Tulisan ini ditujukan untuk sebagian kecil mahasiswa yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengerjakan skripsi atau tugas akhir. Karena tidak dikerjakan, bertahun-tahun itu menjadi tahun-tahun yang kurang berharga. Tulisan ini tidak ditujukan untuk mahasiswa yang baru saja mengerjakan skripsi dan terus mengerjakannya. Tetapi jika anda yang sedang bersemangat ingin mengambil hikmah ya silakan saja.
Sebenarnya pengalaman saya menyelesaikan skripsi juga tidak mudah. Saya lulus dalam lima tahun tiga bulan tetapi menghabiskan dua tahun lebih untuk skripsi. Tepatnya, beberapa bulan penelitian lapangan dan hampir dua tahun tidak menulis skripsi atau dua tahun seolah-olah mengerjakan skripsi. Sampai akhirnya dengan dukungan istri saya, saya bisa menyelesaikannya dalam waktu sekitar enam minggu. Tiga-empat minggu betul-betul menulis skripsi dari materi yang berserakan dan sekitar dua-tiga minggu untuk editing.
Menulis skripsi waktu itu seperti pertarungan tidak hanya intelektual, tetapi lebih kepada psikologis. Terlalu banyak gangguan di luar sana yang membuat skripsi tidak dikerjakan. Sayangnya daya dukung untuk membantu mahasiswa yang bermasalah di skripsi masih harus ditingkatkan, baik dari Universitas, Fakultas maupun Jurusan. Umumnya mahasiswa angkatan “dua ribu tua” akan merasa ketakutan untuk datang ke kampus. Semakin lama, ketakutan ini semakin besar. Jangankan untuk mengirim email ke dosen pembimbing, melihat gedung kampus saja ketakutan. Kalau sudah sampai pada tahap ini, sebaiknya pikirkan lagi niatan anda untuk lulus S1 daripada menghabiskan waktu bertahun-tahun “seolah” mengerjakan skripsi.
Saya punya beberapa kisah untuk diceritakan, semoga yang bersangkutan tidak tersinggung. Saya punya teman yang luar biasa cerdas. Istilahnya dia memiliki apa yang disebut sebagai photographic memory, kalau belajar gampang tahu dan sulit lupa, sebut saja namanya Mr. Cerdas. Matanya berbinar-binar saat berbicara, mirip dengan Prof. Amien Rais. Saking cerdasnya mas Cerdas ini, waktu SMP dan SMA di sekolah terbaik di Magelang, dia selalu berdiri di depan saat upacara kenaikan kelas karena nilainya selalu masuk di sepuluh besar pararel dari ratusan siswa dari lima kelas di SMP dan tujuh kelas di SMA. Mas Cerdas ini kira-kira adalah idaman ibu-ibu muda yang selalu menjadi konsumsi iklan untuk mencari susu terbaik agar anaknya tumbuh cerdas, tampan dan berbadan proporsional.
Setelah lulus SMA, dia diterima dengan mudah di jurusan favorit di Fakultas Ekonomi UGM dan kebetulan kos dekat dengan kos saya. Waktu itu kami tidak terlalu sering bersama. Kuliahnya lancar-lancar saja dalam beberapa tahun pertama. Saya tidak tahu apa yang terjadi semasa akhir kuliahnya, tetapi saya heran dan kaget ketika tahu beberapa tahun setelah saya lulus, Mr. Cerdas ini tidak juga menyelesaikan skripsinya di UGM. Terakhir ketemu dengannya di tahun ketiga, nilai-nilai kuliahnya cukup untuk meluluskannya dengan cumlaude dengan hampir sempurna, dan perusahaan tentu akan memberi karpet merah untuk lulusan Continue reading “Hidup Tergantung Skripsi”