Siapa Sosok HB XI ?

11060026_803023426447816_195846120691732303_nTulisan singkat dengan format tanya jawab ini untuk melengkapi beberapa kutipan media yang muncul setelah saya mendiskusikan hasil temuan sementara dalam Academic Rountable berjudul “Politik Keistimewaan Yogyakarta: Harta, Tahta dan Perebutan Kuasa” (23/3/2015). Saya sangat mengapresiasi teman-teman wartawan yang sabar menunggu dan hadir dalam diskusi dengan posisi berdiri karena jumlah peserta yang membludak. Namun demikian, pemberitaan online memiliki keterbatasan untuk menyajikan berita yang lengkap, utuh dan panjang karena akan ditinggalkan pembacanya, sehingga perlu kiranya berita-berita tersebut disambung dalam sebuah rangkaian logika berpikir utuh di tulisan ini.

Namun demikian, sebagaimana dikutip di berbagai media, saya selalu menyampaikan bahwa Raperdais Pengisian Jabatan Gubernur tidak urgen dibandingkan dengan keempat Raperdais lainnya. Salah satu alasannya karena Sultan masih sehat, segar bugar sehingga membicarakan suksesi di keraton bisa dianggap “nggege mongso” dan tidak sopan.

Apa saja syarat menjadi Sultan Yogyakarta?

Ada beberapa syarat utama menjadi Raja Yogyakarta, salah satunya adalah anak dari Sultan sebelumnya. Syarat lainnya misalnya sehat jasmani dan rohani dan di dalam kasus Yogyakarta, Raja selalu dijabat laki-laki.

Ada berapa anak Sultan yang pernah bertahta?

Dalam buku “Serat Raja Putra Ngayogyakarta Hadiningrat” karangan KRT Mandoyokusumo (1980), Sultan HB IX memiliki 15 putra dan 7 orang putri sementara Sultan HB X memiliki 5 orang putri. Putri-putri dalem Sultan HB IX kecil kemungkinannya dipilih menjadi HB XI, karena itu kita bisa abaikan. Dari 15 putra Sultan HB IX, tiga orang sudah meninggal dunia yaitu alm. GBPH Hadikusumo, alm. GBPH Joyokusumo dan alm. BRM Kuslardiyanto. Jadi, ada 16 orang yang berpeluang menjadi pengganti Sultan HB X yaitu 11 laki-laki adik Sultan HB X dan 5 putri Sultan HB X (berdasarkan usia):

  1. KGPH Hadiwinoto (dari ibu Windyaningrum) –> Lurah Pangeran.
  2. GBPH Hadisuryo (dari ibu Pintokopurnomo)
  3. GBPH Prabukusumo (dari ibu Hastungkoro)
  4. GBPH Pakuningrat (dari ibu Ciptomurti)
  5. GBPH Yudhaningrat (dari ibu Hastungkoro)
  6. GBPH Chandraningrat (dari ibu Hastungkoro)
  7. GBPH Cakraningrat (dari ibu Ciptomurti)
  8. GBPH Suryodiningrat (dari ibu Ciptomurti)
  9. GBPH Suryometaram (dari ibu Ciptomurti)
  10. GBPH Hadinegoro (dari ibu Ciptomurti)
  11. GBPH Suryonegoro (dari ibu Ciptomurti)
  12. GKR Pembayun
  13. GKR Condrokirono
  14. GKR Maduretno
  15. GKR Hayu
  16. GKR Bendara

Apakah bisa diperkecil lagi kemungkinannya?

Bisa. Apabila tetap menggunakan garis laki-laki, kelima putri Sultan HB X akan hilang dari daftar, jadi tinggal sebelas adik Sultan.

Dari sebelas adik Sultan HB X, apakah bisa dikerucutkan lagi?

Bisa. Ada proses pengerucutan berdasarkan saudara kandung dan saudara tiri dan anak laki-laki tertua dari masing-masing istri. Dalam sejarah Mataram sejak Panembahan Senopati, ada  kategori adik kandung dan adik tiri. Hal yang sama juga diadopsi dalam UU 13/2012 pada pasal 18 terkait daftar riwayat hidup yangmenekankan calon gubernur untuk mencantumkan “adik kandung” secara spesifik. Dari pengerucutan ini, muncul empat nama yang kebetulan berdasarkan usia empat tertua adik-adik sultan, yaitu:

  1. KGPH Hadiwinoto (dari ibu Windyaningrum, adik kandung HB X)
  2. GBPH Hadisuryo (dari ibu Pintokopurnomo, anak laki-laki tertua kedua, adik dari alm GBPH Hadikusumo)
  3. GBPH Prabukusumo (dari ibu Hastungkoro)
  4. GBPH Pakuningrat (dari ibu Ciptomurti)

Apa dasar memasukkan GKR Pembayun di dalam kemungkinan seperti yang dipresentasikan dalam diskusi?

Saat ini terjadi perubahan di lingkungan internal keraton yang dimulai oleh HB X, yaitu dengan memasukkan kelima putrinya dalam posisi-posisi strategis di keraton. Putri-putri Dalem menjadi wakil dari paman-pamannya. Ada kasus yang menarik ketika GBPH Joyokusumo meninggal dunia, posisinya sebagai Pengageng Kawedanan Ageng Panitrapura (semacam Setneg) digantikan GKR Condrokirono yang sebelumnya menjabat wakil. Dalam UUK Pasal 19 ayat (3) huruf a, Gubernur diajukan oleh Panitrapura, maka saya memasukkan GKR Pembayun karena besar kemungkinan dia didukung GKR Condrokirono yang secara politik menentukan bisa tidaknya seseorang diajukan sebagai Gubernur seandainya sampai akhir hayatnya Sultan HB X tidak menentukan pengganti. Jadi, walaupun secara garis keturunan laki-laki hanya adik laki-laki Sultan HB X yang berpeluang menjadi Sultan, melihat konstelasi politik di Keraton, GKR Pembayun memungkinkan untuk menjadi Sultan. Dengan kata lain, karena seluruh posisi di keraton diangkat dengan Dawuh Dalem dari Sultan, maka Sultan HB X telah menyiapkan infrastruktur yang memungkinkan perempuan menjadi Raja.

Bagaimana sebenarnya dengan Paugeran Keraton terkait Sultan Perempuan?

Paugeran atau tata aturan adalah hal yang selama ini PERNAH terjadi di keraton Yogyakarta. Ada dua pendapat: Pertama, kalau secara Paugeran yang selama ini digunakan mulai HB II sampai HB  X, GKR Pembayun tidak dapat menjadi Sultan. Berdasarkan gelar, jangankan menjadi Sultan, menjadi Putra Mahkota pun tidak bisa karena gelar tertinggi bagi perempuan di dalam struktur keraton Yogyakarta adalah Gusti Kanjeng Ratu (GKR). Sama seperti KGPH Hadiwinoto, GKR Pembayun telah dua kali berganti nama dari Gusti Raden Ajeng (GRAj) waktu lahir lalu Gusti Raden Ayu (GRAy) setelah akil baligh lalu GKR setelah menikah, sementara KGPH Hadiwinoto naik dari Bendoro Raden Mas (BRM) ketik lahir, lalu ke GBPH (Gusti Bendoro Pangeran Haryo) setelah dewasa lalu ke KGPH (Kanjeng Gusti Pangeran Haryo). Sementara Putra Mahkota bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA).  Seorang Putra Mahkota juga akan mendapatkan keris lurus tanpa luk yang disebut Keris Joko Piturun. “Joko” dalam bahasa Jawa identik dengan laki-laki. Pendapat yang pertama ini juga beranggapan bahwa Sultan memiliki hak prerogatif tetapi dia terbatas oleh Paugeran. Jika diibaratkan dengan negara, Sultan memiliki hak prerogatif tetapi tunduk pada “Undang Undang Dasar.” Menurut pendapat pertama, Sultan seorang laki-laki adalah “Undang Undang Dasar” Keraton. Kedua, bahwa Paugeran tertinggi di dalam Keraton adalah Dawuh Dalem atau perintah raja. Selama Sultan menghendaki terjadinya perubahan, maka akan dapat dilaksanakan. Struktur kuasa di keraton seperti kerucut dengan Sultan sebagai pucuk tertinggi kerucut tersebut. Sultan dan kasultanan juga dituntut untuk peka terhadap kondisi sosial yang terjadi sekarang ini dimana kesetaraan perempuan menjadi wacana yang umum di masyarakat. Di beberapa negara di Eropa, kerajaan mengenal “gender blind” dalam menentukan penerus. Selama yang bersangkutan adalah anak pertama, maka berhak atas tahta.

Apakah sebelum menjadi Sultan harus bergelar KGPAA atau Putra Mahkota?

Ya. Setidaknya ada dua cerita dalam seratus tahun terakhir. Pertama, empat hari sebelum HB VIII meninggal tahun 1939, ia menyerahkan keris Kanjeng Kyai Joko Piturun kepada BRM Dorojatun/GBPH Purbaya yang secara simbolik menunjukkan Dorojatun ditunjuk menjadi Putra Mahkota. Padahal ada yang berpangkat lebih tinggi yaitu Angabehi yang lebih tua dari Dorojatun. Daerah tempat tinggal Hangabehi sekarang disebut Ngabean. Kedua, Pada saat penobatan Sultan HB X tahun 1989, beliau masih bergelar KGPH. Dalam Jumenengan, beliau dinobatkan dulu menjadi KGPAA (Putra Mahkota) selama lima menit lalu dinobatkan menjadi Sultan. Beliau bisa disebut: Putra Mahkota Lima Menit. Lihat videonya disini. Dalam Jumenengan tersebut juga diselingi dengan secara simbolik adik-adik dan paman-pamannya mengeluarkan keris yang disimbolkan seluruh keluarga Kasultanan mendukung HB X yang diputuskan melalui musyawarah keluarga karena HB IX tidak pernah memilih penerus.

https://www.youtube.com/watch?v=FSkHg_RTCN8

Dari lima nama tersebut, apakah dapat dikerucutkan lagi?

Continue reading “Siapa Sosok HB XI ?”

Polemik Riwayat Hidup

Kedaulatan Rakyat, Analisis, 7 Maret 2015

Screen Shot 2015-03-10 at 6.04.50 AMSemuanya bermula ketika Pansus Raperdais Pengisian Jabatan Guberur dan Wakil menemui Sultan HB X, putri-putri, adik-adik beserta beberapa perangkat Kasultanan dan Pakualam IX di Keraton. Pada waktu itu, Sultan mengusulkan agar daftar riwayat hidup dipangkas tanpa menyertakan kata “istri” seperti termaktub dalam UU Keistimewaan (UUK) yang dianggap mencegah kemungkinan perempuan menjadi Gubernur DIY.

Bola politik berkembang liar, apalagi ada menantu Sultan, KRT Purbodiningrat, sebagai wakil ketua pansus. Padahal, pada masa pembahasan Raperdais periode sebelumnya, tidak muncul isu pemangkasan riwayat hidup. Paling tidak ada dua poros besar yang berkembang.

Poros pertama menghendaki bahwa jenis kelamin tidak dapat menjadi basis diskriminasi jabatan gubernur. Secara implisit dan eksplisit, hal ini mengindikasikan bahwa pemimpin tertinggi keraton Yogyakarta yang selama ini dipimpin oleh Sultan yang selalu laki-laki dapat berubah. Lebih spesifik lagi, poros ini mendorong GKR Pembayun, putri pertama Sultan untuk menjadi pemimpin tertinggi Keraton sekaligus Gubernur.

Poros kedua berada di posisi berseberangan. Tradisi keraton Mataram Islam yang selama lima abad selalu dipimpin dengan garis keturunan laki-laki tidak seharusnya dirubah. Jika ditarik dalam spektrum yang lebih luas, Continue reading “Polemik Riwayat Hidup”

Dana Istimewa

Screen Shot 2015-02-11 at 4.17.43 PMKedaulatan Rakyat, Analisis, 10 Februari 2015

Dana Istimewa 2015 yang dialokasikan 547, 45 M dapat dipastikan terlambat. Dalam tiga kali penyaluran selama ini, danais tidak pernah datang tepat waktu. Pemerintah DIY menunjuk Pemerintah Pusat yang dikoordinatori Kemendagri lambat dalam menyalurkan anggaran yang penting bagi pembangunan DIY. Penelusuran penulis di DIY dan Jakarta memberikan kesan bahwa keterlambatan Danais merupakan kombinasi dari masalah di DIY dan pusat.

Danais 2015 melalui proses yang cukup panjang. Pada 21 Feb 2014, Gub DIY mengusulkan anggaran sebesar 1,02 T rupiah untuk anggaran 2015, padahal sebulan sebelumnya, dari alokasi 2013 sebesar 231 M, hanya mampu terealisasi 54 M atau 23,5 %. Setelah melalui sekian proses, pada 15 Agustus 2014, anggaran Danais 2015 disepakati 547, 45 M.

Danais jauh berbeda dengan Dana Otsus Aceh dan Papua yang berbentuk block grant, yang segera dicairkan Kemenkeu setelah ada rekomendasi dari Kemendagri. Tidak ada ukuran keberhasilan kinerja tahun lalu untuk pencairan tahun berikutnya, entah dikorupsi, atau gagal dikelola, Dana Otsus Aceh dan tetap akan dicairkan merujuk pada prosentase dari Dana Alokasi Umum.

Sementara Danais berbasis kepada kinerja. Dana tahapan berikutnya hanya dapat dicairkan setelah hasil dari tahap sebelumnya diverifikasi. Model ini mendapat apresiasi positif dari BPK karena hasilnya lebih terukur dibanding Dana Otsus. Dalam satu tahun terdapat tiga tahap penyaluran: 25%, 55% dan 20%. Dana tahap kedua hanya dapat dicairkan setelah dana tahap pertama mencapai capaian kinerja 80%, begitu juga tahap ketiga. Pada 2013, dana turun hanya satu termin. Pada 2014, Pemda DIY hanya mampu mencairkan dua termin dan tahun ini, prosesnya masih berada di Kemendagri.

Ada beberapa masalah terkait dengan terlambatnya pencairan Danais yang berimplikasi pada capaian serapan:

Pertama, Perdais yang terlambat. UUK memberikan kewenangan besar kepada DIY. Berbeda dengan Aceh dan Papua yang membutuhkan Peraturan Pemerintah, Continue reading “Dana Istimewa”

Batu Bacan Dua Lemari

phpTwTQyIPMFenomena batu Bacan ini menjadi hiburan ketika riset, terutama di Ternate dan terus berlanjut sampai ke Palembang.

Saya indekos di belakang Kedaton Ternate. Pada awal datang ke Ternate tanggal 20 Oktober 2014, industri batu akik masih hanya beberapa saja dan berada di kios-kios di sebelah Ngara Ici (lapangan Kecil) di depan Kedaton. Oh ya, selain Ngara Ici, lapangan yang menjadi milik Kasultanan adalah Ngara Lamo (lap besar). Industry ini berkembang sangat pesat dan ketika saya meninggalkan Ternate sebulan setelahnya, industry pengolahan batu ini sudah berjajar di seluruh deretan jalan antara Ngara Lamo dan Hypermart. Setiap sore, jalanan ini dipenuhi pengunjung, penikmat batu akik, atau batu Bacan dan Obi. Keramaian pedagang jalanan ini mengalahkan pasar batu permata yang ada sekitar 500 meter. Pasar batu permata, selain bocor dan becek, juga terkesan kumuh. Namun demikian, pasar tersebut tetap penuh pelanggan karena lebih lengkap, misalnya cincin titatium. Tetapi di ujungnya, ada penjual mie ayam paling enak se Ternate.

Pusat industri batu Bacan ini hanya salah satu dari beberapa pusat industri rakyat lainnya di Ternate disamping ratusan kios-kios kecil yang menjual batu Bacan. Tentu saja tidak jelas darimana pedagang dadakan yang memanfaatkan perataan Ngara Ici dapat mendapatkan pasokan listrik untuk memutar gerinda yang berkekuatan 500 watt, padahal paling tidak dibutuhkan tiga gerinda (termasuk satu untuk alat pemotong) di setiap kios. Continue reading “Batu Bacan Dua Lemari”

Anjing-Anjing Puri

2103AnjingButuh mental lebih untuk menghadapi tantangan penelitian lapangan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya: anjing. Sejak kecil lingkungan social mendidik saya untuk melihat anjing tak lebih dari binatang najis, galak dan harus diwaspadai. Pendeknya, anjing adalah a nasty animal. Apalagi lingkungan kampung saya di Bogeman Magelang yang gangnya sempit-sempit dan rumah yang sempit tetapi banyak yang beretnis tionghoa, membiarkan anjingnya berkeliaran di jalanan. Saya bersahabat dengan pemilik anjing, tapi tidak dengan anjingnya. Tapi percayalah, bukan anjing yang sering di jalan yang berbahaya, tetapi anjing yang biasa di dalam rumah, tetapi pada saat tertentu yang sangat jarang dilepas di jalanan.

Ketika anjing rumahan itu dilepas, dia akan liar, apalagi mendekati musim kawin. Kakak saya pernah digigit anjing di kakinya, saya juga pernah. Waktu itu saya kelas satu SMP sekitar 13 tahun. Saya dan adik saya sedang mengejar layang-layang putus. Adik berlari di depan dan tidak menghiraukan anjing yang akan mengejarnya. Continue reading “Anjing-Anjing Puri”

Makassar dan Gowa: Sampah, Jeruk Nipis dan Martabak Terang Bulan

Jika boleh memilih tiga kesan pertama saya setelah tinggal enam hari di Gowa dengan travel ke Makassar, mungkin tiga kata tersebut yang muncul pertama kali di kepala: Sampah, Jeruk Nipis dan Martabak Terang Bulan.

Kesan pertama tentang sampah tentu bukan hal yang mengenakkan. Selama berjalan kaki di beberapa ruas jalan Makassar dan Gowa, kesan tentang sampah yang pertama kali muncul. Di setiap selokan yang saya temui, tumpukan sampah, menyatu dengan lumpur pekat, menghambat aliran air yang menyebabkan sebuah perpaduan jorok antara sampah, lumpuh dan limbah. Warnanya hitam dan seringkali di bagian atasnya kehijauan. Tentu saja tidak ada yang peduli karena tidak ada yang berjalan kaki menyusuri jalanan. Genangan ini muncul mencuat di sela-sela trotoar yang bolong. Saya dengar Makassar sering tergenang ketika musim hujan walaupun saya kebetulan datang di puncak musim kemarau. Tetapi hampir pasti, genangan itu bercampur sampah yang terbawa air.

Kondisi ini merata hampir di setiap sudut kota, mulai beberapa meter dari lapangan Karebosi, sampai ke jalan-jalan di Sungguminasa. Bahkan, di jalanan beberapa meter dari makam Syeh Yusuf, pahlawan nasional dari Sulsel selain Sultan Hasanuddin, ada selokan meluber yang menimbulkan genangan di jalanan yang dibeton. Genangan itu saking lamanya, telah menyebabkan beton ditumbuhi lumut walaupun terus tergerus ban kendaraan.

Selain itu, tempat sampah sepertinya langka. Warga hanya menaruh bungkusan kantok plastik berisi sampah yang diangkut oleh truk terbuka yang selalu tampak penuh, beberapa hari sekali. Disatu sisi pemerintah sibuk mengkampanyekan budaya membuang sampah pada tempatnya, di sisi lain tak ada tempat sampah dan tata kelola sampah. Saya berani bertaruh, seluruh selokan mampat itu sudah bertahun-tahun tidak dikeruk.

Kesan kedua adalah jeruk nipis yang selalu hadir dalam hampir semua makanan. Jeruk ini diiris menjadi beberapa bagian dan diperas untuk ‘topping” hampir semua makanan mulai bihun goreng, pallu basa, kakap penyet, konro, coto, mie ayam…you name it. Bahkan pada sebuah warung makan pinggir jalan, saya percaya diri memesan es jeruk setelah melihat gundukan jeruk nipis, ternyata jeruk nipis itu hanya untuk “topping” saja. Para pedagang jalanan di Gowa dan Makassar malas menyediakan menu minuman. Mereka sepertinya sudah sibuk dengan menu makanan saja. Minumnya pun seragam: air es dengan gelas alumunium. Padahal minuman ini bisa menjadi salah satu penyumbang keuntungan yang lumayan jika dikelola dengan baik.

Ketiga tentang Martabak Terang Bulan (MTB) yang selalu ada tiap 200 meter di jalan utama. Saya tidak tahu darimana MTB berasal, yang jelas, dari spanduk penjualnya, cukup lengkap mulai dari MTB Medan Asli sampai MTB Tegal Asli Cabang Penakukkan. Seandainya dapat mengambil kesimpulan yang pasti tepat dalam riset lapangan saya kali ini, bisa jadi kesimpulannya adalah Gowa dan Makassar adalah kota dengan MTB terbanyak di Indonesia. Sepertinya, saya harus mencoba memesannya nanti malam….

Flo, Yogya dan Keindonesiaan

1Emqc3YFlo jelas salah atau setidaknya bertindak kurang sopan untuk ukuran umum masyarakat kita yang telah memaki masyarakat Yogyakarta karena tak mau berbagi nasib di antrian SPBU. Dia juga telah minta maaf walaupun permintaan maaf tidak menyurutkan proses hukum. Kasus Flo bisa jadi bukan hanya kekecewaan sekilas, tetapi ekspresi lama kekecewaan masyarakat Yogyakarta.

Yogyakarta yang istimewa, tidak dibangun oleh orang Yogya “asli” saja tetapi merupakan perbauran antara masyarakat pendatang yang akhirnya menghadirkan nuansa keindonesiaan. Perbauran ini sudah berlangsung sangat lama masuk ke dalam lingkaran inti kekuasaan keraton. Kerjasama antar keraton telah menghadirkan perpindahan penduduk ke Yogyakarta.

Pada masa kemerdekaan, perpindahan kementrian ke Yogyakarta membawa perubahan sosial yang luar biasa seperti ditulis dalam buku Selo Sumardjan. Yogyakarta yang tadinya relatif homogen berubah menjadi heterogen. Indonesia di Yogyakarta hadir ketika membantu republik menyediakan Yogyakarta sebagai ibukota. Continue reading “Flo, Yogya dan Keindonesiaan”

Jokowi dan UGM

Kedaulatan Rakyat, Analisis, 20 Agustus 2014

Hubungan Jokowi dengan UGM tentu sangat erat. Jokowi adalah alumni Fakultas Kehutanan UGM. Bahkan nyatanya, Jokowi adalah lulusan sarjana universitas negeri pertama di Indonesia yang menjadi presiden.

Pertama-tama, kita harus mendefinisikan dulu tentang apa yang dimaksud sebagai alumni. Dalam pengalaman penulis, alumni sebuah universitas dimaknai sebagai seseorang yang lulus dari universitas tersebut. Kartu Keluarga Alumni Gadjah Mada atau Kagama misalnya, baru didapatkan seseorang ketika yang bersangkutan menyelesaikan pendidikannya, apakah pendidikan profesi, D3, S1, S2 atau S3. Pendeknya, seseorang yang kuliah di UGM kemudian tidak menyelesaikan pendidikannya karena sesuatu hal, tidak dianggap sebagai alumni. Mari kita lihat profil masing-masing presiden yang pernah memerintah di Indonesia.

Presiden Pertama Sukarno disebut-sebut sebagai alumni ITB. Nyatanya, Ir. Sukarno lulus dari Technische Hogeschool (TH) pada tahun 1926. Dia adalah salah satu insiyur pertama yang diluluskan TH. TH kemudian mengalami berbagai transformasi, termasuk menjadi bagian dari Universitas Indonesia sebelum diresmikan oleh Presiden Sukarno menjadi ITB pada 2 Maret 1959. Artinya Ir. Sukarno bukan alumni ITB tetapi alumni TH yang menjadi cikal bakal ITB. TH dan ITB tentu sangat berbeda. Continue reading “Jokowi dan UGM”

Pilpres Siapa yang Menang?

Download PDF disini

Bisakah ada dua pemenang di Pilpres? 

Tidak mungkin. Pemenang Pilpres hanya satu, kalau bukan Prabowo-Hatta ya Jokowi-JK.

Mengapa sekarang ada dua pemenang? Bagaimana bisa terjadi?

Sebenarnya pemenangnya hanya satu, walaupun dua-duanya mengklaim memenangkan Pilpres. Kemungkinannya hanya satu: yang satu menang, yang lainnya tidak mau mengakui kekalahan.

Dalam dua bulan terakhir, masyarakat diombang-ambingkan dengan berbagai berita. Di sosial media seperti Facebook dan Twitter, masing-masing pendukung dengan gampangnya membagi link yang sesuai dengan keinginannya tanpa verifikasi kebenaran berita. Televisi lebih buruk lagi, terpolarisasi dalam dua kepentingan masing-masing capres. Kampanye Hitam (fitnah) dan Kampanye Negatif (menonjolkan fakta buruk Capres) menjadi sulit dibedakan awam karena dikemas sedemikian rupa. Rakyat kehilangan pegangan kebenaran, karena sulit membedakan apakah tokoh panutannya sedang mengabarkan kebenaran atau kebohongan. Hal ini dimanfaatkan oleh Capres yang sebenarnya kalah dalam Pilpres.

Apa dasar penentuan kemenangan Pilpres?

Pemenang resmi akan diumumkan oleh KPU pada tanggal 22 Juli 2014. Tetapi kita bisa menggunakan hasil Hitung Cepat (Quick Count) untuk menentukan pemenangnya.

Bagaimana Quick Count bisa dipercaya? Bagaimana metodologi/caranya?

Ada tiga jenis Survey yang biasa digunakan untuk menentukan preferensi pemilih. Ketiganya mengambil sampel (contoh kecil) dengan perhitungan statistik dari populasi. Pertama, survey pemilih yang dilakukan sebelum pemilu untuk melihat kemungkinan pemilih. Ini yang paling kurang akurat. Kedua exit poll yang menanyakan pilihan pemilih setelah keluar dari bilik suara. Akurasinya lebih baik dibandingkan yang pertama. Ketiga Quick Count atau hitung cepat yang sangat akurat yang berdasarkan hitungan sebenarnya dari masing-masing TPS yang menjadi sampel. Semakin banyak sampelnya, semakin kecil kemungkinan salahnya (Margin of Error/MoE). Salah satu yang paling banyak sampelnya dalam Pilpres ini adalah Saiful Mujani Research&Consulting (SMRC) dengan 4000 TPS seluruh Indonesia dengan MoE 0.6%. Lembaga survey lainnya MoE nya sekitar 1%.

Apa persamaan antara Survey pemilih sebelum pemilu, Exit Poll dan Quick Count?

Ketiganya menggunakan sampel/contoh dengan perhitungan tertentu. Exit Poll dan Quick Count dilakukan di TPS sedangkan Survey pemilih, biasanya, dilakukan di rumah pemilih.

 Apa artinya Margin of Error 1%?

Artinya, kalau toh hasilnya berbeda dengan hasil resmi, hanya akan naik atau turun sebanyak 1%. Misalnya ketika hasil hitung cepat Prabowo 47% dan Jokowi 53%, seandainya berbeda dari hitungan resmi, kemungkinannya Prabowo 46%, 47% atau 48% dan Jokowi kemungkinannya 52%, 53% dan 54%. Jadi bisa saja Prabowo 48% dan Jokowi 52% atau Prabowo 46% dan Jokowi 54% asal jumlahnya 100%. Hanya tiga kemungkinan ini saja, sehingga lembaga survey sudah bisa yakin dengan hasil hitung cepatnya dan mendeklarasikan kemenangan pada salah satu Capres.

Lembaga mana saja yang merilis survey dan mana yang kredibel?

Berikut rilis beberapa lembaga survey terkait sebagaiamana dimuat di Harian Kompas Cetak edisi 10 Juli 2014 dan rilis lembaga yang bersangkutan:

No Lembaga Survey Prabowo-Hatta (%) Jokowi-JK (%) Data Masuk (%) Jumlah TPS MoE(%) Selisih Suara(%) Sumber
1 Saiful Mujani Research& Consulting (SMRC) 47,09 52,91 99,30 4000 0,68 5,82 Kompas Cetak
2 Indikator Politik Indonesia* 47,06 52,94 99,5 2000 1 5,88 Rilis resmi
3 CSIS-Cyrus 48,9 52,1 97 2000 1 3,2 Kompas Cetak
4 Populi Center 49,05 50,95 96,5 2000 1 1,9 Kompas Cetak
5 PolTracking Institute** 46, 30 53,70 99,75 1992 1 7,4 Rilis Resmi
6 Lingkaran Survey Indonesia (LSI Lingkaran) 46,43 53,37 98,05 2000 1 6,74 Kompas Cetak
7 Radio Republik Indonesia (RRI) 47,48 52,52 99,15 2000 1 5,04 Rilis Resmi
8 Litbang Kompas 47,66 52,34 100 2000 1 4,68 KompasCetak
9 Puskaptis 52,05 47,95 93,41 1250 1 4,10 KompasCetak
10 Indonesian Research Centre (IRC) 51,11 48,89 100 2,22 Kompas Cetak
11 Lembaga Survey Nasional (LSN) 50,56 49,44 96,51 1,12 Kompas Cetak
12 Jaringan Suara Indonesia (JSI) 50,14 49,86 91,25 2000 1 0,38 Kompas Cetak

* Indikator Politik Indonesia bukan lembaga baru tetapi tidak bisa dipisahkan (atau saudara kembar) dari Lembaga Survey Indonesia.

**Poltracking Institute membatalkan kerjasama dengan TVOne terkait rilis quick count karena TVOne menambah tiga lembaga survey baru: Puspaptis, LSN dan JSI. Keterangannya disini.

Untuk menentukan lembaga yang kredibel, kita harus melihat rekam jejak survey-survey sebelumnya dan integritas orang-orang yang melakukan survey tersebut. Lembaga survey yang kredibel melakukan survey secara berkala dan terus menerus. Sehingga jika ada perbedaan dalam hasil, hal itu karena metodologi dan masih berada dalam Margin of Error. Eksperimen survey di Indonesia dimulai sejak pemilu 1999 dalam bentuk quick count dan marak mulai 2004.

Melihat sejarah survey, saya percaya kepada survey yang dilakukan tiga lembaga teratas. Selain itu, lembaga seperti RRI, Kompas dan LSI Lingkaran tidak akan menggadaikan kredibilitasnya untuk hajatan besar ini. Poltrack patut dihormati karena menghentikan kontrak dengan TVOne dengan alasan independensi dan kredibilitas. Sebaliknya, Jaringan Suara Indonesia dan Indonesian Research Centre misalnya, tidak pernah melakukan survey pada bulan Juni 2014 sehingga harus ditelisik lagi kredibilitasnya untuk Pilpres kali ini. LSN cukup rajin membut survey selama Pilpres dengan keunggulan pasangan Prabowo-Hatta. Selain itu, direktur Puskaptis Husin Yazid pernah diamankan polisi dari kemarahan salah satu pendukung calon di Pilkada Sumatra Selatan setelah mempublikasikan hasil Quick Count sebelum data masuk seluruhnya.

Bagaimana memastikan kemenangan pasangan Pilpres berdasarkan Quick Count?

Pemenang Pilpres dapat ditentukan apabila selisih kedua capres berada diluar Margin of Error yang kira-kira sebesar 1 %. Perbedaan perolehannya harus di atas 2% untuk menentukan pemenang. Sehingga berdasarkan rilis survey di atas, ada tujuh lembaga yang memenangkan Jokowi (SMRC, CSIS, Indikator, Poltrack, LSI Lingkaran, RRI dan Litbang Kompas), sedangkan Prabowo dimenangkan oleh Puskaptis dan Indonesian Research Centre. Rilis yang dikeluarkan oleh Populi, LSN dan JSI tidak bisa digunakan untuk klaim kemenangan karena berada dalam Margin of Error (berada di antara 2%).

Mengapa harus mengklaim kemenangan, apa gunanya?

Klaim kemenangan bisa dilakukan ketika hasil hitung cepat lembaga yang kredibel sudah menyatakan kemenangan Capres. Karena tingkat kesalahan Hitung Cepat yang kecil, hal itu bisa menjadi petunjuk kemenangan.

Kegunaannya antara lain. Pertama, untuk mengawal suara yang dihitung bertingkat mulai TPS, Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi dan Nasional. Jika ada pergeseran suara yang mencolok, bisa dicurigai ada kecurangan dalam penghitungan. Kedua, pada Pileg yang baru berakhir, hasil hitung cepat ini digunakan sebagai dasar untuk menentukan koalisi yang akhirnya mengusung Jokowi dan Prabowo. Pada Pileg, semua partai menggunakan Hitung Cepat sebagai basis koalisi, tidak ada satupun yang menolak hasil Hitung Cepat, walaupun koalisi resmi tetap menunggu hasil resmi KPU yang hasilnya tak jauh beda dengan Hitung Cepat.

Apakah biasa mengklaim kemenangan sebelum hasil resmi KPU?

Hal ini biasa terjadi di hampir semua negara yang memberlakukan demokrasi electoral. Dalam kasus Indonesia yang terakhir, Fauzi Bowo langsung menelepon Jokowi dan mengucapkan selamat begitu hasil hitung cepat memenangkan Jokowi. Fauzi Bowo tidak menunggu hasil resmi KPU Jakarta. Praktek serupa juga umum dilakukan pemimpin negara lain. Dalam politik, hal ini menunjukkan sikap kenegarawanan yang siap menang dan siap kalah.

 Apakah harus selalu mengucapkan selamat kepada lawan politik?

Tentu tidak, jika hasil survey menunjukkan perolehan sangat ketat dan dalam Margin of Error, kandidat akan menunggu hasil resmi KPU karena sulit menentukan pemenangnya.

Apa yang seharusnya dilakukan kubu Jokowi?

Mereka harus mampu menahan diri untuk tidak mengekspresikan kemenangan berlebihan yang akan mengganggu lawan politik yang kalah. Selain itu, kubu Jokowi harus mengawal suara seperti pilihan rakyat. Lebih penting lagi, tidak boleh ada konflik karena otoritarianisme akan mudah muncul saat kondisi genting, salah satunya lewat militer.

Apa yang seharusnya dilakukan kubu Prabowo?

Prabowo sendiri seharusnya mengucapkan selamat kepada Jokowi. Ini bukti ucapannya yang siap kalah dan siap menang. Lembaga survey yang memenangkannya diragukan metodologinya dan saat ini berada dalam investigasi Persepi yang merupakan organisasi kumpulan lembaga survey (JSI dan Puskaptis) sebagaimana disampaikan Komisi Etik Persepi Prof. Hamdi Muluk.

Pada saat pileg, semua partai, termasuk Gerindra, Golkar, PKS dan PAN menggunakan hasil lembaga-lembaga yang saat ini memenangkan Jokowi sebagai basis koalisi. Partai Demokrat bahkan secara resmi menggandeng SMRC, mengapa sekarang mereka menolak hasil lembaga yang sama?

Apakah kondisi kemenangan palsu seperti ini pernah terjadi?

Pernah. Pada putaran kedua Pilpres 2004, Mega-Hasyim berdasarkan survey internal PDIP (Institute for Social Empowernment dan Democracy), Mega-Hasyim (50,7%) mengungguli SBY-Kalla (49,03%). Padahal SBY memperoleh 62%.

Apa beda 2004 dengan sekarang?

Beda sekali, Mega tidak pernah mengklaim kemenangan waktu itu, walaupun juga tidak mengucapkan selamat kepada SBY, bahkan hingga hari ini. Mega hanya mengatakan menunggu hasil hitungan resmi KPU. Selain itu, selisihnya dengan SBY cukup telak dan tidak ada polarisasi dukungan masyarakat dan stasiun TV seperti sekarang. Pernyataan kubu Mega sama sekali tidak berpotensi konflik.

Saat ini, Prabowo mengklaim kemenangan dan selisihnya tipis dengan Jokowi. Didukung stasiun TV, Prabowo berpotensi menciptakan keresahan di akar rumput dan konflik horizontal.

Bahaya paling besar yang mungkin terjadi? 

Manipulasi proses penghitungan suara dalam praktek jual beli suara. Jika Jokowi akhirnya kalah karena proses ini, potensi konflik tidak terhindarkan. Demokrasi Indonesia bisa berakhir. Kita harus berdoa hal ini tidak terjadi.

Apa yang kira-kira akan dilakukan kubu Prabowo ke depan?

Pertama kita menunggu tanggal 22 Juli 2014 saat KPU mengumumkan hasil pemilu dan kita berharap tidak ada konflik sampai saat itu. Kedua, jika KPU memenangkan Jokowi versi hitung riil, kubu Prabowo, kemungkinan besar, akan mengajukan gugatan pemilu ke Mahkamah Konstitusi. MK yang nantinya akan mengumumkan pemenang Pilpres. Hal ini adalah langkah konstitusional yang bisa ditempuh kubu Prabowo.

Berapa lama hal itu terjadi?

Sekitar akhir Agustus, kita akan mendapatkan presiden yang definitif jika klaim kemenangan terus dilakukan.

Terakhir, kalau suka tulisan ini, jangan lupa share ya….

Lessons from Aburizal’s failed presidential bid

2368040_20130513102401The Jakarta Post, Opinion, 12 June 2014     Download PDF

Many did not expect that Golkar Party presidential hopeful Aburizal Bakrie, whose party came second in the legislative election, would fail in his efforts to secure a presidential ticket so he could compete with Joko “Jokowi” Widodo and Prabowo Subianto in the July presidential election.

The failure of Aburizal not only underlines the importance of a high approval rating, which eludes him, but also reveals the chronic problems of Indonesia’s political party system, namely party financing and cartelization.

There are two characteristics of post-Soeharto political parties in Indonesia (Mietzner, 2013).

The first is established grassroots parties with strong historical and ideological bases, such as the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), Golkar, the United Development Party (PPP), the National Awakening Party (PKB), the National Mandate Party (PAN) and the Prosperous Justice Party (PKS).

The roots of the PDI-P can be traced back to the Indonesian National Party (PNI), founded by Sukarno in 1927. 

 Continue reading “Lessons from Aburizal’s failed presidential bid”

Debat Capres Pertama

Screen Shot 2014-06-12 at 11.14.22 AM

Kedaulatan Rakyat, Analisis, 11 Juni 2014

Seolah menjawab keraguan publik, Jokowi-JK mendominasi acara Debat Kandidat Capres sesi pertama dengan tema Pembangunan Demokrasi, Pemerintahan yang Bersih dan Kepastian Hukum. Sebaliknya, Prabowo-Hatta yang tampil cantik di tiga sesi pidato sebelumnya saat deklarasi pasangan, pengambilan nomor dan deklarasi kampanye damai tampil kurang mengesankan.

Sebelum acara debat, Jokowi-JK tampil tanpa polesan. Pidatonya sepotong-sepotong dan menghilangkan momen-momen penting untuk mendapat simpati public. Saat menerima amanat dari PDIP dan terutama saat deklarasi, pidatonya tanpa persiapan dan kurang makna. Pada acara pengambilan nomor, Jokowi justru dipanggil Bawaslu karena dilaporkan mencuri start kampanye saat memperkenalkan nomor urut. Prabowo, tampil cukup impresif dengan gaya orator yang baik, dan menimbulkan simpati.

Hanya saja, dalam debat capres pertama ini ada beberapa catatan yang menarik. Pertama, tema debat kali ini secara hitungan di atas kertas adalah tema yang menguntungkan Jokowi-JK. Jokowi berpengalaman menjadi kepala daerah dan JK berpengalaman menjadi wakil presiden. Dalam debat ini terlihat bagaimana Jokowi fasih berbicara, tidak hanya tentang visi misi, tetapi juga strategi kongkrit untuk mengatasi persoalan. Continue reading “Debat Capres Pertama”

Pelajaran dari Jembatan Timbang

Screen Shot 2014-05-14 at 5.53.38 PMAnalisis Kedaulatan Rakyat, 14 Mei 2014

TEMUAN Gubernur Jateng Ganjar Pranowo soal pungli di jembatan timbang patut diapresiasi. Hanya saja langkah itu saja tentu belum cukup untuk mengatasi persoalan menahun. Setelah otonomi daerah, banyak daerah berlomba-lomba meningkatkan pendapatan daerah, salah satunya dengan memaksimalkan denda di jalanan.

Langkah itu tentu tidak salah. Di beberapa kota di Australia seperti Sydney dan Melbourne, denda parkir dan pelanggaran di jalan raya merupakan salah satu instrumen pemasukan daerah yang cukup signifikan. Dendanya pun luar biasa menguras kantong, minimal ratusan dolar bahkan sampai ribuan dolar. Sistem denda juga dibuat terintegrasi dengan ‘STNK’. Sehingga jika tidak membayar denda, justru bisa berujung penjara. Denda digunakan sebagai instrument, bukan tujuan akhir.

Tetapi seringkali, pemimpin daerah terjebak karena hanya menjadikan peningkatan PAD sebagai tujuan utama tanpa tahu makna peraturan. Misalnya, pemerintah memberikan pajak dan cukai tinggi untuk rokok dengan tujuan utama untuk mengurangi konsumsi rokok, bukan untuk menambah pemasukan negara. Jika tujuan akhir hanya untuk menambah pemasukan, pemerintah akan memromosikan rokok, karena semakin banyak orang merokok, semakin banyak pemasukan.

Jembatan timbang tidak terlepas dari peluang sesat fikir yang sama. Tujuan diadakannya jembatan timbang adalah agar kendaraan tidak mengangkut muatan berlebihan. Hal ini berbahaya, tidak hanya untuk sopir truk, tetapi juga untuk pengguna jalan lainnya yang berpotensi menjadi korban akibat rem blong. Denda adalah instrumen agar tujuan keselamatan jalan tercapai. Selain itu, dampak paling nyata adalah kerusakan jalan yang bisa jadi nilai kerugian ekonominya sangat besar. Setiap tahun dan Continue reading “Pelajaran dari Jembatan Timbang”

Aristocratic Elections in Yogyakarta

Published in The Jakarta Post (19/4/2014) Donwload PDF

If I had to select a single candidate out of 6,607 House of Representatives candidates and 945 Regional Representatives Council (DPD) candidates who had a 99.9 percent probability of being reelected, I would certainly choose Queen Hemas, a DPD candidate from Yogyakarta.

The queen of YogyakarRoy_S@kotabaruta has, undoubtedly, dominated DPD elections since their inception in 2004. She then secured more than 800,000 votes, more than all three legislators’ votes combined. In 2009, she won by a landslide with more than 80 percent of the valid 940,000 votes. In 2014, she has set a target of winning the support of no less than 1 million out of the 1.7 million in the voters’ list.

What explains this phenomenon? Does aristocratic status matter to voters? How well did aristocratic candidates do in the 2014 election? The recent election in Yogyakarta may shed some light on the aristocratic performance in politics.

In many parts of Indonesia, the aristocracy has a special place in people’s hearts. Many local aristocrats have successfully transformed people’s cultural support into political support since the fall of Soeharto. In Gianyar regency, Bali, for instance, the election has always pitted two royal houses, Puri Gianyar and Puri Ubud. In Ternate, North Maluku, both the sultan and his queen, Nita Susanti, received significant votes for the House and DPD seats.

wiro@mantrijeronThis tendency has always been strongest in Yogyakarta, which received special status in 2012. Unlike any other provinces, the Yogyakarta governor and vice governor are privileged positions for two royal houses, the sultanate of Yogyakarta and the Pakualaman principality.

In the 2014 election, high-ranking aristocrats competed for national and local legislative seats representing different parties in Yogyakarta. The sultanate of Yogyakarta planned to have representatives in three different legislative levels. Queen Hemas is running for the DPD for the third time, her son-in-law Prince Wironegoro is running for the House representing the Gerindra Party and another son-in-law, Prince Purbaningrat, of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) is running for the Yogyakarta Legislative Council (DPRD).

Pakualaman runners are Roy Suryo Notodiprojo, the Democratic Party’s candidate for the House and his wife Ismarindayani Priyanti for the DPD. In addition, middle- and low-level aristocrats are competing for seats in the provincial and five district legislatures in Yogyakarta.

However, the results show that depending solely on aristocratic status might not bear fruit. Prince Wironegoro lost in the polling station where he cast his vote against another Gerindra candidate, Andika Pandu Puragabaya, the son of former Indonesian Military (TNI) chief Gen. (ret) Djoko Santoso. Andika is likely to be one out of eight House representatives from Yogyakarta.

Continue reading “Aristocratic Elections in Yogyakarta”

Paranormal Politics

Dukun-calegMiftahul Jannah, a Democrat Party candidate for Ngawi district, meditated in the stream of the sacred river of Tempuk Alas Kedonggo—located in the midst of a teak jungle in Ngawi—to achieve her ambition to become an MP.

She is not the only one. Hundreds of parliamentary candidates across Indonesia are following rituals in sacred—and sometimes dangerous—mountains, rivers, beaches and caves following procedures set by dukun (a person with paranormal power).

The cost for these kinds of methods isn’t cheap. Ki Joko Bodo, the leading dukun in Indonesia, said that cost for national parliament is around 1 to 10 billion Rupiah or around US$100,000 to US$1 million, depending on the candidate. For the Indonesian presidency, the cost can go up to US$5 million. Another newcomer in paranormal business, Desembriar Rosyady, uses a different strategy. He guarantees 100% that those who believe in him will be elected. The cost varies, but it’s said to be up to US$100 million for a presidential race. The money is held by a notary and will only be given to him if the candidate is elected.

In the modern era, why do candidates use ‘irrational’ means to achieve their political goals? The answer might rely on the contradictory understanding of the concept power: between Western rationalities of power versus the Javanese concept of power, nicely presented in a classic text by Benedict Anderson, The Idea of Power in Javanese Culture. Unlike the modern European concept of power that is abstract, of heterogeneous sources, with no inherit limits of accumulation, and morally ambiguous, Javanese believe that power is concrete, coming from a single source, constant in total quantity and doesn’t raise questions of legitimacy. Power, in Javanese culture, can be present in sacred things like keris (dagger), akik (gemstone) and amulets. Candidates follow rituals in order to absorb “power” that resides in sacred places and to accumulate power within them.

Continue reading “Paranormal Politics”

Catatan Pemilu Legislatif 2014

 

Screen Shot 2014-04-11 at 6.03.14 PM

Kedaulatan Rakyat, 11 April 2014

LUAR biasa. Selamat kepada seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi Indonesia melangkah ke satu level yang lebih tinggi. Insiden yang cukup menghawatirkan tidak terjadi. Walaupun berbeda, simpatisan partai saling menghargai dan menghormati perbedaan pendapat. KPU bekerja lebih baik dibandingkan 2009.

Juga menarik ketika pemilih Indonesia semakin setia dengan pilihannya karena semakin terkonsolidasi pilihan terhadap partai politik yang jumlahnya kian  rasional. Masing-masing partai telah memiliki basis massa yang relatif cukup solid dengan tidak ada yang mencapai 20% suara. Persaingan semakin setara yang menggambarkan realitas Indonesia yang beragam.

Realita yang dipaparkan quick count ternyata mengungkap bila ‘Jokowi effect’ yang diharapkan memenangkan PDIP lebih dari 20% sehingga bisa mengusung pasangan capres sendiri tidak terjadi. Justru ‘Prabowo effect’ yang mampu menaikkan suara Gerindra lebih dari kali lipat dan ‘Rhoma effect’. Inilah yang membuat hadirnya kritikan ke Puan Maharani, Ketua Bappilu PDIP yang kurang mampu menjual figur Jokowi untuk menaikkan suara PDIP. Penggemar Jokowi tidak mampu dikonsolidasikan untuk memilih PDIP.

Tidak kalah menarik dicermati adalah  dua partai yang tersangkut isu korupsi, perolehannya menurun. Paling parah penurunan dialami Partai Demokrat yang kehilangan 12% pemilih. PKS, diluar dugaan hanya kehilangan sebagian kecil pemilihnya dibandingkan dengan Pemilu 2009.

Ada fenomena baru dimana KB mampu menaikkan suaranya hampir dua kali lipat. Ada beberapa faktor yang mungkin berpengaruh.  (1). PKB mampu mengonsolidasi pemilihnya yang sebelumnya tersebar di beberapa partai yang tidak lolos verifikasi seperti PKNU. (2). PKB cerdik memilih vote getter, yaitu Rhoma Irama untuk golongan tua dan Ahmad Dhani untuk pemilih muda. (3). Hadirnya Rusdi Kirana, pemilik Lion Air yang suntikkan dana cukup besar ke konstituen PKB di Jawa Timur. (4). Konstituen sudah lupa terhadap konflik Muhaimin-Gus Dur. Continue reading “Catatan Pemilu Legislatif 2014”