Ponari

Di Jombang, gara-gara menemukan batu berbentuk belut setelah hampir disambar petir, Dukun tiban Ponari (9 tahun) setiap harinya dikunjungi ribuan orang untuk berobat. Pada hari Minggu 8/2/2009, “pasien” Ponari diperkiran mencapai 30 ribu orang. Hitungan ini didasarkan pada kupon antrian yang dibagikan. Sudah ada empat orang meninggal di lokasi. Saya tergelitik untuk menulis kasus Ponari berkaitan dengan mindset bangsa Indonesia saat ini, terutama berkaitan dengan decision making processes. Jangan-jangan, kita sering salah melangkah karena asumsi dan ekspektasi kita yang keliru dalam melihat sebuah fenomena.

Jika anda sering menonton pertandingan sepakbola Liga Indonesia, anda bisa membayangkan betapa banyaknya angka 30 ribu itu. Dua minggu yang lalu, saya menonton acara Inagurasi Australian of the Year yang diisi antara lain oleh pidato PM Kevin Rudd dan pementasan musik, sehari sebelum Australia Day. Penonton diperkirakan 30 ribu orang. Luar biasa banyaknya angka itu. Dalam hajatan terpenting di Australia ini, “hanya” 30 ribu orang yang hadir. Saya tidak bisa membayangkan jika jumlah itu terkumpul setiap hari.

Sekian banyak orang, berkerumun setiap hari di rumah desa milik orang tua Ponari, tentu bukan kategori Berita Tidak Penting seperti yang ada di posting terdahulu. Politik angka menjadi penting, mengingat angka tersebut bukan hasil dari sebuah rekayasa, tapi hadir dalam sebuah keadaan sadar dan tanpa mobilisasi. Hal ini menunjukkan mindset bangsa Indonesia sekarang ini. Khususnya di bidang kesehatan.

Pembangunan bidang kesehatan menjadi isu penting di seluruh Indonesia. Saya berani menjamin, propaganda para Caleg yang pasti selalu didengungkan adalah penyediaan dan pembenahan di sektor kesehatan. Memajukan Pendidikan dan Kesehatan merupakan dua hal penting yang menjadi tonggak bangsa ini untuk maju. Keduanya merupakan basic public services yang harus dipenuhi pemerintah. Ini asumsi dasar kita orang-orang “rasional”.

Jangan-jangan pengambil kebijakan salah menentukan asumsi. Ternyata, yang dibutuhkan oleh masyarakat Jombang dan Jawa Timur bukanlah modernisasi Puskesmas, dengan menambah unit laboratorium, dokter berpengalaman dan ruangan rawat inap. Yang dibutuhkan ternyata hanya sekedar sebuah sugesti. Kasus Ponari menempeleng pengambil kebijakan khususnya di sektor kesehatan. Masyarakat tidak percaya pada instutusi kesehatan yang dengan susah payah dibangun dengan dana tidak sedikit.

Continue reading “Ponari”

Dunia itu Rata

Iseng-iseng masuk ke situs academicearth.org, ada video kuliah tamu Thomas L Friedman di MIT. Setelah menontonnya, saya langsung membaca bukunya The World is Flat, A Brief History of the Twenty-first Century. Kebetulan, saya tertarik dengan sejarah. Seperti biasa, tidak semua 400 an dibaca, tetapi intisari nya akan dipaparkan dibawah ini.

Friedman, journalist di New York Times tiga kali Pulitzer di tangannya, membagi tiga fase Globalisasi. Globalisasi 1.0 dimulai ketika Columbus membuang sauh (1492) dan selesai sekitar tahun 1800. Globalisasi ini membuat dunia yang tadinya terasa “lebar” menjadi “medium”. Era globalisasi ini dimotori oleh negara dengan semangat imperialisme dan agama atau keduanya. Artinya, seseorang “meng-global” tidak atas keinginan sendiri, tetapi didorong dan difasilitasi oleh negara dengan dua motif di atas tadi.

Globalisasi 2.0, dimulai tahun 1800 dan berakhir tahun 2000, merubah dunia yang tadinya medium menjadi small. Aktor utama Globalisasi 2.0 adalah multinational company. Jika lebih diperinci, Globalisasi 2.0 dimulai dengan perdagangan (atau penguasaan) perusahaan Belanda (VOC) dan revolusi industri. Penemuan kereta, telekomunikasi dan era awal internet menjadi faktor penting Globalisasi 2.0.

Globalisasi 3.0 dimulai sejak tahun 2000 sampai saat ini yang merubah dunia yang sudah small, menjadi tiny. Bentangan jarak ribuan kilometer tidak terasa lagi. Lebih mengesankan, aktor di Globalisasi 3.0 adalah individual. Setiap orang menjadi aktor di Globalisasi 3.0 dan bersaing dengan individu lain di seluruh dunia, lewat jaringan yang semakin canggih.

Continue reading “Dunia itu Rata”

Canberra Warming

Masya Allah. Sudah seminggu ini kami kepanasan. Suhu di Canberra siang hari sekitar 38 derajat C, di malam hari turun menjadi 19 derajat C. Tidak seperti musim panas tahun lalu, tahun ini musim panas memang terasa menyengat. Di Melbourne, suhu sempat menyentuh 43,2 derajat C. Akibatnya, beberapa perjalanan kereta yang melintasi Flinders Station, salah satu stasiun tersibuk, dihentikan karena relnya melting. Begitu juga dengan jaringan Trem.

Seperti sudah saya tulis di posting tentang Daylight Saving, musim panas memiliki sinar matahari yang jauh lebih lama, kira-kira tenggelam jam 9 malam.  Kemarin, kami sekeluarga sempat berkeliling di beberapa toko electronik besar untuk mencari cooler, pendingin udara yang memanfaatkan air. Tapi di seluruh toko tersebut cooler SOLD OUT, diborong Canberrans yang lebih dulu sadar akan “bahaya” panas matahari tahun ini.

Seberapa panaskah suhu 38 derajat itu? beberapa indikasi berikut bisa dijadikan pertanda.

1. Kipas angin tidak berfungsi mengingat angin yang dihembuskan tetap saja “angin panas”. Semakin kencang kipas diputar, semakin pedih muka menerima tamparan hawa panas.

2. Kasur, kursi dan seluruh perkakas empuk-empuk lainnya, walaupun tetap berada di dalam rumah, terasa seperti habis dijemur di bawah terik matahari selama 6 jam. Hawa angetnya, masih terasa di punggung.

3. Jika diparkir lebih dari 1 jam, perlu waktu agak lama untuk bisa langsung menyetir. Tuas setir terasa menyengat di tangan begitu kita menggenggamnya.

4. Margarine roti yang lupa tidak dimasukkan ke kulkas, meleleh seperti jika akan dipakai untuk menggoreng.

5. Hanya butuh satu jam untuk baju menjadi kering setelah diputar di mesin cuci, hanya dengan ditaruh di teras yang teduh.

Huih, Masya Allah, akhirnya, duel Nadal-Federer harus ditonton dengan berkali-kali meneguk air es dari kulkas. Untung masih punya Kulkas , kalau nggak……

Donor Darah di Australia

Donor Darah dimanapun di seluruh dunia intinya kurang lebih sama. Lengan ditusuk dengan jarum suntik yang lubang tengahnya terlihat karena saking besarnya, diambil darahnya 300 cc, diambil sampel darah dan diberi makanan ringan. Jika anda senang donor darah atau seorang penggiat PMI, atau sekedar iseng kesasar di blog ini, pengalaman donor darah di Australia, tepatnya di Canberra berikut ini mungkin bisa menjadi renungan.

Saya pertama kali melihat kemungkinan mendapatkan pengalaman donor darah di Australia melalui mobil keliling yang mampir di parkiran tempat belanja. Setelah itu saya kunjungi situs donateblood.com.au karena pasti disini semua informasi tersedia. Betul saja, disitus itu saya harus mendaftar online dan mereka berjanji akan menghubungi secepatnya. Di dalam situs, juga terdapat info tentang donor plasma.

Dua hari berselang, pihak Red Cross menghubungi dan menanyakan detail tentang beberapa hal yang saya tulis di form, termasuk agenda the first blood donate dan prosedur yang harus diikuti. Saking hati-hatinya, tiga hari kemudian Red Cross kembali menelpon saya dan menanyakan apakah saya sudah dikontak mereka. Saya jawab, saya sudah dikontak dan memiliki agenda untuk donor. Red Cross minta maaf telah mengganggu kenyamanan saya.

Continue reading “Donor Darah di Australia”

Bendera Dewa

Liburan begini, setelah berita politik tuntas, iseng-iseng masuk di bagian selebriti. Ahmad Dhani dilaporkan Roy Suryo ke polisi karena dianggap menghina bendera merah putih di klip Dewa Perempuan Paling Cantik di Negeriku Indonesia. Saya sempatkan menulis tentang bendera dan nasionalisme, karena masalah ini menyangkut Dewa, grup favorit ketika SMA dan Ahmad Dhani adalah pentolannya.

Bendera, bagi orang Indonesia sangat penting artinya. Bendera bukan sekedar symbol. Ia bagai jimat yang harus selalu dirawat dan dijaga. Setiap senin, selama setidaknya 12 tahun, kita harus menghormat ke bendera merah putih yang diarak ke tiang dalam sebuah momen inti di Upacara Bendera. Sedikitnya 624 kali (belum termasuk hari kenegaraan dan acara diluar sekolah) kita menghormat kepada bendera dengan sikap hormat yang sudah ditentukan. Sikap ini, direproduksi terus menerus hingga bendera bukanlah kain 2 x 3 yang berwarna merah dan putih. Kain ini menjadi begitu sakral sehingga seolah-olah nasionalisme bisa ditentukan dengan cara kita memperlakukan bendera.

Ketika SMA dulu, saya ikut seleksi menjadi Bantara, sebuah tingkatan dalam Pramuka Penegak. Di SMA saya posisi bantara sungguh prestisius. Bagaimana tidak, setiap Jumat sore, hanya para Bantara lah yang mendapatkan priviledge mengajarkan ilmu kepramukaan kepada seluruh siswa kelas 1 selama 3.5 jam dan Pramuka ini sifatnya wajib. Walaupun masih ada Pembina di ruang Guru, para Bantara mendapatkan kebebasan luar biasa selama 3.5 jam itu. Bantara mendesain kurikulum selama setahun, menentukan prioritas pengajaran, menentukan pengajar diantara bantara sendiri, membuat buku panduan, menciptakan metode dls. Kegiatan ini diakhiri dengan camping 3 hari 4 malam yang juga didesain dan dilaksanakan Bantara. Di sela-sela semua kegiatan ini, masih ada kesempatan lirak lirik adik-adik kelas. Karena banyak hal yang bisa dipelajari ketika menjadi bantara, seleksinyapun sedemikian berat, ketat dan lama.

Continue reading “Bendera Dewa”

Berita tidak penting

Anda pernah membaca berita yang dikategorikan tidak penting? Saya yakin sudah. Berita tidak penting ini misalnya berita tentang gantung diri siswi SMU kelas 2 di Bandung yang menunggak 80 ribu untuk biaya sekolah swasta dan hutang 135 ribu ke tetangga. Masak sih ini berita tidak penting?

Nah disinilah masalahnya. Menurut saya ini berita penting. Berita ini mampu mengekspresikan secara nyata kondisi Indonesia. Berita remeh-remeh ini menunjukkan tingkat keberadaban kita sebagai suatu bangsa.

Terdapat dua cara melihat kondisi riil sebuah negara. Cara pertama dengan membaca berita “penting”yang berkaitan dengan bagaimana manajemen negara dijalankan. Berita-berita “penting”menghiasi halaman depan koran, dikirim banyak orang di kolom opini dan menjadi analisis berbulan-bulan kemudian. Misalnya berita carut marut pelayanan masyarakat yang tak kunjung usai, sistem pemilu yang tidak stabil setelah sepuluh tahun reformasi, korupsi (termasuk di dalamnya bribery), penegakan hukum yang tidak selesai, juga operasi preman yang belakangan marak.

Continue reading “Berita tidak penting”

Memilih itu Hak

Kompas Jateng, 14 November 2008

Makna golput yang lahir atas reaksi terhadap praktik politik Golkar 37 tahun silam tidak dapat dipahami sama dengan golput masa kini.

Selain itu, apabila memilih ketika pemilu dianggap sebagai hak warga negara, memilih untuk tidak memilih pun harus dipahami dalam rangka penyaluran hak tersebut.

Pada masa lalu, golput yang dideklarasikan Arief Budiman dkk diungkapkan sebagai wujud perlawanan terhadap sistem politik yang tidak memberi ruang demokratis untuk memilih. Hal ini berimbas kepada terbangunnya pemerintahan yang tidak demokratis. Pada saat ini, dengan tingkat demokrasi Indonesia sebagai salah satu yang terbaik di Asia, hampir tidak ada alasan untuk memilih golput sebagai reaksi terhadap proses pemilihan. Golput lebih disebabkan karena kekecewaan terhadap elite politik yang dihasilkan dalam pemilu.

Harus dipahami, mencoblos dalam pemilu bukan satu-satunya sarana untuk menyampaikan aspirasi politik dan tidak menunjukkan tingkat budaya politik. Kesadaran politik masyarakat Indonesia sekarang ini sangat tinggi dan cepat tanggap dalam melihat fenomena politik. Tidak sedikit pejabat daerah yang turun dari jabatannya karena gesitnya masyarakat mengawasi roda pemerintahan. Tingginya kesadaran politik inilah yang menciptakan transformasi luar biasa politik Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Budaya politik Indonesia meloncat dari yang tadinya Parokial (tidak peduli) menjadi Subject (pelaku) (Larry Diamond, 1993). Artinya semakin tinggi tingkat golput tidak berarti semakin rendah budaya politik.

Continue reading “Memilih itu Hak”

Made in Indonesia

Seberapa pentingkah penduduk Indonesia membeli produk dalam negeri? Bagaimanakah implikasi pilihan konsumen Indonesia terhadap pilihan konsumsinya?

Banyak yang tidak menyadari dan menganggap produk luar negeri selalu lebih bagus daripada produk bikinan bangsa sendiri. Hal ini tidak sepenuhnya benar, malah lebih sering menjerumuskan. Sejak puluhan tahun silam, program Aku Cinta Indonesia (ACI) yang salah satunya mempromosikan produk Indonesia telah dikampanyekan, tapi sepertinya hasilnya belum menggema. Padahal kita telah punya SNI (Standar National Indonesia) guna memastikan produk ini telah melewati serangkaian uji coba dan terbukti layak dikonsumsi. Kecintaan produk Indonesia masih kurang, padahal di luar negeri, produk kita diakui.

Ketika berwindow shopping melihat barang bekas dijual kembali di Village des Valeurs di Montreal, saya bertemu dengan Canadian yang tidak begitu fasih berbahasa Inggris, dan hanya lancar berbahasa Perancis. Dia bertanya waktu itu,

“Where are you come from?”

“Indonesia” I said.

Diluar dugaan, dia lalu mendemonstrasikan dengan bahasa tarzan dan jari menunjuk ke kakinya kemudian mengacungkan jempol sambil berkata “good and strong.” Dari pertemuan singkat itu saya tahu, dia menyukai sepatu buatan Indonesia karena bagus dan kuat. Bayangkan, sepatu bekasnyapun masih diakui kehebatannya, apalagi kalau baru?

Continue reading “Made in Indonesia”

Gaji Guru, Dosen dan Ibu

Seiring dengan dinaikkannya prosentase anggaran pendidikan di APBN 2009 menjadi 224 trilyun Rupiah, hampir bisa dipastikan gaji guru dan dosen PNS akan naik. Di dalam berita-berita, harus diakui, gaji guru lebih banyak mendapat perhatian dibandingkan dengan dengan gaji dosen. Disamping jumlahnya yang jauh lebih banyak, guru memberikan pengajaran kepada setidaknya empat jenjang pendidikan dengan jumlah siswa yang banyak sekali, mulai TK hingga SMA. Sedangkan dosen “hanya” mengajar mahasiswa yang lebih terseleksi, baik secara kapasitas dan terutama financial. Semakin lama, lulusan SMA yang bisa kuliah lebih terseleksi secara ekonomi daripada kemampuan akademisnya. Setidaknya itu yang saya amati dalam 10 tahun terakhir. Oleh karena itu,  jika nasib guru lebih ramai diperbincangkan, hal ini sangat-sangat masuk akal. Di sisi lainnya, muncul banyak komentar berkaitan dengan profesionalitas guru. Apakah kenaikan gaji mampu menjamin profesionalitas guru?

Kebetulan saya berada dalam dua dunia tersebut. Ibu saya adalah guru SD di pedesaan di Kabupaten Magelang. Walaupun kami selalu tinggal di rumah milik nenek di jantung Kota Magelang, Ibu dan Bapak (yang juga PNS dinas Perikanan Provinsi Jateng yang bertugas di Kab. Magelang) belum pernah bekerja di Kota Magelang. Artinya, setiap pagi, bapak harus bermotor mengantar ibu mengajar di Kecamatan Bandongan, 10 kilomater di sebelah barat Magelang dengan turunan dan tanjakan tajam melewati sungai Progo dan kemudian  menempuh 25 kilometer ke Kecamatan Mungkid  di sebelah utara Magelang tempat beliau bekerja. Ritual ke Bandongan tetap dilakukan hingga sekarang setelah bapak pensiun empat tahun lalu. Ini belum seberapa, dulu ibu harus berjalan kaki untuk mengajar dan berangkat jam 5 subuh, melewati jembatan bambu di atas sungai progo. Karena lebar sungai Progo yang lebih dari 70 meter, jembatan bambu selalu bergoyang ketika diseberangi, termasuk rintangan ketika banjir  dan jembatan putus. Tetapi lulusan-lulusan muda dari SPG (Sekolah Pendidikan Guru), tak pernah mengeluh mendidik siswa-siswanya. Dari ibulah, saya belajar tentang idealisme dan konsistensi.

Sepanjang yang saya tahu, ibu tidak pernah mengeluh tentang rendahnya gaji guru. Bagi beliau, kehidupan guru dengan gajinya tentu lebih baik daripada orang tua siswa-siswa didiknya. Begitu seringnya ibu bercerita tentang orang tua yang tak mampu membayar BP3. Begitu sering pula ibu mendatangi sendiri rumah-rumah orang tua yang sedang kesusahan itu dengan jawaban yang nyaris sama, bapaknya buruh tidak tetap dengan penghasilan yang tidak tetap pula, anaknya banyak dan istrinya di rumah mengurusi anak-anak yang banyak itu. Beberapa kali orang tua murid yang menyempatkan diri mampir ke rumah di sela-sela bekerja menjadi buruh bangunan, tukang becak atau kuli angkut di kota Magelang dan cerita mereka juga hampir seragam, mencari solusi bagaimana agar anak mereka dapat terus bersekolah dan adakah pihak yang dapat membantu pembayaran sekolah anaknya. Sejak kecil, saya akrab dengan air mata orang tua yang ingin anaknya tetap bersekolah, ketika takdir menyempitkan berbagai pilihan yang ada. Mereka bukan orang tua yang punya cita-cita “muluk-muluk” agar anaknya menjadi sarjana. Mereka hanya ingin anaknya lulus SD dan bisa membaca dan menulis, walaupun tidak terlalu lancar. Paling tidak, setingkat diatas bapaknya yang tidak lulus SD atau ibunya yang belum pernah membayangkan bagaimana rasanya bersekolah. Jika anggaran pendidikan tahun 2009 dipatok sampai 224.000.000.000.000 rupiah, hal ini seharusnya lebih banyak dialokasikan untuk mengurangi atau menghapuskan derita para orang tua tadi.

Continue reading “Gaji Guru, Dosen dan Ibu”

Reformasi KBRI

Sungguh teknologi dapat memudahkan banyak hal, termasuk membaca koran. Edisi electronic kompas di epaper.kompas.com dan tempo di epaper.korantempo.com bisa sedikit mengobati kerinduan tentang kondisi Indonesia, terutama kebiasaan di Jogja. Setiap pagi, hampir tanpa kecuali, saya selalu membaca kompas di teras rumah, lesehan dan ditemani rokok dan segelas teh manis. Kebiasaan ini hanya terganggu oleh hujan atau anak-anak. Saya harus membaca cepat karena teras yang menghadap ke timur menjadi panas dan terlalu terang jika matahari sudah beranjak naik. Satu -satunya yang agak kurang dari epaper ini adalah berita lokal Jogja.

Di halaman dua kompas edisi 15 September 2008, kolom pinggir yang nyempil di ujung kiri bawah, ada berita tentang Bekas Konjen di Kinabalu Malaysia, Johan Budi yang jadi tersangka korupsi. Sebelumnya, Dubes RI untuk Malaysia, Rusdihardjo dan Hadi Al Wayarabi telah dicekok lebih dulu. Modusnya sederhana, ada tarif tinggi yang harus dibayar WNI dan tarif bawah yang disetor ke Depkeu. Selisih dari keduanya dibagi-bagi diantara sesama diplomat. Membaca tulisan ini, saya tergelitik untuk menulis tentang KBRI Australia di Canberra yang sebenarnya sudah saya rencanakan sejak pertama kali datang di Canberra. Pertama kali datang, pertama kali kecewa.

Beberapa saat setalah datang, 1 Suro lalu, teman-teman penerima beasiswa ADS yang 90% PNS langsung memasukkan lapor diri ke KBRI sebagai agenda penting. Sekedar catatan,  jalan ke KBRI  tidak dilalui jalur bis dan agak ngoyoworo kalau jalan kaki. Untuk ke sana, harus diantar senior bermobil yang biasanya berombongan. Saya tidak ikut rombongan karena selain tidak muat, lapor ke KBRI juga bukan prioritas.

Ternyata, KBRI Australia memiliki aturan diskrimanasi untuk pemegang paspor biru (PNS/dinas) dan paspor hijau (bukan PNS). Pemegang paspor biru lapor gratis, sementara pemegang paspor hijau membayar sebesar  A$10 sebagai bagian dari Penghasilan Negara Bukan Pajak. Selain itu, pemegang paspor biru juga gratis menerjemahkan SIM A nya ke dalam bahasa Inggris. Untuk tujuan yang sama, pemegang paspor hijau harus membayar A$ 25.  Belum selesai disini, pembayaran tidak dapat dilakukan cash atau melalui EFTPOS (gesek debit/credit card) yang lazim di hampir semua toko di Canberra. Pembayarannya harus melalui Bank Draft yang bisa didapatkan di Bank atau di Kantor Pos. Biayanya pembuatannya A$ 5.  Selain harus antri di Bank dan Kantor Pos, apa tidak ada mekanisme lebih cerdas untuk mencari uang? Bayangkan, baru mendengar ceritanya saja, sudah kecewa dengan KBRI, apalagi kalau ke sana ????

Continue reading “Reformasi KBRI”

Berpuasa dengan Gembira

Malam ini Ramadhan telah tiba dan tawarih pertama baru saja selesai ditunaikan oleh beberapa gelintir muslim Canberra. Tidak ada penyambutan, tidak ada spanduk “marhaban ya Ramadhan” seperti yang biasa ditemukan di gang-gang dan masjid kampung. Di beberapa kampung yang walaupun memakai spanduk yang sama dari tahun ke tahun dengan hanya diganti angka tahunnya, tetap gempita menyambut Ramadhan. Siapa tahu ada malaikat yang kebetulan sedang ‘patroli’ dan memberikan berkah ke seluruh kampung. Di negeri ‘kafir’ ini, hanya ucapan persiapan di milis-milis dan SMS yang mengingatkan bahwa sekarang sedang diskon ampunan. Tapi itu sudah cukup dan tentu terlalu muluk untuk mengharap lebih.

 

Jumat kemarin saya mengobrol dengan seorang teman dari Mongolia. Temen saya in tidak habis pikir bagaimana mungkin manusia bisa tahan tidak makan dan minum selama 14 jam. Ini adalah kebingungan kedua setelah dia tahu sebelumnya bahwa muslim sholat 5 kali dalam sehari. Tak mau saya menambah kepusingannya dengan cerita ‘lobi’ Nabi Muhammad SAW dari kewajiban sholat 50 kali dan sholat tarawih di malam hari. Sentuhan dengan muslim-muslim Indonesia sepertinya merupakan  hal yang baru baginya. Hal ini dibuktikan dengan  ketidaktahuannya akan arti ‘fasting’, bahasa Inggris untuk berpuasa. Puasa baginya adalah ‘out of my mind’, ‘unimaginable’, dan ‘imposible’.

  Continue reading “Berpuasa dengan Gembira”

1945 atau 1949 ?

Teks ProklamasiDi bulan Agustus, setiap Indonesian akan sangat hapal tentang kapan Negara Indonesia berdiri. Jawabannya mudah, jelas dan pasti, 17 Agustus 1945. Jika tidak hapal jumlah bulu di ekor dan sayap Burung Garuda, paling tidak kita masih ingat angka tahunnya, 1945. Negara Indonesia ada sejak 1945. Ini harga mati.

Tapi persoalan merdeka dan menentukan nasib sebagai sebuah bangsa ternyata tidak cukup dengan klaim atau proklamasi. Dalam percaturan politik International, international recognition menjadi salah satu syarat penting berdirinya sebuah Negara baru, yang tidak cukup hanya mengandalkan syarat territory, people, rule of law dan pemerintah. Pengalaman paling mutahir tentang pentingnya campur tangan international ini dapat dilihat dari proses pembentukan negara-negara baru pecahan Yugoslavia dan Uni Sovyet. Lobi-lobi dilancarkan untuk memuluskan langkah menjadi sebuah Negara.

Continue reading “1945 atau 1949 ?”

Membersihkan Tempat Maksiat

Jangan dikira ini posting tentang ceramah para Kiayi, orasi politisi, apalagi Fatwa FPI. Ini hanya sekelumit kisah beburu rejeki di negeri Kangguru. Banyak mahasiswa Indonesia yang malu-malu untuk menulis tentang pengalaman bekerja part time nya, mungkin karena di Indonesia pekerjaan yang dilakukan hampir semua mahasiswa penerima beasiswa AusAid ini tergolong memalukaan, bahkan menghinakan. Tanpa supporting untuk family dari ADS sejak tiga tahun lalu, otomatis mahasiswa Indonesia yang membawa keluarga harus bekerja extra untuk mendapatkan kata “cukup”. Jujur sekedar cukup, dalam benak saya sampai saat ini tidak terbersit pikiran untuk membawa uang sekedar beberapa ratus dolar, seperti pengalaman dulu yang hanya menyisakan Cad$ 15 dari Canada dan istri yang tak lebih dari €300 setelah 15 bulan di Belanda. Sebagai ilustrasi, keluarga di Australia dikategorikan miskin jika berpenghasilan dua kali beasiswa ADS tiap minggunya. Berikut sekedar cerita tentang kisah anggota ICMI (Ikatan Cleaner Muda Indonesia).

 

Menjadi cleaner adalah pilihan favorit mahasiswa Indonesia untuk bekerja part time (3-4 jam per hari dengan maksimal 20 jam perminggu) di Canberra. Alasannya beragam, tapi pekerjaan ini memang sangat-sangat mudah didapatkan. Begitu ada teman atau kenalan yang sudah “terjebak” menjadi anggota ICMI, gampang sekali merekrut teman-teman lainnya. Hanya dalam hitungan beberapa minggu berkerja, yang bersangkutan sudah dapat mencarikan pekerjaan untuk teman-teman lainnya. Hal ini terjadi karena tingkat perputaran yang tinggi di cleaner. Beberapa teman sudah bosan ketika bekerja beberapa minggu, jarang ada yang bisa bertahan lebih dari 4 bulan, karena bisa jadi sudah bosan dan ingin ganti suasana. Tapi saya memilih pekerjaan cleaner ini dengan dua alasan. Pertama, pekerjaan ini hanya sedikit menggunakan kemampuan otak, lebih banyak otot. Jadi selama tulang-tulang dibanting, otak masih bisa digunakan untuk mengingat kuliah. Saya memilih mendengarkan rekaman kuliah lewat MP3. Kedua, pekerjaan ini menjadi pengganti olahraga yang mutakhir dan terbukti mampu menghilangkan timbunan lemak di perut dan dalam beberapa minggu, mampu membesarkan otot trisep dan bisep. Continue reading “Membersihkan Tempat Maksiat”

The Warmest June

 

The Canberra Times dua minggu lalu melaporkan bahwa suhu di Canberra pada bulan Juni 2008 adalah suhu bulan Juni terhangat selama 51 tahun terakhir sejak 1957. Biasanya bulan Juni-July adalah bulan-bulan yang dingin, tetapi tahun ini lebih “hangat”. Apakah ini semua akibat Global Warming? Saya tidak mau berspekulasi seperti para ahli cuaca, tapi yang jelas, ini adalah “the coldest June” buat saya.

 

Suhu yang berada di antara minus 4 sampai dengan 12 derajat celcius tentu bukan suhu yang bersahabat untuk orang Indonesia. Pada pagi hari, kaca depan mobil penuh dengan butiran es setebal beberapa milimeter. Jika sedang “dingin” dan diparkir di jalanan, seluruh bodi mobil tertutup lembaran es yang butuh beberapa menit untuk hilang. Setiap pagi pula, Sim C yang nyaris tidak berfungsi, bersalin rupa menjadi alat ampuh untuk mengikis lapisan es di windscreen. Inilah juga pertama kalinya saya tahu fungsi filament di bagian kaca belakang berikut panel defrost di sebelah kemudi yang berguna untuk melelehkan es dan embun yang menempel dan mengganggu jarak pandang ke belakang.

 

Continue reading “The Warmest June”