tapi pilihan tetap harus dilakukan. Untuk itu, keberpihakan didasarkan atas berdasarkan criteria saya sendiri. Jika yang lain memilih berdasarkan referensi dan kekuatan tim, nah saya, memilih di luar faktor-faktor itu. Jika ada bola Jepang lawan China, pilihan jatuh ke China. Buat apa memilih Negeri yang telah menjajah Indonesia, menciptakan romusha, jugun ianfu dan penderitaan luar biasa bagi rakyat Indonesia. Jika Malaysia lawan Vietnam, pilihan jatuh ke Vietnam, selain banyak teman dari Vietnam yang baik-baik, Malaysia lebih tepat berganti nama menjadi Malingsia. Malingsia ini mencuri kayu dan Ikan Indonesia, menyiksa TKI dan mengakui semua produk Indonesia sebagai kekayaan leluhurnya.
Selain itu, membelikan oleh-oleh bagi pecinta bola juga gampang-gampang susah. Waktu di Italia, istri saya teringat sahabat yang hobi betul bola dan berniat membelikan oleh-oleh kostum asli, sekali lagi asli, dari salah satu tim Italia. Lha, ketika saya telpon, temen ini berujar
“wah ojo nek Italia, nek Inggris gelem”. Waduhhh
Maka jadilah kerepotan baru mencarikan oleh-oleh yang ‘sesuai’ dengan selera pemesan, dan ini bukan pekerjaan mudah di tengah banyaknya tim di Eropa. Lebih susah lagi karena kami berdua buta sama sekali tentang klub-klub ini.
Itulah bola, ia menjadi magnet yang mampu menarik atau menolak peminatnya dalam kutup yang sama sekali berbeda. Bola mampu menarik magnet nasionalisme ketika timnas Indonesia bertanding melawan negara lain. Magnet ini jauh lebih kuat dari Badminton, Tinju apalagi A1. Bola mampu menarik emosi setiap penduduk Indonesia tentang pentingnya dukungan untuk 11 orang yang berlaga di Gelora Bung Karno. Jadi, walaupun tidak suka bola, saya setuju dengan ide di Nagabonar 2 yang menjadikan bola sebagai prioritas nasional. Masak sih, dengan 220.000.000 penduduk Indonesia, kita gagal mencari 22 orang untuk memenangkan bola di ajang Internasional ????