Tulisan singkat dengan format tanya jawab ini untuk melengkapi beberapa kutipan media yang muncul setelah saya mendiskusikan hasil temuan sementara dalam Academic Rountable berjudul “Politik Keistimewaan Yogyakarta: Harta, Tahta dan Perebutan Kuasa” (23/3/2015). Saya sangat mengapresiasi teman-teman wartawan yang sabar menunggu dan hadir dalam diskusi dengan posisi berdiri karena jumlah peserta yang membludak. Namun demikian, pemberitaan online memiliki keterbatasan untuk menyajikan berita yang lengkap, utuh dan panjang karena akan ditinggalkan pembacanya, sehingga perlu kiranya berita-berita tersebut disambung dalam sebuah rangkaian logika berpikir utuh di tulisan ini.
Namun demikian, sebagaimana dikutip di berbagai media, saya selalu menyampaikan bahwa Raperdais Pengisian Jabatan Gubernur tidak urgen dibandingkan dengan keempat Raperdais lainnya. Salah satu alasannya karena Sultan masih sehat, segar bugar sehingga membicarakan suksesi di keraton bisa dianggap “nggege mongso” dan tidak sopan.
Apa saja syarat menjadi Sultan Yogyakarta?
Ada beberapa syarat utama menjadi Raja Yogyakarta, salah satunya adalah anak dari Sultan sebelumnya. Syarat lainnya misalnya sehat jasmani dan rohani dan di dalam kasus Yogyakarta, Raja selalu dijabat laki-laki.
Ada berapa anak Sultan yang pernah bertahta?
Dalam buku “Serat Raja Putra Ngayogyakarta Hadiningrat” karangan KRT Mandoyokusumo (1980), Sultan HB IX memiliki 15 putra dan 7 orang putri sementara Sultan HB X memiliki 5 orang putri. Putri-putri dalem Sultan HB IX kecil kemungkinannya dipilih menjadi HB XI, karena itu kita bisa abaikan. Dari 15 putra Sultan HB IX, tiga orang sudah meninggal dunia yaitu alm. GBPH Hadikusumo, alm. GBPH Joyokusumo dan alm. BRM Kuslardiyanto. Jadi, ada 16 orang yang berpeluang menjadi pengganti Sultan HB X yaitu 11 laki-laki adik Sultan HB X dan 5 putri Sultan HB X (berdasarkan usia):
- KGPH Hadiwinoto (dari ibu Windyaningrum) –> Lurah Pangeran.
- GBPH Hadisuryo (dari ibu Pintokopurnomo)
- GBPH Prabukusumo (dari ibu Hastungkoro)
- GBPH Pakuningrat (dari ibu Ciptomurti)
- GBPH Yudhaningrat (dari ibu Hastungkoro)
- GBPH Chandraningrat (dari ibu Hastungkoro)
- GBPH Cakraningrat (dari ibu Ciptomurti)
- GBPH Suryodiningrat (dari ibu Ciptomurti)
- GBPH Suryometaram (dari ibu Ciptomurti)
- GBPH Hadinegoro (dari ibu Ciptomurti)
- GBPH Suryonegoro (dari ibu Ciptomurti)
- GKR Pembayun
- GKR Condrokirono
- GKR Maduretno
- GKR Hayu
- GKR Bendara
Apakah bisa diperkecil lagi kemungkinannya?
Bisa. Apabila tetap menggunakan garis laki-laki, kelima putri Sultan HB X akan hilang dari daftar, jadi tinggal sebelas adik Sultan.
Dari sebelas adik Sultan HB X, apakah bisa dikerucutkan lagi?
Bisa. Ada proses pengerucutan berdasarkan saudara kandung dan saudara tiri dan anak laki-laki tertua dari masing-masing istri. Dalam sejarah Mataram sejak Panembahan Senopati, ada kategori adik kandung dan adik tiri. Hal yang sama juga diadopsi dalam UU 13/2012 pada pasal 18 terkait daftar riwayat hidup yangmenekankan calon gubernur untuk mencantumkan “adik kandung” secara spesifik. Dari pengerucutan ini, muncul empat nama yang kebetulan berdasarkan usia empat tertua adik-adik sultan, yaitu:
- KGPH Hadiwinoto (dari ibu Windyaningrum, adik kandung HB X)
- GBPH Hadisuryo (dari ibu Pintokopurnomo, anak laki-laki tertua kedua, adik dari alm GBPH Hadikusumo)
- GBPH Prabukusumo (dari ibu Hastungkoro)
- GBPH Pakuningrat (dari ibu Ciptomurti)
Apa dasar memasukkan GKR Pembayun di dalam kemungkinan seperti yang dipresentasikan dalam diskusi?
Saat ini terjadi perubahan di lingkungan internal keraton yang dimulai oleh HB X, yaitu dengan memasukkan kelima putrinya dalam posisi-posisi strategis di keraton. Putri-putri Dalem menjadi wakil dari paman-pamannya. Ada kasus yang menarik ketika GBPH Joyokusumo meninggal dunia, posisinya sebagai Pengageng Kawedanan Ageng Panitrapura (semacam Setneg) digantikan GKR Condrokirono yang sebelumnya menjabat wakil. Dalam UUK Pasal 19 ayat (3) huruf a, Gubernur diajukan oleh Panitrapura, maka saya memasukkan GKR Pembayun karena besar kemungkinan dia didukung GKR Condrokirono yang secara politik menentukan bisa tidaknya seseorang diajukan sebagai Gubernur seandainya sampai akhir hayatnya Sultan HB X tidak menentukan pengganti. Jadi, walaupun secara garis keturunan laki-laki hanya adik laki-laki Sultan HB X yang berpeluang menjadi Sultan, melihat konstelasi politik di Keraton, GKR Pembayun memungkinkan untuk menjadi Sultan. Dengan kata lain, karena seluruh posisi di keraton diangkat dengan Dawuh Dalem dari Sultan, maka Sultan HB X telah menyiapkan infrastruktur yang memungkinkan perempuan menjadi Raja.
Bagaimana sebenarnya dengan Paugeran Keraton terkait Sultan Perempuan?
Paugeran atau tata aturan adalah hal yang selama ini PERNAH terjadi di keraton Yogyakarta. Ada dua pendapat: Pertama, kalau secara Paugeran yang selama ini digunakan mulai HB II sampai HB X, GKR Pembayun tidak dapat menjadi Sultan. Berdasarkan gelar, jangankan menjadi Sultan, menjadi Putra Mahkota pun tidak bisa karena gelar tertinggi bagi perempuan di dalam struktur keraton Yogyakarta adalah Gusti Kanjeng Ratu (GKR). Sama seperti KGPH Hadiwinoto, GKR Pembayun telah dua kali berganti nama dari Gusti Raden Ajeng (GRAj) waktu lahir lalu Gusti Raden Ayu (GRAy) setelah akil baligh lalu GKR setelah menikah, sementara KGPH Hadiwinoto naik dari Bendoro Raden Mas (BRM) ketik lahir, lalu ke GBPH (Gusti Bendoro Pangeran Haryo) setelah dewasa lalu ke KGPH (Kanjeng Gusti Pangeran Haryo). Sementara Putra Mahkota bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA). Seorang Putra Mahkota juga akan mendapatkan keris lurus tanpa luk yang disebut Keris Joko Piturun. “Joko” dalam bahasa Jawa identik dengan laki-laki. Pendapat yang pertama ini juga beranggapan bahwa Sultan memiliki hak prerogatif tetapi dia terbatas oleh Paugeran. Jika diibaratkan dengan negara, Sultan memiliki hak prerogatif tetapi tunduk pada “Undang Undang Dasar.” Menurut pendapat pertama, Sultan seorang laki-laki adalah “Undang Undang Dasar” Keraton. Kedua, bahwa Paugeran tertinggi di dalam Keraton adalah Dawuh Dalem atau perintah raja. Selama Sultan menghendaki terjadinya perubahan, maka akan dapat dilaksanakan. Struktur kuasa di keraton seperti kerucut dengan Sultan sebagai pucuk tertinggi kerucut tersebut. Sultan dan kasultanan juga dituntut untuk peka terhadap kondisi sosial yang terjadi sekarang ini dimana kesetaraan perempuan menjadi wacana yang umum di masyarakat. Di beberapa negara di Eropa, kerajaan mengenal “gender blind” dalam menentukan penerus. Selama yang bersangkutan adalah anak pertama, maka berhak atas tahta.
Apakah sebelum menjadi Sultan harus bergelar KGPAA atau Putra Mahkota?
Ya. Setidaknya ada dua cerita dalam seratus tahun terakhir. Pertama, empat hari sebelum HB VIII meninggal tahun 1939, ia menyerahkan keris Kanjeng Kyai Joko Piturun kepada BRM Dorojatun/GBPH Purbaya yang secara simbolik menunjukkan Dorojatun ditunjuk menjadi Putra Mahkota. Padahal ada yang berpangkat lebih tinggi yaitu Angabehi yang lebih tua dari Dorojatun. Daerah tempat tinggal Hangabehi sekarang disebut Ngabean. Kedua, Pada saat penobatan Sultan HB X tahun 1989, beliau masih bergelar KGPH. Dalam Jumenengan, beliau dinobatkan dulu menjadi KGPAA (Putra Mahkota) selama lima menit lalu dinobatkan menjadi Sultan. Beliau bisa disebut: Putra Mahkota Lima Menit. Lihat videonya disini. Dalam Jumenengan tersebut juga diselingi dengan secara simbolik adik-adik dan paman-pamannya mengeluarkan keris yang disimbolkan seluruh keluarga Kasultanan mendukung HB X yang diputuskan melalui musyawarah keluarga karena HB IX tidak pernah memilih penerus.
https://www.youtube.com/watch?v=FSkHg_RTCN8
Dari lima nama tersebut, apakah dapat dikerucutkan lagi?