Banyak sekali yang terjadi selama enam bulan di Canberra. Pertama-tama meninggalnya Soeharto yang walaupun penting, tapi terasa jauh. Berita berikutnya adalah kelahiran dua keponakan baru dari kakak saya Aan dan adik saya Taufan, lelaki dan perempuan. Diantara kedua berita gembira ini, perjumpaan dengan pakde Dargo kemarin ternyata adalah perjumpaan terakhir. Diantara beberapa event-event penting tersebut, ada beberapa peristiwa yang juga berubah, salah satunya terbakarnya Pasar Rejowinangun di Magelang, salah satu tempat bersejarah yang tidak akan pernah ditemukan lagi dalam bentuk yang sama pada kamis 26 Juni 2008 magrib.
Semangat yang diperlukan untuk berangkat sekolah ke luar negeri tidak hanya kemampuan akademis dan bahasa, termasuk salah satunya kesiapan “kehilangan” dinamika di Indonesia, di kampung halaman dan keluarga. Dinamika kehidupan orang-orang yang dekat dan berkaitan dengan pernikahan, kelahiran, kematian dan yang lainnya harus diiklaskan. Kehilangan paling mudah tentu saja rindu pada gorengan, lotek dan pindang keranjang. Tapi toh jika pulang nanti tetap ada tukang gorengan dan lotek, apalagi pindang keranjang. Tapi saya tidak pernah mempersiapkan diri mendengar berita Pasar Rejowinangun terbakar dan tidak pernah lagi melihat bentuknya seperti dulu.
Pasar ini mengesankan, bukan karena saya sering ke pasar Gedhe, sebutan untuk pasar Rejowinangun, tapi justru karena hanya beberapa kali ke sini. Menariknya, Pasar Gedhe selalu memberikan solusi dalam himpitan masalah yang ada. Saat SD dulu, saya kesulitan mencari lambang bedge untuk seragam Pramuka penggalang. Sebagaimana kita tahu, regu di Penggalang yang terdiri dari beberapa siswa dinamai binatang untuk regu laki-laki dan bunga-bungaan untuk regu perempuan. Waktu itu saya kebagian regu Rubah, regu yang tidak populer di Indonesia. Regu populer untuk laki-laki tentu saja Harimau, Singa, Elang, Kobra, Kalajengking dan Garuda. Guru SD menentukan secara otoriter anggota tiap-tiap regu dan kami, karena berdiskusi terlalu demokratis, kehilangan kesempatan memilih lambang-lambang regu favorit itu. Pilihan demikianterbatas dan jadilah regu Rubah. Masalahnya, lambang binatang yang harus dijahit di bahu seragam Pramuka ini tidak popular, toko-toko kecil di dekat sekolah dan koperasi sekolah tidak menjual lambang ini. Kebingunan karena tidak ber-badge selama berminggu-minggu, saya menerima solusi seorang kawan,
“neng Pasar Gedhe ono“.
Nah, sejak menemukan lambang Rubah ini di los bagian tengah pasar, saya paham bahwa Pasar Gedhe menjadi solusi mencari sesuatu yang tidak ditemukan di toko manapun. Sejak itu, ibu memang selalu ke Pasar Gedhe untuk mendapatkan ikan tongkol terbaik, oven, kompor, jamu dan lain sebagainya.
Kabarnya, Pasar Gedhe terbakar pertama kali di bagian tengah di tempat baju bekas, tempat dulu mengantar teman SMU menjual tiga pasang celana jeans nya untuk naik gunung. Dilihat dari fisiknya, bangunan pasar Gedhe memang sudah tidak layak. Bangunan yang terdiri dari Kios-kios berlantai dua di bagian depan dan pinggir dan Los-los di tengahnya ini, memang terlihat berantakan, menjadi ciri khas pasar tradisional. Saat hujan, airnya becek dan lorong-lorong diantara los-los lebih banyak bocornya daripada yang tidak. Pasar ini juga tidak mampu menampung jumlah pedagang yang bertambah yang justru memenuhi jalan utama di depan pasar, di utara pasar yang menjadi pintu masuk utama. Setiap hari, jalan yang seharusnya berfungsi sebagai loading zone ini penuh sesak oleh pedagang yang mulai mendirikan los semi permanen. Kios-kios ini kemudian menyatu dengan Pasar Tarumanegara yang ditempatkan di atas Kali Manggis. Sehingga tidak aneh, ketika kebakaran terjadi, mobil-mobil pemadam susah sekali masuk ke lokasi, jangankan mobil pemadam, ayam saja bersenggolan di jalan ini.
Pada saat pesantren kilat SMU dulu, ada sebuah acara tentang kepedulian social. Acara yang dirancang untuk mengetahui kondisi sekitar Magelang ini dirancang oleh kakak kelas yang sudah kuliah. Saya kebagian untuk melihat fenomena pasar tradisional di tengah hadirnya pasar modern Hero yang berjarak 500 meter dari Pasar Rejowinangun. Dari wawancara dengan kepala pasar waktu itu, saya tahu bahwa pasar ini direncanakan direnovasi sejak tahun 1997 atau mungkin sebelumnya. Hanya saja, masih banyak kendala dan salah satunya adalah kesiapan pedagang untuk berkorban beberapa saat pindah, dengan segenap resiko ekonomisnya. Saat itu, telihat jelas bagaimana tata kelistrikan pasar ini amburadul, terutama di bagian los-los. Pasar yang dibangun tahun 1982 dan pembatas losnya terbuat dari papan tripleks itu bersliweran kabel listrik 220 volt dan kabel telepon yang juga tidak kalah semrawutnya, persis seperti rumah-rumah lama papan yang mengadopsi perubahan modernitas dengan telepon. Walaupun begitu, berita kebakaran ini sungguh membuat banyak orang kaget.
Kebakaran menjadi momok yang menakutkan. Di DKI saja, pada tahun 2006 yang saya masih ingat dalam liputan khusus kompas, terdapat lebih dari 600-an kebakaran. Setara dengan kira-kira ada 2 kebakaran per hari. Saya menjadi teringat film The Gangs of New York yang diangkat dari kisah nyata di New York tahun 1846 yang dibintangi Leonardo diCaprio. Film documenternya, dengan judul yang sama yang dibuat National Geographic dijadikan materi tetap pada mata kuliah Sejarah Sosial dan Politik di JIP UGM yang mencoba melihat bagaimana sebuah kota dibangun dan berproses. Film yang berkisah tentang sejarah New York ini, salah satu settingnya adalah cerita tentang bagaimana Pemadam Kebakaran Swasta berebut aksi di Five Points. Terkadang alih-alih memadamkan api, Fire Fighters pertikeliur ini justru Fight diantara mereka sendiri. Film ini menandakan, kebarakan menjadi momok tersendiri bagi Amerika generasi itu. Sejak saat itu, di seluruh, sekali lagi seluruh gedung di Negara-negara barat selalu menyediakan fire escape, seperti yang bisa kita lihat di tangga bagian belakang apartement yang seringkali dipakai untuk melarikan diri pada film action. Tulisan Exit yang mengarah ke tangga darurat di gedung yang berwarna hijau juga selalu menyala 24 jam dan belum pernah saya temukan mati, satu kalipun.
Ketika di Montreal, kesempatan untuk menyaksikan bagaimana sigapnya fire fighters beraksi sungguh pengalaman yang luar biasa. Cepat sekali mereka datang. Pengalaman yang sama pasti dirasakan oleh siapapun yang pernah kuliah/tinggal di negara barat. Dalam waktu yang sangat singkat, pemadam kebakaran akan datang, bukan ketika terjadi kebakaran, tetapi ketika muncul ancaman kebakaran. Di asrama-asrama mahasiswa asing, misalnya di asrama ISS di Dorus Rijkersplein Den Haag, Toadhall dan Fenner Hall di ANU Canberra, fire detector berada di setiap kamar dan common rooms serta dapur yang langsung berhubungan dengan pemadam kebakaran di pusat kota. Sehingga, sering terjadi, budaya Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya yang gemar menggoreng, berbenturan dengan sensitifnya fire alarm ini. Gosong sedikit, alarm berbunyi dan belum sempat berganti baju, Fire Fighter sudah datang. Jangan sekalipun mencoba merokok di ruangan-ruangan ini, pasti akan ketahuan, dimaki orang banyak dan didenda ratusan dollar.
Melihat realitas Indonesia, tampaknya kita masih berada pada kondisi di Amerika di pertengahan abad ke 19 itu. Kita, bahkan Jakarta, tertinggal kira-kira 150 tahun. Kita gagap pada kebakaran dan tidak pernah berlatih terhadap bencana yang satu ini. Padahal api sangat dekat dengan kita. Sudah berkali-kali saya berlatih jika kebakaran terjadi, mencari fire escape dan bertemu di meeting point untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Di setiap ruangan juga ada fire map, fire route dan meeting point. Sayangnya, semuanya dilakukan di luar negeri, dan kalau toh di Indonesia, dilakukan di gedung yang dikelola asing. Di Indonesia, jangankan berlatih fire escape, alarmnya pun tidak ada.
Seminggu sebelum pasar gedhe terbakar, seorang kawan SMU mengirim massage di Yahoo Massanger tentang sahabat yang lain yang rumahnya terbakar di Jepara. Sedih sekali membayangkan saat tiba-tiba seluruh isi rumah habis terbakar. Selalu terjadi, pada saat kebakaran terjadi, misalnya pasar Gedhe, koran-koran ramai menulis tentang kerugian material yang ditimbulkan, sekian puluh miliar, tanpa sekalipun mempertimbangkan kenangan dan emosi yang turut terbakar bersama api. Dan sekali lagi, pasar-pasar di Indonesia akan terus terbakar, karena kita tidak pernah mau belajar.