Bagaimana kesan anda membaca berita berikut yang saya ambil dari Harian terbesar di Jawa Barat Pikiran Rakyat ?
Mayat Diduga Korban Pembunuhan Ditemukan Warga Cimalaka Sumedang
Selasa, 21/08/2012 – 19:35
SUMEDANG, (PRLM).- Sesosok mayat laki-laki tanpa identitas, ditemukan warga tergeletak di sekitar mata air dalam kondisi bersimbah darah. Diduga, mayat tersebut korban pembunuhan.
Mayat itu ditemukan Ny. Enok (64) warga sekitar di Dusun Cikandung RT 04/RW 02, Desa Nyalindung, Kec. Cimalaka, Selasa (21/8) pagi. Enok menemukannya ketika akan mengambil air di mata air tersebut.
Adapun ciri-ciri korban, antara lain rambut lurus, kulit sawo matang, memakai jaket parasit hitam, celana jeans warna telur asin, sandal gunung motif loreng.
Selain itu, korban mengenakan gelang dan kalung rantai, cincin perak di jari tangan kiri serta di tangan kiri dan kanannya terdapat tattoo.
“Mayat korban sudah dibawa ke RS Hasan Sadikin Bandung untuk diautopsi,” kata Kasat Reskrim Polres Sumedang, Ajun Komisaris Suparma ketika dikonfirmasi di mapolres, Selasa (21/8).
Ia mengatakan, ketika ditemukan, mayat laki-laki berumur antara 25 sampai 30 tahun itu, dalam posisi tengkurap di sekitar mata air. Di sekitar dadanya, bersimbah darah akibat luka tusukan senjata tajam (sajam).
Di bagian dada kirinya terdapat dua luka tusukan dan dada kanannya satu luka tusukan. “Dengan luka tusukan senjata tajam tersebut, dugaan sementara korban ‘Mr X’ ini, tewas akibat dibunuh,” kata Suparma.
Hingga kini, lanjut dia, pihaknya masih menyelidiki kasus tersebut. Hanya saja, petugas menemui kesulitan dalam menyelidiki dan mengungkap kasus itu karena mayat korban tidak diketahui identitasnya.
“Karena tidak ada identitasnya, sehingga kami sulit untuk mencari keluarganya sekaligus mengungkap motif atau penyebab kasus pembunuhan ini. Apakah ada permasalahan atau konflik? kita juga belum tahu. Di sekitar TKP (Tempat Kejadian Perkara) pun, tidak ditemukan barang bukti senjata tajam,” kata Suparma.
Ia menambahkan, kronologis penemuan mayat itu, berawal ketika Ny. Enok hendak mengambil air di sekitar mata air di Dusun Cikandung. Saat mendekati mata air, dia langsung terperanjat karena melihat ada sesosok mayat tergeletak di sekitar mata air.
Tanpa basa-basi, saat itu juga Enok langsung memberitahukan kepada aparat RT dan RW setempat. Mendengar informasi itu, aparat setempat bersama warga melaporkan ke kantor Polsek Cimalaka dan Polres Sumedang. “Mendapat laporan ini, anggota kita langsung meluncur ke TKP,” tuturnya. (A-67/A-89)
Ini adalah berita biasa yang menghiasi surat kabar kita hampir setiap hari. Karena saking seringnya membaca berita ini, nurani kita menjadi tumpul. Saya akan menambah beberapa informasi tentang korban.
Mr. X yang dimaksud di berita tersebut bernama Erwin, umurnya 18 tahun. Erwin merupakan adik kembar yang dilahirkan beberapa menit setelah Erik. Jika anda tak terbiasa melihat kedunya, akan sulit membedakannya. Keduanya (mungkin karena kembar) memakai baju dan gaya yang relative mirip, kalung rantai dan gelang dan rambut lurus yang sedikit acak-acakan. Orang-orang kembar memang selalu menarik untuk diamati. Konon, mereka berbagi nasib. Sayangnya, takdir Erwin keburu dirampas ketika dirinya masih terlalu muda.
Erwin dan Erik tinggal 50 meter dari pabrik penggilingan beras milik mertua di Cibereum Sumedang. Sejak SD keduanya sering bermain di halaman pabrik yang berfungsi sekaligus sebagai penjemuran padi. Selepas SMP orangtuanya tak mampu membiayai sekolah mereka berdua. Mereka yang tidak meneruskan sekolah masih banyak di negeri ini. Tetapi di Jawa Barat, terutama di Sumedang menjadi fenomena yang agak umum. Memprihatinkan memang, tetapi itulah yang terjadi.
Karena keduanya sering bermain di pabrik selepas keluar sekolah, mereka akhirnya bekerja di UKM mertua. Tak ada rekruitmen, hanya bermain dan akhirnya bekerja. Erik bekerja di Rumah Potong Hewan dan Erwin bekerja menjadi kernet Backhoe di penambangan pasir. Tugas Erwin adalah membantu operator Backhoe memastikan Backhoe bekerja optimal, termasuk melumasi bagian-bagian Backhoe dengan olie. Erwin bekerja begantung shift dan Erik bekerja terutama malam untuk stok daging sapi di pasar pagi hari.
Pendeknya, kedua anak kembar ini jelas lebih baik dari teman-teman sebayanya yang sama-sama berhenti sekolah. Mereka umumnya menjadi bagian dari preman desa yang terorganisir yang mendapat limpahan rejeki dari ribuan truk pasir yang lewat sehari semalam. Kelompok preman desa ini mengorganisir diri dalam, sebut saja LSM. Mereka memaksa berjualan air mineral kepada sopir truk yang lewat, tentu saja dengan harga yang tak masuk akal. Air mineral merek abal-abal mereka jual 2000 rupiah dan setiap truk harus membelinya. Jika tidak, sopir truk yang berjalan lambat akan dikejar dengan motor dan air mineral akan dilempar di kaca sopir, setelah itu, sopir tetap harus membayar. Dengan untung 1000 rupiah per botol, preman terorganisir ini mampu mengumpulkan lebih dari 1 juta sehari semalam. Ini semacam retribusi sopir untuk preman. Masalahnya, pos air mineral ini tak cuma satu. Inilah versi rakyat jelata tentang high cost economics yang selalu dikeluhkan di negeri ini.
Bagaimana dengan polisi? Apakah mereka tak tahu praktek premanisme ini?
Sekedar informasi, pos air mineral ini hanya berjarak 100 meter dari kantor Polsek Cimalaka, Sumedang. Polisi, kita tahu, semakin lama, semakin sulit diharapkan. Seringkali polisi lebih memilih berposisi sebagai liabilities (beban) daripada Asset (aset) untuk negeri ini. Alih-alih menghentikan premanisme, polisi adalah bagian integral dari seluruh proses tersebut. Paling tidak, ini salah satu kesimpulan dari disertasi teman saya Ian Wilson dari University of Western Australia di Perth. Setiap perputaran ekonomi, apalagi yang illegal, adalah celengan-celengan babi yang bisa dipanen polisi tiap saat. Benteng pertama yang harus ditembus untuk menghentikan kriminalitas dan premanisme adalah lingkungan kepolisian sendiri. Ironis memang, tetapi itulah yang terjadi.
Kembali ke cerita Erwin, tentu saja kedua kembar ini tak netral dari pergaulan pengangguran dan premanisme yang ada di sekeliling mereka. Lemahnya daya dukung lingkungan keluarga, komunitas dan aparat, membuat problem kemiskinan menjelma menjadi masalah sistemik.
Masalahnya, kenapa Erwin harus dibunuh, dengan luka menganga yang tembus ke punggung kanan? Sampai sekarang semuanya masih menunggu polisi bekerja. Biasanya polisi sangat cepat untuk kasus-kasus pembunuhan.
Hanya saja, kondisi premanisme dan pengangguran yang dipicu oleh himpitan kemiskinan tersebut menghormati nyawa sedemikian rendah, tentu sangat masuk akal. Dunia tak akan kehilangan seorang Erwin. Hanya saja, ketika melihat Erik berkali-kali pingsan mendapati kembarannya dibunuh dengan tragis, tentu hati selalu bertanya: mengapa nyawa manusia dihargai begitu rendah?