Berikut ini adalah rangkuman beberapa pertanyaan teman-teman media via email dan WhatsApp.
Apa isi Sabdaraja 30 April 2015?
Gusti Allah, Gusti Agung, Kuoso Cipto.
Kawuningono siro kabeh
Abdiningsun, putri dalem, sederek dalem, sentono dalem lan abdi dalem
nompo weninge dawuh Gusti Allah, Gusti Agung, Kuoso Cipto lan romoningsun,
eyang-eyang ingsun, poro leluhur Mataram.
Wiwit waktu iki, ingsun nompo dawuh kanugrahan,
dawuh Gusti Allah, Gusti Agung, Kuoso Cipto
asmo kelenggahan ingsun,
Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati ing Ngalogo
Langengging Bawono Langgeng, Langgenging Toto Panotogomo.
Sabdo Rojo iki perlu dimangerteni, diugemi lan ditindakake yo mengkono sabdoningsun.
Apa isi Dawuhraja 5 Mei 2015?
Siro abdi ingsun, seksenono
ingsun
Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh, Suryaning Mataram, Senopati ing Ngalogo Langgenging Bawono Langgeng, Langgenging Toto Panotogomo
Kadawuhan netepake putriningsun
Gusti Kanjeng Ratu Pembayun
katetepake
Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram.
Mangertenono yo mengkono dawuh ingsun.
*Sabdaraja dan Dawuhraja ini berdasarkan rekaman klarifikasi Sultan HB X di Ndalem Wironegaran yang didengarkan penulis berulang-ulang. Jika ada kesalahan, teks asli dimiliki oleh Sultan HB X
Apa bedanya dengan yang sudah tersebar di media?
Beberapa media menyebut kata “abdiningsun” di Sabdaraja dan “Abdi Ingsun” di Dawuhraja dengan “adiningsun”. Padahal saya dengarkan rekaman berkali-kali, Ngarso Dalem tidak mengatakan “adiningsun” tetapi “abdiningsun”. Adik-adik Sultan HB X itu adalah “sederek dalem”. Jadi masuk dalam kategori “abdiningsun” yang terdiri dari putri dalem, sederek dalem, sentono dalem dan abdi dalem.
Dalam konteks Dawuhraja yang hanya menyebut “abdiningsun” itu maksudnya empat golongan di atas (Putri Dalem, Sederek Dalem, Sentono Dalem dan Abdi Dalem). Jadi Dawuhraja tidak hanya dikhususkan untuk adik-adik Sultan sebagaimana tersirat jika kata “abdiningsun” diganti “adiningsun”, tetapi untuk seluruh abdiningsun.
Apakah penjelasan Ngarso Dalem HB X bahwa Sabdaraja dan Dawuhraja adalah perintah Allah lewat leluhurnya bisa dipercaya?
Saya adalah ilmuwan politik bukan ahli supranatural yang tidak bisa memverifikasi apakah hal tersebut memang benar terjadi. Saya hanya bisa memberi pendapat tentang konteks dan sejarah yang menggunakan “kuasa langit” sebagai bagian dari legitimasi.
Menggunakan “kuasa langit” sama sekali bukan hal baru di dalam Kerajaan di Indonesia. Dalam prasasti Telaga Batu yang ditemukan di Palembang yang dibangun Kerajaan Sriwijaya sekitar abad ke 7 masehi mengisahkan tentang kutukan-kutukan yang akan diterima bagi mereka yang membangkang atau memberontak kepada kerajaan. Hal itu terus menerus digunakan untuk membangun legitimasi.
Di Kasultanan Yogyakarta, “bisikan leluhur” yang paling terkenal (sekali lagi saya tidak memiliki kemampuan verifikasi) adalah ketika HB IX mendadak menandatangai perjanjian dengan Gubernur Yogyakarta Lucien Adam setelah berbulan-bulan buntu. HB IX mendapatkan bisikan dari leluhur untuk menandatangani karena Belanda akan segera pergi. Bunyinya “Tole, tekena wae, Landa bakal lunga saka bumi kene.”(Roem & etal, 2011, p. 37) Setelah ditandatangani, beliau dinobatkan tahun 1940 dengan Dr Lucien Adam duduk di sampingnya.
Sebelumnya, Sultan Hamengkubuwono X juga mengaku pernah dua kali mendapatkan “bisikan leluhur”. Pertama ketika gerakan reformasi. Sultan yang mengaku melakukan laku spiritual mendapatkan petunjuk bahwa Suharto akan jatuh setelah ada dua pelita yang dikerumuni oleh ribuan laron. Sehari sebelum Suharto jatuh, Sultan HB X dan PA VIII mengeluarkan amanat bersama yang terakhir dikeluarkan 5 September 1945 di Alun-Alun Utara. Dua pelita itu adalah dua beringin kurung dan ribuan laron itu adalah mahasiswa yang mendengarkan orasi beliau. Makna bisikan leluhur ini disampaikan setelah Suharto jatuh.
“Bisikan leluhur” kedua beliau menjelang Pilpres 2009. “Bisikan leluhur” itu mengatakan bahwa sudah saatnya beliau “berganti pakaian” yang kemudian diterjemahkan sebagai maju menjadi Capres. Sultan HB X belum pernah secara administrative didaftarkan sebagai kandidat Capres atau Wapres.
Apa persamaan dan perbedaan dari ketiga “bisikan leluhur” itu dengan yang saat ini digunakan sebagai dasar Sabdaraja dan Dawuhdalem? Continue reading “Dawuhraja: Perintah dari Langit”