Berikut liputan CNN terkait kemungkinan Ratu Perempuan Yogyakarta
Kado Buat Ratu
Pada 31 Agustus 2012, DPR mengesahkan RUUK yang diperjuangkan rakyat DIY sejak 1999. Tepat lima tahun kemudian, MK membatalkan Pasal 18 ayat 1 yang membatasi perempuan untuk menjadi Gubernur DIY. Tulisan ini akan membahas dampak putusan MK tersebut terhadap kondisi internal Kasultanan dan peluang GKR Mangkubumi menjadi Gubernur DIY.
Putusan MK menyatakan bahwa pembatasan hanya bagi laki-laki untuk menjadi gubernur bertentangan dengan karakter demokratis masyarakat Indonesia. Mengutip putusan MK, salah satu alasan tidak berlakunya pasal tersebut adalah: “untuk memenuhi tuntutan yang adil dalam masyarakat Indonesia yang demokratis pembatasan yang demikian tidak boleh terjadi”.
Kado MK ini disambut dalam dua reaksi. Bagi “Pejuang Paugeran”, MK dipandang tidak mengindahkan budaya dan tata kepemimpinan Kasultanan yang menyatu dengan pemimpin agama yang harus dipimpin oleh lelaki. Disisi lainnya, para pendukung Sabda dan Dawuh Raja menganggap sukacita putusan MK. Putusan MK membuka peluang pembaharuan yang sedang digagas Sultan. Sebenarnya, bagaimana dampaknya dari sisi internal Kasultanan?
Simalakama Gelar Bawono
Hampir bisa dipastikan, proses penetapan Gubernur dan Wagub DIY 2017-2022 tidak akan menuai persoalan serius. Ketua DPRD DIY Yoeke Laksana mengatakan, “Saya super optimis akan lancar.” (KR 5 Juli 2017). Untuk Wagub jelas tidak ada persoalan, hanya saja, persoalan pergantian nama dan gelar Sultan memunculkan sejumlah pertanyaan. Mari kita urai satu per satu secara kronologis.
Sultan Hamengku Buwono X, atas petunjuk Allah melalui para leluhur, pada 30 April 2015, merubah nama dan gelarnya menjadi “Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati ing Ngalogo Langgengging Bawono Langgeng, Langgenging Toto Panotogomo.” Perubahan nama ini bertujuan untuk melancarkan proses pelantikan putri tertuanya GKR Pembayun untuk menjadi putri mahkota dengan gelar baru GKR Mangkubumi yang diumumkan lima hari kemudian. Gelar lama, terutama terkait dengan “khalifatullah” tak cocok dipakai perempuan (lihat detail di tulisan saya di jurnal MI disini). Perubahan ini ditentang oleh seluruh 15 putra-putri Sultan Hamengku Buwono IX, klik disini dan disini.
Pergantian nama tidak memikirkan dampak politik dan hukum terkait dengan UU Keistimewaan DIY. UUK jelas mengatur tentang gelar Sultan yaitu “Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah.” Ironisnya, sumber pencantuman gelar ini adalah surat dari keraton sendiri yang menjelaskan gelar yang digunakan pada saat penobatan Sultan terakhir tahun 1989.
Pada tanggal 19 Juni 2015, pihak kraton mengajukan perubahan nama Sultan ke Pengadilan Negeri Yogyakarta. Terkait pengajuan ini Sultan mengatakan,
“Ganti nama kan harus di Pengadilan. Saya tidak mau ganti-ganti nama terus-menerus. Nanti kalau untuk perjanjian apa, kan harus terdaftar.” (lihat disini)
Ketika ditanya implikasi perubahan nama tersebut terkait UUK, beliau mengatakan,
“Ya belum tentu (mengubah dalam UU), nanti kita lihat perkembangan politik saja.” (lihat disini)
Namun, sepertinya perubahan politik berlangsung cepat. Setelah sidang pertama tanggal 1 Juli 2015, Pengageng Kawedanan Hageng Panitrapura (Semacam Sekretaris Negara yang menjalankan fungsi administratif) yaitu putri kedua Sultan GKR Condrokirono, atas perintah Sultan, mencabut permohonan nama tersebut menjelang sidang kedua yang diagendakan 8 Juli 2015. Sidang kedua yang berlangsung singkat membatalkan proses penggantian nama ini. Alasan Sri Sultan terkait pencabutan berkas tersebut adalah,
“Tunggu revisi Undang Undang Keistimewaan dulu.” (lihat disini)
Sultan sepertinya sempat lupa, bahwa pergantian nama yang sudah disahkan oleh pengadilan akan membawa konsekuensi legal-administratif yang tidak mudah. Walaupun individunya tetap sama, perubahan tersebut dapat berakibat terjadinya persoalan legal-administratif yang berdampak hilangnya hak prerogratif Sultan sebagai Gubernur DIY yang tak dibatasi masa jabatan. Setelah muncul kebingungan di publik, Sultan menegaskan gelar baru untuk internal.
“Ya, belum waktunya (disahkan di pengadilan). Kan internal. UU-nya (UU Keistimewaan) belum berubah.” Selanjutnya Sultan mengatakan,
“Nama saya masih yang lama. Untuk keraton yang berubah. Itu urusannya lain.”(lihat disini)
Dua tahun berjalan dan isu ini kembali mengemuka. Pada 2017, saat memberikan berkas ke DPRD DIY untuk pengukuhan Gubernur DIY periode 2017-2022, GKR Mangkubumi kembali menegaskan bahwa,
“Tidak ada masalah kok. Gelar itu sudah dibedakan untuk internal dan eksternal.” (lihat disini)
Lebih lanjut, KPH Yudhahadiningrat yang selalu mewakili Kraton dengan berbagai pihak mengatakan,
“Itu kan (nama Bawono) untuk intern Kraton saja. Untuk abdi dalem, bukan untuk masyarakat umum.” (lihat disini)
Persoalannya sebenarnya tidak sesederhana internal dan eksternal, tetapi menyangkut legitimasi dan proses politik Sultan untuk mempertahankan posisi Gubernur di satu sisi dan menyiapkan GKR Mangkubumi menjadi Sultan di sisi lainnya. Apapun gelar yang digunakan, baik Buwono ataupun Bawono, tetap melahirkan persoalan.
Pertama-tama, mari kita lihat dalam struktur administrasi Kraton. Kasultanan Yogyakarta adalah institusi yang lengkap struktur administrasinya. Pencatatannya sangat detail dan rinci sejak beberapa abad silam. Struktur ini diadopsi oleh Republik Indonesia sejak 1945. Misalnya, di Kraton ada yang disebut Undhang yang merupakan keputusan tertinggi yang diberi penomoran yang kemudian diadopsi menjadi Undang Undang di RI. Hanya saja, Sabda dan Dawuh Raja tidak termasuk dalam administrasi Kraton. Untuk menjadikannya bagian dari administrasi, keduanya harus diadopsi dalam keputusan Kraton yang terbagi menjadi beberapa jenis. Setelah itu, nama Bawono baru dapat digunakan untuk lingkungan internal. Perubahan nama ini kemudian disahkan melalui Undhang Gumantosing Asma pada 4 Mei 2015, lalu secara resmi digunakan dalam berbagai undangan baik untuk internal maupun eksternal.
Persoalannya, salah satu syarat untuk mengajukan diri untuk ditetapkan menjadi Gubernur 2017-2022 adalah surat pencalonan dari Panitrapura (Pasal 19 UUK). Sehingga menjadi pertanyaan apabila dalam surat-surat lainnya yang dikeluarkan oleh Panitrapura menggunakan nama “Bawono”, tetapi surat pencalonan khusus untuk kepentingan Gubernur DIY menggunakan “Buwono”. Belakangan, surat penetapan Sultan dengan nama Buwono tahun 1989 dilegalisir oleh Panitrapura khusus untuk keperluan persyaratan Gubernur. Ini melanggar kaidah administrasi karena melegalisir gelar 1989 yang sudah diamandemen tahun 2015. Pendeknya, administrasi Kraton menjadi tidak konsisten karena tidak ada kaidah yang disepakati.
Kedua, pendapat tentang pembilahan internal dan eksternal Kraton terkait gelar sangat membingungkan dan sulit melihatnya sebagai jalan keluar. Ketika UUK disahkan (yang prosesnya melibatkan Kraton), sebenarnya Kraton sudah menyerahkan urusan internalnya kepada NKRI. Tidak ada lagi pembilahan internal dan eksternal dan kasus perubahan gelar ini adalah yang paling konkrit. Sultan bahkan tidak memiliki independensi untuk merubah gelarnya sendiri karena rambu-rambu regulasi yang demikian ketat. DPRD DIY terbelah alot menyikapi isu ini dan berita acaranya membatasi ketat pergantian nama (baca Berita Acara 1, 2, 3).
Selain itu, tiga hari setelah mengumumkan putri mahkota, Sultan memberikan keterangan pers di Ndalem Wironegaran dengan mengundang berbagai media lokal dan nasional baik cetak maupun elektronik dan ditayangkan live di Metro TV. Beliau menjelaskan secara rinci dan detail tentang makna Sabdaraja (30/4/15) dan Dawuhraja (5/5/15). Beliau misalnya, menjelaskan dengan detail makna gelar “Ka 10” yang merubah “Kaping Sedasa” di gelar lama. Beliau mengkritisi istilah “kaping” yang berarti perkalian berbeda dengan “ka” yang berarti “lir gumanti” (terus-menerus), dan tentu saja disamping menjelaskan dihapuskannya “khalifatullah”. Apabila perubahan gelar hanya untuk urusan internal, mengapa perlu klarifikasi publik? Selain itu, muncul juga pertanyaan, jika “Ka 10” memang betul digunakan untuk internal, mengapa berbagai media sosial resmi yang dikelola Kraton menggunakan “Ka 10” ?
Continue reading “Simalakama Gelar Bawono”
Gubernur Ganjar dan Sekolah Favorit yang Kesulitan Mencari Murid
Gubernur Ganjar Pranowo mengeluarkan Pergub 9/2017 disini dan petunjuk teknisnya Keputusan Kepala Dinas Pendidikan No 421/05238 disini. Kedua aturan ini merupakan turunan Permendikbud No. 17 tahun 2017 yang sifatnya cukup umum dan menugaskan detailnya ke pemerintah daerah. Tujuan Permendikbud dan Pergub ini sebenarnya mulia, tapi jika tidak diaplikasikan dengan baik dan kalkulasi yang ceroboh, sekolah favorit SMAN 1 Magelang yang dalam beberapa tahun terakhir meraih nilai tertinggi UN SMA di Jateng akhirnya kekurangan murid. Selain itu, hak bersekolah anak di Kabupaten Magelang terampas.
Pergub ini membatasi kriteria penerimaan siswa baru menjadi tiga kategori berturut-turut berdasarkan: nilai UN, kekayaan, lokasi, dan prestasi. Kuota dan sistem penilaiannya pun sudah ditentukan melaui sistem online yang dilakukan serentak di Jawa Tengah. Tujuannya adalah munculnya diskriminasi positif kepada mereka yang kurang mampu dan tinggal di lingkungan sekitar agar muncul prestasi yang setara.
Ada beberapa catatan penting terkait Pergub dan tersebut:
Pertama, ketentuan yang mengatur tentang kuota siswa dengan orangtua tidak mampu. Dalam Bab V Bagian A angka 1 huruf h Kep. Kepala Dinas disebutkan,”Setiap satuan pendidikan wajib melaksanakan program ramah sosial dengan cara merekrut siswa miskin yang memiliki minat dan potensi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari daya tampung.”
Prosentase penambahan pun sudah ditentukan dengan detail dan dibuktikan dengan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu). Tidak Mampu dan tinggal di tempat tinggal sekolah mendapatkan tambahan nilai 3, dalam satu provinsi 2 dan tidak miskin berada di lingkungan sekolah 1. Penambahan nilai 3 sama dengan prestasi juara tiga nasional atau juara satu provinsi. Atau siswa yang Tidak Mampu dan tinggal di dalam Kab/Kota tapi nilainya 6 disamakan dengan yang mampu dengan nilai 9 di satu mata pelajaran. Penambahan 3 poin adalah durian runtuh bagi siswa yang bersaing di nol koma.
Kedua, terkait rayonisasi. BAB IV huruf C Penetapan Rayonisasi adalah wilayah Kecamatan atau beberapa kecamatan. Selain itu, Pergub Huruf H poin 4 mengatur secara detail prosentase berdasarkan domisili. Bukti domisili dilakukan dengan KK dan untuk Aparat Sipil dan Militer Negara menggunakan SK Penugasan. Rayonisasi diatur detail sebagai berikut: Tinggal di dalam rayon paling sedikit 50%, di dalam kab/kota paling banyak 40%, di luar kab/kota paling banyak 7% dan di luar provinsi paling banyak 3%.
Berdasarkan keputusan Kep Dinas Jateng, Dinas Pendidikan Kota Magelang membagi rayon menjadi tiga berdasarkan tiga kecamatan yang ada di Kota Magelang. Rayon Magelang Utara (SMAN 5 (228 Siswa) dan SMAN 2(228 siswa) ), Magelang Tengah (SMAN 1 (300 siswa) dan SMAN 3(228 siswa) dan Rayon Magelang Selatan (SMAN 4 (256 Siswa)). Kelima sekolah ini bersaing untuk mendapatkan siswa.
Jika diaplikasikan di SMAN 1 Magelang, kira-kira detailnya akan menjadi seperti ini. SMAN 1 Magelang memiliki kuota 300 siswa, minimal 60 siswa (20%) yang berasal dari keluarga miskin yang harus diterima. Selanjutnya berdasarkan faktor lokasi: 50% Rayon Magelang Tengah yang berhimpitan dengan batas administratif Kecamatan Magelang Tengah yang terdiri dari enam desa; maksimal 40% harus berasal dari dua kecamatan (rayon) yang lain di kota Magelang, 7% dari kabupaten Magelang (karena Kota Magelang dikelilingi Kab. Magelang) dan 3% dari provinsi luar Jateng.
Apa hasilnya? Sampai batas akhir pendaftaran online yang sesuai aturan teknis ditutup tanggal 14 Juni 2017 jam 10.00 WIB SMAN 1 Kota Magelang kekurangan murid. Sucahyo Wibowo, sebagaimana dikutip di detik mengatakan, “Jumlah siswa belum memenuhi kuota 50% kuota SMAN 1 Kota Magelang.” Selanjutnya, mereka yang tidak mampu (atau mengaku tidak mampu) berjumlah 68 siswa atau lebih dari 20% dari kuota. Karena yang mendaftar kurang dari 150 siswa, 68 siswa tidak mampu menjadi mendominasi atau hampir separuh jumlah keseluruhan siswa. Selanjutnya, Sucahyo mengatakan mereka yang pintar tersingkir dari mereka yang nilainya rendah tetapi menggunakan SKTM. Mengapa ini bisa terjadi?
Pertama, Pergub dan petunjuk teknis Kepala Dinas Pendidikan Jateng menetapkan Rayonisasi tanpa melihat variasi daerah. Kota Magelang luasnya hanya 18,12 km2 dan dikelilingi oleh Kabupaten Magelang. Seusai amanat UU 32/2004 yang mengharuskan minimal ada tiga kecamatan di sebuah Kab/Kota, Kota Magelang memekarkan diri dan membentuk Kecamatan Magelang Tengah. Tetapi sebenarnya jumlah penduduknya tidak banyak berubah. Data BPS menunjukkan penduduk Kota Magelang hanya 131.703 jiwa di tahun 2014. Dari 2011 sampai 2014 hanya meningkat 2,147 jiwa atau sekitar 700 jiwa per tahun. Melalui kebijakan Rayonisasi, sekolah-sekolah akan berburu murid karena memang jumlah lulusan SMP nya sedikit. Sampai 16 Juni, seluruh lima SMAN di Kota Magelang tidak mendapatkan siswa yang cukup. Pertanyaannya, darimana SMA di Magelang memperoleh murid di tahun sebelumnya?
Kedua, SMA Negeri di Magelang memperoleh murid dari Kabupaten Magelang yang jumlah SMA Negerinya terbatas. Menurut data Kemendikbud di http://sekolah.data.kemdikbud.go.id, Kabupaten Magelang yang memiliki penduduk 1.245.496 sesuai data BPS di tahun 2015 hanya memiliki 10 SMA Negeri dan tiga SMK Negeri di Ngablak, Salam dan Windusari. SMAN di Kabupaten Magelang berada di Kecamatan Bandongan, Dukun, Mungkid, Muntilan, Candimulyo, Ngluwar, Grabag, Mertoyudan dan Salaman. Di Grabag, ada dua SMA Negeri. Artinya, dari 21 Kecamatan di Kabupaten Magelang, tidak ada SMA Negeri di 12 Kecamatan. Di Kecamatan yang berbatasan langsung dengan Kota Magelang, yaitu Kecamatan Tegalrejo yang berpenduduk 56 ribu dan di Kecamatan Secang yang berpenduduk 80 ribu, tidak ada SMA Negeri. Selama ini siswa dari Tegalrejo atau Secang bersekolah di SMAN 2 Magelang karena kemudahan transportasi umum. Setelah Rayonisasi, SMAN 2 baru memperoleh 115 siswa dari biasanya 236 siswa.
Kuota dan Pendaftar SMAN di Kota Magelang (16/6/2017)
Nama SMAN | Kuota | Terisi | Kekurangan |
SMAN 1 | 300 | 260 | 40 |
SMAN 2 | 236 | 115 | 121 |
SMAN 3 | 256 | 222 | 34 |
SMAN 4 | 298 | 194 | 104 |
SMAN 5 | 288 | 158 | 130 |
Total | 1378 (100%) | 949 (69%) | 429 (31%) |
Sumber: Detik, 16 Juni 2017
Dampak dari sistem rayonisasi adalah hilangnya hak siswa di Kabupaten Magelang untuk bersekolah di SMA karena selain tidak ada SMA Negeri. Ini adalah dampak terburuk dan jumlahnya dapat mencapai 429 siswa. Mereka yang ingin bersekolah di Kota Magelang hanya dibatasi kuotanya menjadi 7%. Karena ketiadaan pasokan dari Kabupaten ini, SMAN di Magelang kekurangan murid. Ini adalah hal miris untuk kecamatan yang berbatasan langsung dengan Kota Magelang. Sejak SMAN 1 Magelang hadir sejak 1960an, belum pernah ada dalam sejarah sekolah tersebut kekurangan murid. Bahkan, saking ketatnya seleksi, kuotanya 300 siswa, tertinggi di Kota Magelang.
Dampak selanjutnya adalah resiko dan keamanan jalan dan hilangnya penghasilan mereka yang bergantung dari transportasi dari Kabupaten ke Kota. Kota dan Kabupaten Magelang adalah kesatuan sistem infrastuktur dan transportasi yang hanya dipisahkan oleh batas administrative tak kasat mata. Persoalannya, di peta Kota Magelang yang ditempel di setiap ruangan, Kabupaten Magelang ini warnanya putih, seakan tidak ada. Sistem rayonisasi bisa dibuat dalam sekejap mata, tetapi infrastuktur jalan dan transportasi butuh proses panjang. Hampir semua moda transportasi di Kabupaten Magelang selalu mengarah ke Kota Magelang. Jika toh ada jalan antar kecamatan, jalannya kecil, berliku dan berbahaya. Pembuat kebijakan mungkin belum pernah mencoba jalan Kaliangkrik ke Borobudur atau Bandongan ke Windusasi. Niatan Rayonisasi yang ingin mendekatkan siswa dengan sekolah tidak terjadi karena selain tidak ada sekolah, sekarang siswa dipaksa harus bersekolah di kecamatan tetangga yang infrastuktur dan moda angkutannya tidak mendukung. Akibatnya, siswa akan dipaksa untuk menggunakan sepeda motor yang justru lebih beresiko.
Bahkan di Salatiga, peraih nilai UN tertinggi gagal masuk SMAN 1 Salatiga hanya karena tinggal di desa. Ini merupakan pelecehan terhadap intelektualitas.
Ketiga, muncul orang-orang miskin baru karena sekolah wajib menerima dan menambah tiga poin. Protes terjadi di banyak tempat (lihat kumpulan berita di bagian akhir) . Di Solo, orang tua siswa berdemonstrasi dan meminta PPDB Jateng diulang. Continue reading “Gubernur Ganjar dan Sekolah Favorit yang Kesulitan Mencari Murid”
Tentang Tiga Raja Yogyakarta
Selama melakukan penelitian lapangan untuk studi PhD sejak akhir 2015, saya setidaknya sudah mewawancarai tak kurang dari 21 raja dan sultan termasuk mereka yang mengaku raja dan punya pengikut yang signifikan. Jika ditambahkan dengan orang kedua, semacam perdana menteri atau putra-putri dan permaisuri, jumlahnya menjadi puluhan orang. Itu diluar puluhan pejabat adat, politisi, wartawan, akademisi, sejarawan dan budayawan yang jika ditotal jumlahnya menjadi 286 di 11 Provinsi dan 17 Kab/Kota. Tak sedikit yang saya temui berulang kali.
Ada beragam kharakter dari raja-raja tersebut. Ada raja yang tidak percaya diri untuk diwawancari sendirian, sehingga harus mengajak bawahannya, yang entah mengapa, berbicara lebih banyak daripada rajanya. Ada yang ketika saya datang ke rumahnya disebuah kompleks perumahan sesuai jam yang dijanjikannya, istrinya keluar sebentar dan meminta saya menunggu di luar gerbang garasi. Empat puluh menit saya harus berdiri di bawah terik matahari. Ada juga yang memang berlagak menjadi penguasa sungguhan. Cerita tentang tiga raja Yogyakarta yang saya temui empat mata ini menarik untuk dikisahkan. Mereka adalah Sri Paduka Paku Alam IX, Sri Paduka Paku Alam X dan Sultan HB X. Saya mulai dari yang pertama.
Protokoler Wakil Gubernur DIY menelpon saya, dan mengabarkan bahwa saya ditunggu Sri Paduka Paku Alam IX jam 7.30 pagi. Bah! Mana ada pejabat yang datang sepagi itu. Jangankan setingkat Wakil Gubernur, pernah seorang bupati enam kali ingkar janjian dengan saya, tiga janji diantaranya terucap dari mulutnya sendiri. Setiap kali saya datang dan menunggu berjam-jam, dia selalu menjanjikan ketemu lain kali.
Pagi itu beberapa hari kemudian, istri saya sudah mengingatkan ketika saya sarapan jam 7 pagi bahwa janjian jangan sampai telat. Sekali lagi saya jawab, “Ah mana ada pejabat yang datang jam 7 pagi, jam kantor saja jam 8.” Akhirnya saya datang ke Kepatihan jam 7.45. Ruangan kepatihan yang telah berusia dua ratus tahun itu sebelah Barat ruangan Gubernur dan sebelah Timurnya ruangan Wagub. Tidak nampak seseorangpun disitu. Setelah sampai dan ke toilet, protocol yang akhirnya menemukan saya setelah mencari kesana-kemari mengatakan bahwa Wagub sudah menunggu sejak jam 7 pagi! Saya kehilangan kata selain minta maaf berkali-kali. Sri Paduka yang ketika muda bekerja di perusahan kapal dan fasih beragam bahasa ini menjawab santai, ”Saya kan siap-siap lebih dulu. Siapa tahu bapak datang lebih awal.” Blaik!
Sri Paduka, dengan gestur yang sangat biasa dan akrab, menjawab wawancara saya selama hampir dua jam. Sesekali saya harus menunggu lama karena beliau harus mengatur napas, atau menunggu sedotan rokok yang hampir menghabiskan separuh bungkus itu. Setelah selesai, beliau lebih dulu berterimakasih sudah dikunjungi, dan menambah teman. Malu saya di awal, menjadi berlipat di akhir.
Putra beliau, Sri Paduka Paku Alam X, pertama kali saya temui di ruang tunggu bandara Lombok dalam perjalanan menuju Festival Keraton Nusantara IX Bima 2014. Dari kesan pertama, sudah terlihat dirinya yang merakyat. Pada acara Opening Dinner FKN, beliau tampil dengan baju Jawa lengkap yang dipakai putra mahkota dalam jamuan resmi (dilihat dari beskap, blangkon, keris dan batik bawahannya). Di antara sekian banyak raja dan pejabat yang hadir, saya kira, beliaulah kandidat pejabat tertinggi yang sudah digaransi oleh UU sebagai Wakil Gubernur (beliau dinobatkan sebagai Paku Alam X pada Januari dan menjadi Wagub DIY pada Mei 2016). Tapi tampil biasa saja dan tidak menjadi pusat perhatian, padahal beliaulah perwakilan tertinggi dari kontingen Yogyakarta saat itu. Sehingga kehadiran dan sikapnya tidak mengundang media. Ketika berfoto bersama, beliau juga tidak memaksa berdiri di tengah, seperti para raja abal-abal. Seperti yang sudah-sudah, FKN selalu menjadi ajang unjuk gigi raja abal-abal. Panitia juga sepertinya tidak begitu faham dengan sebaran politik para tamunya. Ketika saya sibuk berkenalan dengan para raja, beliau pamit,” Mas, saya pulang duluan ya.” Sampai di penginapan saya berpikir, “Siapa saya sampai dipamiti putra mahkota Pakualaman!”
Di salah satu pertemuan berikutnya, ketika saya yang kebetulan sedang di kampus, diajak bertemu di sekitar kampus. Sebenarnya beliau ingin main ke rumah saya, tapi saya malu ketika itu. Akhirnya kami bertemu di foodcourt di dekat lembah UGM. Seperti biasa, tidak ada yang istimewa, beliau menyetir sendiri mobil karimun hijau yang sudah cukup tua. Tak jauh beda dengan ayahnya yang menemui saya sambil terpincang karena jatuh dari sepeda motor beberapa minggu sebelum wawancara. Beliau santai saja ketika saya potong jawaban-jawabannya sehingga sesuai dengan kebutuhan data (belakangan ketika mendengarkan kembali rekamannya, saya menyesal melakukannya, seharusnya saya lebih bersabar sehingga mendapat informasi lebih banyak). Setelah selesai, saya bertanya ke pramusaji, ”Mas tahu nggak kalau yang barusan kesini itu adalah Paku Alam yang baru saja dinobatkan?” Tentu saja, tak ada yang menyangka bahwa beliaulah yang poster-poster besarnya menghiasi Yogyakarta selama sebulan terakhir. Jadi jangan kaget, ketika melihat Wagub DIY mengantri tiket nonton pameran motor custom yang menjadi kegemarannya, mengesampingkan undangan VVIP yang berada di mejanya.
Yang ketiga adalah Sri Sultan Hamengku Buwono (atau Bawono) X. Continue reading “Tentang Tiga Raja Yogyakarta”
Membubarkan HTI
Kedaulatan Rakyat, Analisis 10 Mei 2017
HAMPIR seluruh media online cukup gegabah menampilkan judul terkait pembubaran HTI. Mereka menulis, ‘Pemerintah Bubarkan HTI’ dan sejenisnya. Pemerintah sebenarnya hanya mengambil langkah akan membubarkan HTI. Kata akhir pembubaran berada di Mahkamah Agung sesuai prinsip demokrasi yang tertuang di UU 17/2013. Disinilah polemiknya bagaimana organisasi yang menentang demokrasi bisa berlindung di balik proses demokratis?
Ada dua prinsip demokrasi yang berhubungan dengan hak berserikat. Pertama setiap orang dijamin kebebasannya untuk berkumpul dan menyatakan pendapat. Kedua pembagian kekuasaan ke dalam berbagai lembaga negara yang tidak bisa saling mengintervensi. Sehingga jika kedua prinsip ini dijalankan otomatis pemerintah tidak bisa begitu saja membubarkan organisasi.
Pernyataan pemerintah melalui Wiranto mengingatkan kita akan Orde Baru. Pernyataannya mirip dengan cara-cara Orde Baru. Menjelang tumbang, Suharto menumpas seluruh gerakan pro-demokrasi dan melabeli mereka dengan istilah OTB (Organisasi Tanpa Bentuk) yang ‘menyesatkan masyarakat’. Gerakan prodem waktu itu tak mungkin terbuka karena tembok dan pintu bisa menjadi telinga pemerintah Suharto.
Persoalannya, HTI secara nyata menentang demokrasi. Menurutnya demokrasi adalah produk barat yang tidak sesuai dengan konsep khilafah. Setiap muslim, menurut HTI, seharusnya bercita-cita untuk mendirikan khilafah yang tak tersekat batas negara. Di Indonesia, walaupun sudah hadir sejak Orde Baru membuka tangan terhadap umat Islam di awal 1990an, tidak ada yang menganggap HTI sebagai persoalan serius. Idenya tentang khilafah tak lebih dari mimpi di siang bolong. Melihat konteks geopolitik saat ini, sulit untuk merealisasikan ide khilafah dalam lima puluh tahun ke depan kecuali ada perubahan drastis konstelasi politik internasional.
HTI menjadi penting untuk dibubarkan karena HTI adalah target paling mudah sebagai bukti langkah politik balasan atas serial aksi umat Islam belakangan ini. Sejak semula, HTI terlibat dalam gerakan 411 dan 212 yang membuat pusing pemerintah. Ketika melihat momentum menguatnya gerakan Islam dan melemahnya relasi antara pemerintah dan gerakan Islam pasca kasus Ahok, HTI merancang tabligh akbar dan konvoi di berbagai kota di Indonesia. Continue reading “Membubarkan HTI”
Pertarungan Ahok-Anies Mengelola Isu di Putaran Dua
Jakarta, CNN Indonesia 2 Maret 2017
Jika bertolak dari exit poll yang dilakukan Indikator Politik Indonesia di putaran pertama, pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno akan memperoleh 52,4 persen dan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat di angka 43,3 persen di putaran kedua. Sementara sisanya masih belum menentukan pilihan.
Berdasarkan hasil survei masing-masing, Direktur Eksekutif Indikator Burhanuddin Muhtadi memprediksi, pertarungan di putaran kedua adalah persoalan emosional versus rasional. Djayadi Hanan, Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), melihat salah satu kunci di putaran kedua terkait persoalan perubahan dukungan partai politik ke kandidat.
Djayadi menegaskan, kedua kandidat memiliki peluang yang setara untuk menang.
Di atas kertas, berdasarkan exit poll, posisi Basuki-Djarot memang kurang menguntungkan. Angkanya hanya naik tipis dari putaran pertama.
Apakah suara Basuki-Djarot mentok di titik itu?
Kalau kembali ke awal pencalonan, tim kampanye kandidat sudah memperhitungkan bahwa pilkada Jakarta yang mensyaratkan 50 persen lebih baik hanya diikuti dua pasang kandidat. Tetapi negosiasi kurang berjalan mulus pada detik-detik akhir.
Setelah koalisi Partai Demokrat memutuskan mengajukan Agus Harimurti Yudhoyono, kubu Prabowo Subianto mencalonkan Anies-Sandi. Pada titik ini, pendukung Ahok-Djarot masih optimistis bisa menang satu putaran.
Namun persoalan menjadi berbeda ketika Ahok ditetapkan tersangka penodaan agama. Pasangan nomor satu dan tiga memperebutkan suara politik massa Islam yang mulai terkonsolidasi. Tidak mudah untuk berkampanye “haram memilih pemimpin non-muslim” bagi orang muslim.
Tetapi begitu ditingkatkan menjadi “dilarang memilih penista agama”, pemilih muslim lebih cepat terkonsolidasi. Sehingga bagi pasangan nomor satu dan tiga, isu putaran pertama adalah “berebut pemilih muslim”, sementara putaran kedua menjadi “konsolidasi pemilih muslim.”
Paslon nomor satu lantas jadi korban dari pertarungan ini.
Agus-Silvy tak punya cukup waktu untuk bersiap. Meski didukung infastruktur politik dan dana mantan presiden, Agus-Silvy hanya meraup 17 persen.
Putaran pertama memberi pelajaran penting di putaran kedua: infrastruktur politik tidak menjamin keterpilihan kandidat.
Di tingkat kelurahan, hampir setiap warga dapat mengidentifikasi tim pemenang Agus-Silvy, tetapi toh, suaranya tidak tak sampai separuh dari dua kandidat lain. Artinya, koalisi partai pendukung bisa jadi tidak terlalu signifikan menjadi penentu pemenang.
Lantas, apa yang menentukan?
Pertama, ada faktor yang sulit dikontrol: salah satunya partisipasi pemilih. Misal, jika sebagian besar pemilih yang sudah jatuh hati pada pasangan Agus-Sylvi tak mau ke lain hati atau pemilih sudah jenuh dan tak lagi datang ke putaran kedua.
Kedua, dari berbagai survei periode November 2016-Februari 2017, ada tiga pola berbeda.
Agus-Silvy mengawali langkah dengan hasil survei tinggi dan terus menurun. Basuki-Djarot berawal dari survei yang tinggi, turun drastis terkait isu penodaan agama dan gerakan massa, lantas kembali naik pada bulan terakhir.
Anies-Sandi menunjukkan kenaikan yang stabil terus-menerus. Dari ketiga tren itu, ada dua hal yang cukup menentukan hasil pilkada DKI: faktor emosional dan sosiologis, terutama tekait agama dan performa debat.
Ketiga, bagi tim Basuki-Djarot, mengampanyekan kinerja adalah cara terbaik, sambil tetap menjaga emosi pemilih dengan tidak melakukan sesuatu yang kontroversial. Peluang kandidat ini dapat diperoleh dengan menggandeng kaum Nahdliyin yang relatif lebih moderat.
Islam modernis apalagi fundamentalis, akan lebih mudah digaet paslon nomor tiga. Selain itu, walau permintaan maaf Ahok di sidang dan tangisannya bisa jadi merebut hati pemilih, tetapi apakah efektif jika dilakukan dua kali?
Dalam sebulan terakhir, Ahok-Djarot dapat memaksimalkan status sebagai petahana aktif, berharap birokrasi Jakarta bekerja menghadapi banjir dan terus menghadapi persidangan penodaan agama.
Ada risiko juga yang harus dihadapi yaitu, diberhentikan sementara dari jabatan Gubernur, cuaca kurang bersahabat yang memicu banjir, serta ketukan palu hakim.
Keempat, Anies sudah mencoba cara cerdas dengan berfoto di genangan banjir yang sekaligus menunjukkan kritik terhadap kinerja petahana. Tapi hal tersebut kurang viral di media sosial.
Saat ini, level pertarungan isu lebih menyasar pemilih, bukan kandidat. Pemilih pasangan nomor urut dua dianggap munafik dan kemudian haram untuk disalatkan. Hal ini bahkan lebih viral dibanding strategi politik cerdas.
Namun pilkada seolah menjadi pertarungan sekali seumur hidup yang pemenangnya akan menduduki kursi gubernur sampai mati. Padahal dalam demokrasi, segala hal bisa terjadi, dan untuk itulah perlu diingatkan bahwa DKI akan mengadakan pilkada lagi dalam lima tahun mendatang.
Jika salah memilih, masih ada lima tahun lagi untuk bertobat memilih pemimpin baru.
Perlu dicatat bahwa proses demokrasi belum tentu menghasilkan kandidat yang terbaik tetapi melahirkan seseorang yang didukung sebagian orang, dan tidak bagi sebagian lainnya. Lihatlah Amerika Serikat.
Negara adidaya itu sudah menciptakan sistem yang rumit dan dijadikan patron di seluruh dunia, menghasilkan Presiden Donald Trump yang pada beberapa hal dianggap mengancam nilai dasar demokrasi. Tetapi toh, setelah terpilih, publik menghormati walau menatapnya dengan penuh keseriusan.
Pada titik tertentu, demokrasi di Indonesia dihadapkan pada situasi yang menantang. Misal untuk pertama kalinya, hasil pilkada di Kota Yogyakarta akan ditentukan oleh Mahmakah Konstitusi karena selisih yang hanya 1.000-an suara.
Padahal dalam Pemilihan Legislatif 2014, dari ribuan kandidat anggota dewan di Yogya, tak ada satupun yang mengajukan gugatan ke MK.
Akhirnya sekali lagi, masih cukup waktu untuk berbenah. Survei itu seperti Anda tes gula darah sesaat di laboratorium. Hasilnya akan berbeda keesokan hari, tergantung makanan yang dikonsumsi.
Cuitan Mantan Presiden
APABILA anda merangkum empat minggu berturut-turut selama pemerintahan SBY (2004-2014) lalu mencari tindakan SBY yang lebih reaktif dibandingkan empat minggu terakhir, anda akan kesulitan. Satu sisi, ini aneh karena biasanya seseorang diterpa kritik ketika berada pada puncak kuasa penentu kebijakan. Di sisi lain, bisa dipahami melihat karakter pribadi SBY.
Sedikit mundur ke belakang, pada 2 November 2016, SBY berpidato di luar kebiasaan. Gaya pidato SBY yang selama sepuluh tahun terjaga, terkonsep dan dilatih berulang-ulang, tiba-tiba berantakan menanggapi isu aktor intelektual aksi 411. SBY terlihat emosional dan sering berbicara di luar teks. Ujung-ujungnya, bukan penampikannya terhadap isu, tetapi justru guyonannya tentang ‘lebaran kuda’ yang menguasai media sosial. Seminggu kemudian, istilah ‘lebaran kuda’dilaporkan alumni HMI ke polisi.
Sejak akhir Januari, SBY semakin rajin mentweet, seiring dengan penurunan hasil survey AHY di Pilkada. Pada 20 Januari, SBY mencuit. ” Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah & penyebar hoax berkuasa & merajalela. Kapan rakyat & yg lemah menang?” Berikutnya pada 4 Februari, SBY menanggapi proses persidangan Ahok dimana ditengarai teleponnya ke ketua MUI sekaligus mantan Watimpresnya KH Ma’ruf Amin menyebabkan ke luarnya Sikap Keagamaan MUI. SBY kemudian melakukan jumpa pers tentang bahayanya penyadapan ilegal. Continue reading “Cuitan Mantan Presiden”
Dakwah Sekaten
Kedaulatan Rakyat, Analisis, 10 Desember 2016
MAULUD Nabi, upaya untuk memperingati hari lahir Baginda Rasulullah Muhammad SAW memang tidak dikenal dalam fase awal penyebaran Islam. Acara Mauludan pertama kali dilakukan oleh dinasti Fatimiyah di Mesir pada akhir abad ke-11. Mulanya hanya un- tuk kalangan terbatas tetapi kemudian menyebar dan menjadi acara yang dinanti masyarakat umum.
Di beberapa tempat, Maulud sayangnya justru dijadikan ajang untuk mereproduksi kembali nilai-nilai paganisme yang menjadi alasan utama turunnya agama Islam. Tetapi tidak demikian yang terjadi di Indonesia.
Beberapa sejarawan, seperti Ricklef dan De Graff memperkirakan bahwa tradisi Maulud Nabi sudah ada sejak awal Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-13. Setelah beberapa perang yang meruntuhkan Majapahit dan mengorbitkan Demak, Maulud digunakan sebagai media dakwah penyebaran Islam yang wujudnya masih terasa di Kasultanan Yogyakarta dengan peran besar para Wali.
Wali Sanga terbelah menjadi dua kategori, mereka yang menyebarkan Islam di daerah pesisir dan mereka yang masuk ke pedalaman. Penyebaran di pedalaman jauh lebih sulit karena masyarakatnya homogen dan teguh memegang adat. Oleh karena itu, para Wali, termasuk Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan Sunan Muria menggunakan budaya sebagai medium dakwah. Sekaten adalah contoh paling indah dari perpaduan ini. Mereka menarik sebanyak-banyaknya umat lewat seni yang sudah berkembang.
Tujuh hari menjelang 12 Rabiul Awal, dua gamelan Kraton, Kiai Nagawilaga dan Kiai Guntur Madu dibunyikan terus-menerus kecuali waktu salat. Ada juga tradisi Udhik-udhik dimana Sultan membagikan koin kepada rakyat. Jika dibandingkan saat ini adalah konser terus menerus bintang pop seperti Noah, Iwan Fals, Raisa dan lainnya.
Bedanya, tembang-tembang yang dibunyikan sarat ajaran Islam dengan makna mendalam bagi kehidupan. Disitulah nilai-nilai agama disisipkan. Setelah tertarik bunyi gamelan, pelan-pelan masyarakat diajak untuk masuk Islam dan salat di Masjid. Itulah mengapa, dua gamelan dikeluarkan dari Kraton dan diletakkan di halaman Masjid Gedhe. Continue reading “Dakwah Sekaten”
Mar Kempong dan Kuas Gambarnya
Saya punya teman waktu kecil di Bogeman, namanya Maryanto alias Mar Kempong. Tak jelas mengapa dia dipanggil begitu. Konon dia terlambat melepas kempongnya ketika anak-anak yang lain sudah tak lagi tergantung kempongan. Kebiasaan di kampung saya memang begitu, nama dirubah seenaknya sesuai dengan yang paling tampak. Ada Nyah Jambu karena punya pohon jambu, ada Bah Becak karena juragan becak dls. Makanya, tak ada warga kampung yang memelihara monyet aka kethek.
Umurnya selisih empat tahun dari saya, tetapi karena sering tak naik kelas ketika SD, kami dalam kelas yang sama. Mar Kempong adalah anak yang paling sering tidak naik kelas dibanding semua anak di kampung kami. Dia tak sanggup berhitung dan membaca. Tentu saja tak jarang menjadi sasaran olok-olokan. Setiap bulan Juni, adalah waktu yang paling menegangkan untuk Mar Kempong.
Mar Kempong adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Ibunya berjualan gorengan dan ayahnya bekerja serabutan. Kakak-kakaknya juga tak pandai di sekolah, tetapi dibanding Mar Kempong, saudara-saudaranya jauh lebih baik. Mereka tinggal di rumah sangat sempit berlantai tanah. Setelah saya lulus SD mereka pindah karena rumahnya akan dipakai pemilik tanahnya.
Suatu hari, Mar Kempong menggambar di buku kotak-kotak saya yang bisanya digunakan untuk mengerjakan matematika. Luar biasa. Gambar laba-labanya bagus sekali. Saya lalu memintanya menggambar apa saja: kucing, kelereng, gatot kaca, sandal jepit. Saya selalu kagum terhadap gambarnya. Saya, yang tak berbakat sama sekali menggambar, selalu kagum dengan orang yang pandai menggambar. Gambar saya tak lebih dari dua gunung, matahari, satu jalan ditengah dan sebuah rumah. Kadang saya gambar dua ekor burung di tengah awan, yang saya contoh dari gambar pak Guru di papan tulis. Mar Kempong juga jago main kelereng, mengejar layangan. gobak sodor, sundah mandah atau bermain tomprang (kartu). Pokoknya dia jago bermain apa saja selain menghitung dan membaca. Jadi kemampuannya inilah yang membuatnya tidak terlalu diganggu walaupun sering tak naik kelas.
Kakak sulung Mar Kempong, Supri yang menjadi tukang becak di usia akhir 20an ternyata jago basket. Itu baru diketahui setelah umurnya tak lagi remaja. Kemampuannya diketahui setelah beberapa kali menemani dan mengantarkan pelanggannya ke tempat basket. Dia lalu memperkuat grup basket, yang sekali lagi tingkat kampung sampai kemudian terpaksa harus lebih sering menunggu di becaknya yang karatan di beberapa tempat.
Mar Kempong sekarang bekerja menjadi tukang gambar alias desainer di pabrik plastik di kampung tetangga. Nasibnya lebih baik daripada Supri yang menjadi tukang becak atau Maryadi, kakak lainnya yang mengangkut sampah di kampung kami. Paling tidak, Mar Kempong tidak perlu berpeluh dan bersahabat dengan bau sampah. Pada lebaran beberapa tahun lalu, dia tampak sumringah mengenakan baju baru.
Namun demikian, cerita Mar Kempong, memberikan gambaran tentang buruknya sistem pendidikan kita dan betapa parahnya kita sebagai orang tua.
Kemarin saya menghadiri annual speech di SD anak saya yang kedua, di Ainslie School Canberra. Salah satu acara adalah pemberian Awards dan disinilah letak kecemburuan saya terhadap sistem pendidikan di Australia. Di acara itu, beberapa piala dibagikan: Catur, Arts and Creativity, Matematika, Sains, Kepemimpinan, Sosial, Persistence dan Olahraga. Tentu saja, ada jauh lebih banyak anak yang tidak mendapatkan apapun. Tetapi anak dihargai di berbagai bidang yang disukainya. Dua hari berikutnya, saya hadir di awards ceremony di SMP anak saya yang pertama dengan pesan kepala sekolahnya,” find your potentials and work hard to be the best on it.”
Sebaliknya, salah satu ciri paling penting dari cara pandang kita yang salah terhadap anak adalah kita selalu melihat anak dalam kapasitas yang tidak dia kuasai, ketimbang bakat yang dia miliki. Kita melihatnya dalam kapasitas What he/she cannot do daripada What he/she is capable of. Karena selalu melihat kekurangan, kita dipaksa oleh sistem pendidikan dan gengsi lingkungan untuk meningkatkan apa yang anak kita tidak bisa dan bukan sebaliknya, meningkatkan kemampuan/bakat yang dimilikinya. Pendeknya kita lebih sering melihat kekurangan daripada kelebihan. Karena sibuk berupaya untuk memperbaiki kekurangan, hasilnya bakat dan kemampuan anak menjadi kurang berkembang. Lebih buruk lagi, anak sekedar dihargai dalam persoalan Matematika, Bahasa Inggris dan Sains.
Itulah yang terjadi pada Mar Kempong dan Supri. Guru-guru di SD Mar Kempong yang hampir ambruk, atau orang tuanya yang banting tulang mencari utangan untuk makan keenam anaknya, tak pernah menyadari kemampuan luar biasa Mar Kempong. Continue reading “Mar Kempong dan Kuas Gambarnya”
Bersikap Adil Kepada Ahok: Perspektif Komparatif
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S Al Mumtahanah (60): 8)
Penistaan dan penghinaan terhadap agama, khususnya Islam di Indonesia, mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Mulai yang bersifat keras dan tegas menista di awal tahun 1900an bergeser menjadi multi-interpretasi di tahun-tahun belakangan. Tulisan ini mengurai beberapa kasus penistaan agama Islam dan melihat konsekuensi politik terhadap Ahok.
Saya tidak memasukkan seluruh kasus penistaan terhadap Islam. Beberapa kasus membuat saya tak sanggup menuliskannya. Bahkan dalam proses menulis ini pun, beberapa kali saya berhenti sambil menata hati. Sebabnya sederhana, saya tak rela Agama dan terutama Nabi Muhammad ﷺ dihina sedemikian rupa. Beberapa sengaja tidak saya terjemahkan karena saya tak sampai hati melakukannya. Saya juga tidak bermaksud menyebarluaskan kebencian dan penodaan. Semoga Allah yang Maha Kuasa mengampuni dosa-dosa saya.
Muhammad Cheng Ho (2015) mencatat, salah satu penistaan Islam tertua dilakukan tahun 1915 dalam surat kabar Djawi Hiswara terbitan 11 Januari. Dalam Disertasi Takashi Shiraishi, yang kemudian diterjemahkan menjadi buku Jaman Bergerak, dalam sebuah naskah berjudul,“Pertjacapan antara Marto dan Djojo” tertulis sebuah kalimat,”Highness the Prophet (Goesti Kandjeng Nabi Rasoel) drank A.V.H. gin, drank opium, sometimes also liked to smoke opium”(Shiraishi, 1986, p. 188). Kalimat ini berasal dari “Suluk Gatoloco” yang anti-Islam dan anti-Arab yang terbit di akhir 1800an. Sebagai bentuk respon dan protes bagaimana colonial tidak memperdulikan Islam, Tjokroaminoto menginisisasi terbentuknya Tentara Kandjeng Nabi Muhammad (TKNM) di Surabaya yang bertujuan untuk “to defend the honor of Islam, The Prophet and Muslims.” Demonstrasi yang dilakukan TKNM 42 tempat di Jawa dan Sumatra mampu mendatangkan massa yang banyak. Cabang TKNM dibuka di beberapa kota di Jawa termasuk Yogyakarta dan Semarang.
Kedua, pada tahun 1930, Majalah Soeara Ooemum yang diterbitkan oleh Studieclub Indonesia menghina proses ibadah haji. Dalam tulisannya Ho, mengutip dari Ajip Rosidi, “Penulis mempertanyakan manfaat naik haji, menganggap orang-orang yang dibuang ke Digul karena membela bangsa, lebih mulia dari orang-orang yang naik haji karena hanya “menyembah berhala Arab”, serta menganjurkan orang Islam untuk pergi ke Demak saja daripada ke Makkah.” Sampai dengan awal abad ke-20, bahkan masih dipercaya oleh beberapa kalangan sampai sekarang, mengunjungi Demak yang merupakan tempat dan kerajaan pertama di Jawa yang memeluk Islam, sama saja dengan beribadah haji ke Mekkah (Graaf & Pigeaud, 1989). Haji di masa itu, dibatasi oleh pemerintah colonial, karena para ulama yang kembali dari Mekkah (yang disertai belajar agama selama beberapa tahun), dicurigai akan memberikan perlawanan ke pemerintah colonial.
Ketiga, pada masa Orde Lama, di tahun 1962, segerombolan masa PKI dan Gerwani menyerbu masjid Kembangkuning Surabaya. Konflik terjadi antara NU-PKI yang ingin menjadikan masjid sebagai markas Gerwani. Konflik terhenti setelah ada proses pengadilan terhadap beberapa oknum PKI. Tetapi, ketegangan terus memanas karena PKI mementaskan beberapa kesenian traditional seperti ludruk dan wayang yang bertema anti keTuhanan (Sumber disini).
Keempat, semasa awal Orde Baru tahun 1967, beberapa gereja di Makassar dibakar karena perkataan seorang guru, HK Mangunbahan. Dalam desertasi Mujiburrahman yang bisa didownload gratis (lihat bawah), dia merulis, “H.K. Mangunbahan, a Christian religious teacher at the Economic High School, Makassar, who said to his students that Muhammad was a stupid person because he was illiterate, and that Muhammad only married his nine wives and lived in adultery with other women” (Mujiburrahman, 2006, p. 38). Berikutnya, Mujiburrahman menulis: “On the day of 1 October, the Muslim high school student organization, PII, gathered in front of a Muhammadiyah health centre in Makassar where they made a declaration stating that they were ready to die as martyrs to defend Islam. Moreover, on the same day, through the HMI radio stations, the HMI leader, Jusuf Kalla (who later, in 2004, was to become Indonesia’s vice-president), instructed all members of HMI and other Muslim organizations to come to nearby mosques at 8 p.m. After the evening prayer (‘ishā’), the Muslims started attacking the Christian buildings, and the loud-speakers of the mosques shouting out “Allahu Akbar, defend your religion, be a martyr!” The Christian buildings attacked in the incidents were 9 Protestant churches, 4 Catholic churches, 1 nuns’ dormitory, 1 Academy of Theology, 1 office of the Catholic student organization, PMKRI, and 2 Catholic schools.”
Kasus yang paling menonjol selama Orde Baru adalah angket yang dibuat Majalah Monitor yang menjadi salah satu bagian dari grup Kompas-Gramedia Oktober 1990. Majalah tersebut memberikan hadiah 5 juta rupiah yang diundi dari pembaca yang mengirimkan “Tokoh yang paling dikagumi beserta alasannya.” Dari 33.963 lembar kartu pos yang masuk, Nabi Muhammad ﷺ berada di urutan kesebelas. Tentu saja, di tengah kuatnya cengkeraman Orde Baru, nama Rasullullah berdasarkan angket kalah dari Presiden Soeharto (5.003 responden), BJ Habibie (2.975), Soekarno (2.662), Iwan Fals (2.431), KH Zainuddin MZ (1.633), Jenderal Try Sutrisno (1.447), Saddam Hussein (847), Ny Hardiyanti Indra Rukmana (800), Menpen H Harmoko (797) dan Arswendo Atmowiloto (663) (sumber disini). Protes keras muncul, Majalah dibredel dan Arswendo, Pemimpin Redaksi dipecat dari perkumpulan wartawan dan dihukum lima tahun bui.
Ada banyak kasus penistaan agama di jaman reformasi, mulai dari sampul kaset Iwan Fals dan Ahmad Dhani sampai kasus Wattimury Peter. Peter adalah pensiunan yang merasa terganggu oleh suara sound system masjid ketika sholat Idul Fitri 2013. Dia protes karena berisik. Oleh Rumah Sakit Pertamina, Petrus dinyatakan orang gila (lihat disini). Pun demikian, dia tetap divonis tiga tahun penjara (lihat disini).
Bagaimana dengan Ahok?
Sebaiknya lihat dulu videonya berikut ini. Ada video full (1 jam 48 menit), ada yang dipotong dan ada yang dipotong pendek sekali. Semakin lama melihat video, semakin faham konteks. Ahok, seperti pejabat pada umumnya, berbicara kemana-mana dan tidak fokus ke program perikanan budidaya yang menjadi tema dasar diskusi. Continue reading “Bersikap Adil Kepada Ahok: Perspektif Komparatif”
Penggarap Tanah PA
Kedaulatan Rakyat, Analisis, 13 Oktober 2016
SEJAK Kemerdekaan (atau mungkin sejak didirikan), dalam catatan saya, belum pernah terjadi rakyat menggeruduk berdemonstrasi ke Pura Pakualaman Yogyakarta, apapun sebabnya. Urusan tanah yang menjadi sumber ekonomi dan politik, selalu menjadi persoalan penting seluruh kerajaan. Walaupun sebagian orasi demo disampaikan dalam bahasa Jawa Krama, spanduk bernada keras dan belum pernah terjadi dalam tradisi protes terhadap institusi tradisional dalam masyarakat Jawa. Yang menilai segala sesuatu menggunakan rasa.
Protes paling keras yang secara tradisional dikenal hanyalah tapa pepe, berjemur bertelanjang dada di antara beringin kurung meminta keadilan Sultan. Sehingga, protes besar 15 September lalu yang salah satu spanduknya antara lain berbunyi “Paku Alam Jangan Pelit“, perlu disikapi dalam konteks masyarakat yang berubah.
Institusi tradisional seperti Pura Pakualaman dan Kasultanan Yogyakarta berbeda dengan pemerintah dan institusi modern lainnya. Keduanya ditegakkan dan didirikan dengan mekanisme patron-client yang dihubungkan melalui tanah. Raja sebagai patron, mendapatkan kesetiaan dan dukungan dari rakyat sebagai client yang hidupnya bergantung pada tanah sebagai sumber ekonomi masyarakat agraris.
Secara berkala setiap tahun, Raja menerima ungkapan terima kasih berupa hasil bumi dan ternak yang jumlahnya selalu kurang dari keuntungan yang diterima penggarap. Rakyat merasa dirinya harus ikut nyengkuyung sang Raja lewat momen penting seperti Grebeg, Jumenengan dan Mubeng Beteng. Hal ini berbeda 180 derajat dengan konsep negara modern dimana hubungan dibangun dengan logika impersonal yang menempatkan setiap orang sama, setara dengan perlakuan yang sama.
Karenanya, hubungan yang terjadi antara Panitia Ganti Rugi Bandara dengan pemilik dan penggarap tanah adalah hubungan putus. Hubungan itu selesai ketika masing-masing pihak merasa sudah mendapatkan dan memberikan rupiah yang disepakati. Tidak ada rasa ewuh pakewuh yang bermain, semuanya sudah digantikan melalui nominal transfer. Bagi yang tidak puas, ngganjel atau mangkel, silakan menempuh keadilan di pengadilan.
Kompensasi transaksional tidak serta merta bisa diterapkan dalam mekanisme ganti rugi penggarap tanah PA. Di satu sisi, pihak PA tidak akan rela dengan mekanisme ganti putus karena akan kehilangan basis pendukungnya, meskipun sebagian besar akan menempati tanah magersari sebagai tempat tinggal pengganti. Di sisi lain, petani penggarap merasa butuh rupiah karena kehilangan mata pencaharian yang dalam kondisi masyarakat yang semakin konsumtif, semakin besar tentu semakin baik. Selain itu, ganti rugi yang diterima Pakualaman juga meningkat karena tanah itu sudah diolah menjadi tanah produktif. Terlepas apakah petani penggarap pernah meminta izin atau menyerahkan bagian panen ke Pura yang mereka yakini sebagi pemilik tanah. Continue reading “Penggarap Tanah PA”
Dimas Kanjeng Abal Abal
Pada 11 Januari 2016, Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang sekarang ini merajai berita nasional karena kasus penggandaan uang dan pembunuhan, dinobatkan sebagai Raja Anom. Gelar yang dipilih adalah “Sri Raja Prabu Rajasa Negara” yang mengigatkan kita pada gelar-gelar jaman Majapahit. Salah satu istrinya, diberi kedudukan permaisuri dengan gelar “Nyi Ageng Rahmawati” yang dekat dengan gelar kebangsawanan di Banten. Tulisan ini akan mengupas tentang kedudukan Taat Pribadi sebagai raja abal-abal, seabal-abal demonstrasi penggandaan dan pengadaan uang yang dilakukannya.
Sejak reformasi, bermunculan puluhan bahkan ratusan orang yang mengaku-aku sebagai raja dan sultan di seluruh Indonesia. Jumlahnya semakin lama semakin banyak. Sebagian besar dari mereka kemudian bergabung dalam organisasi-organisasi raja dan sultan yang sengaja mereka dirikan untuk memperkuat legitimasi para pengaku-aku bangsawan ini.
Pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Konstitusi kita mengatur bahwa setiap orang punya hak untuk berkumpul, berorganisasi dan menyampaikan pendapat. Mereka juga menempuh jalur hukum sehingga mendapatkan akta notaris dan pengesahan dari instansi pemerintah yang menaungi organisasi kemasyarakatan. Pemerintah juga tidak bisa melarang jika ada warga negaranya yang menjahitkan baju warna-warni dan sedikit norak, membuat beberapa pin besar-besar yang terbuat dari emas atau kuningan yang di beberapa sisinya dipenuhi batu zirconia, dan kemudian mengaku sebagai Raja Madangkara misalnya. Sekali lagi, itu adalah ekspresi individual dan kebebasan konstitusional yang diatur undang-undang. Tapi sebenarnya, berapa jumlah kerajaan yang memiliki perjanjian panjang (lange contraact) dan pendek (korte verklaring) dengan Belanda sebelum Jepang datang?
Dokumen Belanda (Staatblad) mengatur terdapat 14 kerajaan/kesultanan di Indonesia yang memiliki kontrak panjang dengan Belanda dan 268 yang memiliki kontrak pendek. Di Jawa terdapat empat kesultanan yang berada di Yogyakarta dan Surakarta. Cirebon sudah menjadi bagian dari pemerintahan langsung (direct-rule) sejak diambil alih Inggris. Probolinggo, tentu saja tidak ada. Beberapa bagian di Jawa Timur adalah bagian dari Kasunanan Surakarta dan pemerintahan langsung. Selain kontrak panjang, ke 268 kontrak pendek yang diatur melalui Staatblad 1919/822 lebih banyak terdiri dari kepala-kepala desa maryoritas berada di wilayah Timur. Para kepala adat setingkat desa ini, misalnya di Maluku, Tapanuli dan Flores, juga disebut sebagai “Raja”.
Asosiasi Keraton Kesultanan Indonesia (AKKI) yang menobatkan Taat Pribadi menjadi Raja Anom mengklaim memiliki 147 anggota yang tidak terdaftar dalam Staatblad Belanda 1919. Continue reading “Dimas Kanjeng Abal Abal”
ANU Indonesian Update 2016: Political Update Discussion
Kalender Sultan Agungan
Kedaulatan Rakyat, Opini, 28 Juli 2016
Manusia selalu mendefinisikan dirinya melalui waktu. Oleh karena itu, setiap peradaban besar selalu memiliki hitungan waktunya sendiri. Hitungan waktu dibagi berdasarkan dua prinsip utama yaitu berputarnya bulan dan berputarnya matahari. Dari hitungan tersebut, dibuatlah kelender.
Kalender nasional yang dipakai kita saat ini misalnya, merupakan kalender Gregorian yang diperkenalkan Paus Gregory XII tahun 1582 setelah mengoreksi kalender Julian. Kalender ini menggunakan hitungan matahari. Kalender berdasarkan bulan ditemukan jejaknya pertama kali ditemukan di coretan gua di Lascaux, Perancis yang dibuat sekitar 15,000 tahun lalu. Hitungan bulan secara tradisional digunakan di mayoritas negara di Asia termasuk, China, India, Jepang, Korea, Thailand dll.
Saat Islam mulai kuat di Madinah, dibuatlah kalender Islam yang menggunakan hitungan bulan. Hitungan kalender Islam tidak dimulai dari kelahiran Nabi Muhammad SAW tetapi dimulai dari hijrah beliau dari Mekkah ke Madinah. Metode dan konsep kalender Islam mirip dengan kalender bulan lainnya, hanya penamaannya didasarkan pada budaya dan tradisi Arab ketika itu.
Orang Jawa selalu tertarik dengan waktu. Orang Jawa percaya bahwa perputaran semesta mempengaruhi kehidupan di dunia. Sehingga, sebelum Islam masuk di sekitar abad ke 14, orang Jawa sudah mengadopsi kalender Hindu dan Buddha sekaligus, termasuk segala mistisisme dan kemisteriusan di dalamnya.
Adaptasi Islam di Jawa tidak seperti terjadi di pesisir yang relatif menerima apa adanya. Di Jawa pedalaman misalnya di Mataram yang jejaknya masih ditemukan di Kasultanan Yogyakarta bergabung tiga elemen sekaligus, yaitu Islam, Hindu dan kepercayaan lokal (Woodward 1989). Penanda pokok dari kombinasi ini bisa ditemukan di arsitektur masjid (Aryanti 2013).
Penanda Islam-Keraton, sekaligus justifikasi kebudayaan Jawa terletak pada Kelender yang diciptakan oleh Sultan Agung pada 1633 M. Menurut sejarawan Merle Ricklef dalam tulisannya di Jurnal History Today (1999), Kalender Sultan Agungan merupakan salah satu kalender paling rumit di seluruh dunia. Continue reading “Kalender Sultan Agungan”