Raja dan Presiden

Kedaulatan Rakyat, 7 Januari 2013

Download PDF disini

 

Sebentar lagi Indonesia akan mencari presiden baru. Seluruh elemen bangsa mencari-cari figur ideal untuk menggantikan SBY sehingga tahun 2013 adalah tahun yang panas yang membuat suhu politik mendidih. Jangan-jangan, rujukan pemimpin tak perlu jauh-jauh diambil dari kisah dimana konsep demokrasi dilahirkan. Rujukan itu ada di bangsa Indonesia, yang sudah dipraktekkan berabad-abad.

Konsep ketatanegaraan yang bersejarah panjang di Indonesia bisa ditemukan di kerajaan-kerajaan. Dalam dua abad terakhir, sejarah raja-raja Mataram Islam yang paling kuat diantara kerajaan lain di Nusantara yang bisa dijadikan rujukan. Kita bisa menyebutknya kekuasaan Jawa karena praktis, hanya kerajaan Mataram yang bertahan di tanah Jawa.

Konsep kekuasaan Jawa mengandalkan pada sandaran kekuasaan yang melekat pada Raja, sebagai figur pilihan Tuhan di muka bumi. Namun, kekuasaan absolut ini mensyaratkan raja yang betul-betul menunjukkan kapasitas individu sebagai sosok istimewa. Sejarah membuktikan kegagalan raja memegang amanat manusia pilihan yang bekerja melebihi manusia normal, membuatnya terjungkal dari kursi kekuasaan, Continue reading “Raja dan Presiden”

Gayus, Dhana dan Ajib

Kedaulatan Rakyat, Analisis, 10 Maret 2012

Kasus Ajib Hamdani, menarik perhatian untuk disimak. Walaupun diduga memiliki uang sampai dengan 17 milyar rupiah di rekeningnya, pembawaannya santai di depan media. Ada beberapa perbedaan kasus Ajib dengan kasus Dhana dan Gayus, biarpun ketiganya bekerja di Dirjen Pajak dan ditugaskan di Jakarta, lahan paling “basah” di Indonesia.

Pertama, baik Gayus maupun Dhana, keduanya ditangkap saat masih menjadi PNS aktif. Sedangkan Ajib menjadi berita justru karena pengajuan pengunduran dirinya sebagai PNS sejak 2009 tidak pernah mendapatkan kepastian. Ajib bahkan meminta jika kasus mafia pajak dibuka, oknum dibalik terhambatnya pengunduran dirinyalah yang pertama diperiksa.

Kedua, Ajib memanfaatkan media, baik media tulis melalui blog maupun media televisi untuk klarifikasi terhadap tuduhan kepadanya. Dalam tiga hari terakhir, ia sudah melakukan roadshow ke berbagai media elektronik nasional. Hal ini berbeda dengan Gayus dan Dhana yang cenderung menghindari media dengan cara sederhana, menutupi wajah dengan topi atau berlari di tengah kerumunan wartawan.

Ketiga, apabila kasus Gayus pertama kali disampaikan Susno dan ditindaklanjuti KPK, sementara Dhana ditahan Kejaksaan. Ajib justru dilaporkan Irjen Kemenkeu ke Mabes Polri. Artinya Ajib satu-satunya orang yang dilaporkan instansinya sendiri. Masalahnya, penyelidikan terhambat karena surat Mabes kepada Kemenkeu untuk meminta data tiga perusahaan belum dikabulkan sejak 8 Februari.

Keempat, walaupun ketiganya memiliki rekening fantastis, hanya Ajib yang berani melakukan pembuktian terbalik. Dalam safety box Gayus ditemukan emas dan uang senilai 74 milyar dan Dhana memiliki mobil mewah Bentley yang berharga milyaran. Sementara Ajib tak banyak mengkoleksi harta, luas rumah Ajib seluas 141 m².

Selama proses menunggu apakah status Ajib akan meningkat menjadi tersangka seperti dua orang seniornya di STAN, ada beberapa catatan kecil tentang pemberantasan korupsi. Dalam beberapa literatur korupsi, dapat dikategori dalam tiga pendekatan: individu, institusi dan budaya. Bagi pendukung liberal, korupsi adalah pilihan rasional setiap orang untuk melakukannya. Setiap orang akan memiliki perhitungan untung rugi sebelum melakukan korupsi. Seandainya keuntungan materialnya lebih besar daripada ancaman hukuman, seseorang akan korupsi. Sehingga perlu mekanisme hukuman yang berat agar seseorang tidak korupsi.

Continue reading “Gayus, Dhana dan Ajib”

Konggres Belum Usai

Kedaulatan Rakyat, 20 Februari 2012

Pemberitaan di televisi tentang partai Demokrat semakin hari semakin panjang. Pemirsa seperti disuguhi sinetron yang tiada akhir. Dalam beberapa hari ini, muncul isu baru tentang korupsi dan suap di konggres Partai Demokrat dari suara beberapa daerah. Secara gamblang disuguhkan bagaimana suara di konggres yang memenangkan Anas Urbaningrum diperdagangkan.

Miris. Kisah sendu PD dihembuskan oleh kadernya sendiri, menandakan centang-perenangnya institusionalisasi partai. Publik dapat melihat jelas bagaimana bermacam-macam kubu di dalam PD saling beradu argumen di media. Secara jelas ditunjukkan bahwa konggres Bandung belum usai. Anas secara de jure memang Ketua, tapi secara de facto, legitimasinya dipertanyakan kadernya sendiri.
Pasca konggres Bandung, Anas berusaha menyatukan seluruh elemen PD untuk bergabung dalam kepemimpinannya. Baik kubu Andi yang sedikit, dan kubu Marzuki Alie yang kuat, diajak bersama dalam kepemimpinan baru. Sayangnya, masing-masing kubu tersebut merasa sakit hati karena mensinyalir dukungan suaranya dibelokkan ke Anas dengan politik uang. Merekalah yang menyerang PD dari dalam untuk menurunkan Anas sebagai Ketum. Continue reading “Konggres Belum Usai”

Menimang Capres

KR, Analisis 11 Agustus 2011

Hari-hari ini bergulir isu bahwa Partai Serikat Rakyat Independen (Partai SRI) yang mengusung Sri Mulyani (SMI) untuk menjadi Capres adalah bentukan SBY. Jika sukses, SMI rencananya akan dipasangkan dengan Hatta Rajasa sebagai pengganti SBY di 2014. Termasuk Golkar yang mengunggulkan Ical.

Menurut saya isu ini tidak dapat dimengerti secara politik, waluapun direspon positif di masyarakat. Fenomena kemunculan para kandidat Capres oleh media, walaupun terlalu dini tetapi mengisyaratkan sesuatu jika kita tahu bahwa langkah masih sangat panjang.

Pertama, sampai saat ini Undang-undang pemilu dan pilpres belum disyahkan. Perdebatan klasik tentang parliamentary threshold (PT) menyita perhatian partai. Partai besar ingin PT dinaikkan, partai kecil ingin sebaliknya. Inilah tiket pertama untuk bisa mencalonkan diri menjadi presiden. Gagal di ujian pertama ini, hilanglah cita-cita untuk dapat mencalonkan menjadi Capres.

Partai baru, termasuk SRI, akan semakin sulit untuk bisa berada di Senayan. Selain PT, partai besar akan menahan langkah partai baru dengan memperbanyak daerah pemilihan. Hal ini berimplikasi pada semakin sedikitnya kandidat di suatu Dapil. Konsekuensinya, suara hilang dalam konversi suara ke kursi akan makin besar dan partai besar akan semakin mudah memperoleh kursi.

Jangankan partai baru, bahkan partai lama selain Golkar, PDIP, Demokrat dan PKS tetap akan bertarung mati-matian agar bisa melenggang ke Senayan. Proses konversi dari suara ke kursi akan menjadi topik politik marak jika rencana memperbanyak Dapil benar terlaksana. Continue reading “Menimang Capres”

Anggaran dan Kinerja DPR

Kedaulatan Rakyat-Analisis-13 Mei 2011

Kritik terhadap kunjungan ke LN oleh anggota DPR kembali bergulir. Dalam sebuah diskusi dengan mahasiswa Indonesia di Melbourne, anggota DPR tidak bisa memberikan alamat email resmi yang pada tahun 2010 dianggarakan sebesar 10,9 milyar. Pertanyaan ini hanyalah salah satu dari sekian persoalan berkaitan dengan kunjungan DPR ke LN.

Kunjungan DPR tidak tepat karena dilakukan pada saat Parlemen Australia sedang reses. Selain itu, 16 orang dari Komisi VIII datang berkaitan dengan RUU Fakir Miskin tidak mengunjungi daerah miskin di bagian Utara, tetapi justru ke tiga kota besar, Sydney, Canberra dan Melbourne dimana jejak-jejak kefakiran sulit terlihat. Kemampuan bahasa juga menjadi persoalan tersendiri.

Anehnya, walaupun kunjungan kerja telah menjadi sorotan publik, anggaran untuk kunjungan LN terus saja meningkat, tiga setengah kali lipat dalam tiga tahun terakhir dan lebih dari 23 kali lipat sejak tahun 2005. Pada tahun 2005 anggaran kunjungan kerja ke LN hanya 23,6 M dan meningkat signifikan dalam tiga tahun terakhir: 2010 (162, 9 milyar); 2011 (301 milyar); 2012 (541 milyar).

Anggaran total yang dikucurkan untuk mendukung kinerja 560 anggota DPR juga meningkat signifikan. Anggaran DPR meningkat lebih dari dua kali lipat dalam lima tahun terakhir. Anggaran DPR berturut turut untuk 2008-2012 adalah: 1,7 trilyun, 2,021 trilyun, 2,7 trilyun, 3, 025 trilyun dan lebih dari 3,5 trilyun untuk tahun depan. Artinya setiap anggota dewan di tahun 2012 akan mendapatkan dukungan anggaran kira-kira 6,25 milyar setahun atau setara dengan 17 juta perhari. Anggaran yang fantastis ini tentu tidak diberikan jreng ke anggota dewan, tetapi dibagi menjadi dukungan sekretariat, tenaga ahli dll. Angka itu juga digunakan untuk menjamin terlaksananya tiga fungsi: angaran, legislasi dan pengawasan. Tetapi tetap saja, angka ini menciptakan keheranan terutama jika dikaitkan dengan kinerja DPR.

Jumlah produk undang-undang yang dihasilkan DPR pada tahun 2008 dan 2009 hanya 56 dan 52 undang-undang. Hal ini termasuk sedikit karena setara sepuluh anggota DPR hanya menghasilkan satu undang-undang setiap tahun. Pada fungsi pengawasan, DPR lebih banyak bereaksi ketika masalah sudah terlanjur mencuat. Padahal, jika pengawasan berjalan baik, resiko bisa diminimalisir.

Pertanyaannya, walaupun seluruh elemen civil society termasuk media telah dengan sangat keras mengkritik anggaran dan kinerja DPR, perilakunya cenderung tidak berubah dan bahkan semakin menjadi. Mengapa?

Continue reading “Anggaran dan Kinerja DPR”

Politik Hiburan Rakyat

KR, Analisis 26 Februari 2011

Jika rakyat bertanya kepada pemerintah kapan perut mereka akan kenyang, badan sehat dan sekolah terjamin, butuh waktu lama untuk menjawabnya. Perlu koordinasi lintas sektoral dan energi yang besar untuk mengatasi masalah-masalah dasar tersebut. Jawaban cepat dari pertanyaan itu adalah memberi hiburan kepada rakyat. Perut memang tetap lapar, tapi setidaknya, hati gembira dan sebentar terlupa dari kemiskinan.

Ini adalah resep lama yang sudah dipraktekkan sejak ribuan tahun lalu. Jika rakyat menuntut perbaikan taraf hidup, pemerintah menyediakan fasilitas hiburan. Kaisar Nero di Roma membangun Colloseum yang mampu menampung lebih dari 50 ribu penonton, 70 tahun sebelum masehi. Secara rutin, manusia diadu dengan manusia lain atau binatang buas. Darah merembes di lantai pasir dan sorak-sorai rakyat yang lupa akan perut mereka yang lapar. Eksebisi demi eskebisi membungkam protes atas perut yang lapar.

Ide ini mungkin coba diikuti pemerintah SBY dengan membungkam kritik dengan memberi hiburan kelas rakyat yaitu sepakbola. Sepakbola adalah hiburan murah, ditonton semua kalangan dan pada titik tertentu menumbuhkan nasionalisme. Pada final piala AFF yang lalu, laga ini ditontong tak kurang dari 80% pemirsa televisi. Jika proyek hiburan ini sukses, bisa jadi rakyat lupa perut lapar, karena Timnas menang di mana-mana. Sorak sorai kegembiraan akan membahana, media akan sebentar melupakan kasus Gayus, cek perjalanan dan sederet skandal yang menghambat bangsa ini untuk maju.

Sayangnya mesin hiburan ini sedang mogok. Rakyat tidak puas karena Timnas jarang menang. Rakyat juga geram karena PSSI dipimpin oleh orang yang pernah dua kali menjadi terpidana dengan sekretarisnya yang sepanjang masa. Pemerintah berusaha melakukan intervensi. Merebut lagi hiburan rakyat sebagai placebo kemiskinan dan carut-marutnya pemerintahan.

Continue reading “Politik Hiburan Rakyat”

Membongkar Kabinet LEGO

Kedaulatan Rakyat, Analisis, 19 Oktober 2010

Wacana untuk membongkar-pasang kabinet begitu terasa setelah satu tahun perjalanan KIB II. Momen tuntutan pergantian kabinet ini bersinggungan dengan ulang tahun ke 9 Partai Demokrat dan Rapim Golkar. Seandainya akan ada pergantian menteri, SBY dan PD tetap akan memperhitungkan kemungkinan jangka panjang, terutama menyambut 2014 yang semakin dekat. Tak ada salahnya kita menyimak survey LSI.

Menurut survey Lingkaran Survey Indonesia yang dirilis akhir minggu lalu, hanya PD dan Golkar yang menunjukkan tren peningkatan suara pada pemilu 2014. Berdasarkan survey di seluruh Indonesia tersebut, perolehan untuk PD meningkat dari 20,9% menjadi 26,1%. Golkar meningkat dari 14,5% menjadi 17,3%. Ketiga partai lainnya, menunjukkan tren tetap atau menurun yaitu PDIP, PKS dan PAN. Empat partai lain yang duduk di DPR saat ini diperkirakan tidak akan mampu melewati Parliamentary Threshold (PT) jika dinaikkan menjadi 5%. Suara mereka diperkirakan akan menyebar ke lima partai yang lain. Walaupun terlalu dini untuk berspekulasi, survey tersebut layak menjadi bahan evaluasi.

Dilihat dari kecenderungan beberapa minggu terakhir, Golkar dan Demokrat masing-masing memasang perang urat syaraf. PD mengindikasikan kinerja menteri dari Golkar tidak maksimal, sementara Golkar mengancam keluar dari Setgab. Besar kemungkinan, Golkar tak akan keluar dari Setgab dan tak ada satupun menteri Golkar yang diganti karena keduanya saling membutuhkan. Tantangan Demokrat, selalu akan ditanggapi enteng Golkar karena merasa masih kuat di daerah dengan memenangkan lebih dari 50% pilkada.

Dalam teori tentang Presidentialisme, Lijphart (1992) menyatakan bahwa presiden memiliki masa jabatan yang tetap dan memiliki otoritas dalam menentukan menteri-menteri. Hal ini tergambar jelas dalam konstitusi kita. Tetapi dalam prakteknya, semua orang tahu, bukan hal itu yang terjadi. Kemenangan satu putaran menyakinkan di Pilpres tak cukup kuat untuk membawa 20% suara PD di Pileg menjadi percaya diri. Hal ini yang menyebabkan kombinasi multipartai dan presidensialisme kita tidak menghasilkan presidensialisme yang efektif (Mainwaring 1993). Hal ini juga yang membuat Cheibub (2007) menyatakan parliamentarisme lebih stabil dibanding presidensialisme, dengan mengambil studi di negara-nagara Amerika Latin.

Continue reading “Membongkar Kabinet LEGO”

Memindah Ibukota

Kedaulatan Rakyat, Analisis, 2-8-2010

Wacana usang untuk memindah ibukota negara kembali bergulir. Beban ekonomi, psikologis dan sosial Jakarta sudah sangat mengganggu. Area yang dipersiapkan Belanda untuk menampung tidak lebih dari 10 juta jiwa ini, dipaksa menjadi tempat hidup oleh lebih dari 20 juta jiwa di siang hari, atau setara dengan jumlah penduduk Australia. Selalu seiring dengan pemindahan itu, Kota Palangkaraya di Provinsi Kalimantan Tengah dicalonkan menjadi ibukota baru. Marilah kita mencoba melihat seluruh kemungkinan ini.

Pemisahan ibukota pemerintahan dan pusat bisnis menjadi hal normal yang terjadi di banyak negara misalnya di Amerika yang memisahkan New York dan Washington. Contoh lainnya adalah pilihan Australia untuk membuat ibukota pemerintahan di pegunungan tandus Canberra, yang terletak 3 jam (darat) dari Sydney dan 7 jam dari Melbourne, dua kota bisnis  yang saling bersaing untuk memperebutkan ibukota. Kemajuan  Canberra tidak pernah seperti kota dengan akses laut.

Hanya saja, negara-negara yang menjadi tolok ukur tersebut tidak pernah dihadapkan dengan masalah dimana 7% dari luas sebuah negara dihuni oleh 50% dari seluruh jumlah penduduk atau sekitar 120 juta jiwa. Karena itu, Jawa dinobatkan The Guiness Book of Record sebagai “the most populous island in the world” atau pulau paling banyak dihuni di dunia. Indonesia mewarisi kesalahan ratusan tahun lalu yang menjadikan Jawa sebagai konsentrasi aktifitas. Pembangunan tidak pernah diupayakan untuk menyebarkan konsentrasi ekonomi ke luar Jawa.

Hal ini membuat pemindahan ibukota ke luar jawa tidak sesederhana seperti memindah rumah. Infrastuktur dasar seperti jalan, listrik, air, telekomunikasi dll, tentu dapat dipersiapkan dalam 10-15 tahun. Yang menjadi masalah serius sebenarnya adalah tercerabutnya separuh penduduk Indonesia dari dekatnya akses ke pemerintahan. Artinya, Jakarta memang bisa jadi tidak macet lagi, tetapi apa artinya menghilangkan kemacetan dengan terhambatnya pelayanan publik. Continue reading “Memindah Ibukota”

Legalisasi Politik Uang

Usulan Partai Golkar (PG) untuk mendapatkan dana aspirasi 15 milliar per anggota dewan dapat dibaca dari beragam sudut pandang. Setidaknya terdapat dua hubungan sebab akibat. Pertama, usulan PG merupakan wujud riil dari kontestasi politik di DPR. Kedua, kontestasi itu menghasilkan upaya legalisasi politik uang yang tercermin dalam usulan dana aspirasi.

Alasan kontestasi politik dapat dilacak sejak kekalahan Partai Demokrat (PD) dan koalisinya di DPR dalam membendung isu Century, yang ternyata berimplikasi serius dan berjangka panjang. Dalam hitungan matematis pada masa awal setelah Pilpres, koalisi memiliki 317 kursi (atau 423 kursi jika Golkar bergabung), sementara gabungan PDIP, Hanura dan Gerinda hanya memiliki 137 kursi. Waktu itu, koalisi PD sangat yakin mampu mensukseskan suara dan program pemerintah di DPR. Nyatanya gabungan antara pengalaman politik, kemampuan personal dan kecanggihan menggiring isu menggunakan media lebih penting dari sekedar hitungan matematis. Pasca Century, posisi tawar PG menjadi signifikan dalam konstelasi politik DPR. Sebaliknya, PD kehilangan PD (Percaya Diri) dan terus berupaya untuk tetap mendapat dukungan PG, setidaknya sampai 2014. Harapannya, usulan dana aspirasi (karena diusulkan PG), akan disetujui Pemerintah dan koalisi PD yang butuh dukungan PG di DPR.

Hal ini mirip dengan melegalkan politik uang (walaupun berwujud program), langsung kepada konstituen. Dana aspirasi digunakan sebagai upaya untuk mendapatkan dan menjaga dukungan politik. Rakyat akan terus memilih anggota dewan A karena jembatan telah dibangunnya, dan jalan diaspal oleh anggota partai B. Klaim semacam ini yang pasti akan muncul, tidak sehat untuk pendidikan politik rakyat.

Usulan dana aspirasi jelas menguntungkan PG yang memiliki pendukung kuat dan cukup merata di Indonesia Barat, Tengah dan Timur. PG yang terbiasa mendapatkan dukungan dana besar selama Orba, harus mencari sumber alternatif untuk dapat merawat dukungan politik. Walaupun sebagai dampaknya, dana aspirasi akan merubah anggota DPR menjadi inisiator atau pimpinan proyek. Continue reading “Legalisasi Politik Uang”

Anas, SBY dan 2014

Kedaulatan Rakyat-analisis-250510

Seandainya SBY masih bisa berlaga di Pemilu 2014, konggres Partai Demokrat tentu tidak semenarik saat ini. Posisi ketua PD menjadi strategis menjadi salah satu prasyarat menjadi RI 1. Besarkah peluang Anas Urbaningrum memimpin Indonesia 2014-2019 dan apakah sajakah tantangannya?

Banyak analis politik menyebutkan bahwa PD adalah partai yang menggelembung seperti balon dan rawan kempes (Sigit Pamungkas 2010). Semua pihak, bahkan internal PD sendiri, sadar dan meyakini bahwa satu-satunya “pompa” balon PD itu adalah figur SBY. Pemilih, terutama yang masuk dalam kategori swing voters, pemilih yang mudah berganti dukungan, terpikat oleh gaya santun SBY dan juga kucuran dana luar biasa lewat BLT (Mietzner 2009). Dengan fenomena ini, tugas terberat Anas adalah menjaga agar balon tak kempes, syukur-syukur makin menggelembung.

Menariknya, pemilih yang gampang bergeser ini ditengarai menentukan arah kemenangan pemilu dalam tiga pemilu terakhir. Berturut-turut, swing voters memenangkan PDIP dengan 33, 73% di pemilu 1999, Golkar dengan 21,6 % di pemilu 2004 dan PD dengan 20, 83% di pemilu 2009. Kunci memenangkan pemilu 2014 terletak pada kemampuan menarik simpati swing voters yang terbukti mampu memenangkan tiga partai yang berbeda sama sekali ideologi dan basis pendukung dalam tiga pemilu demokratis.  Masalahnya, tidak ada yang tahu siapa dan apa saja keinginan 20 – 30 juta pemilih ini.

Selain swing voters, pemilu Indonesia juga dihadapkan kepada fenomena ticket-splitting atau split-ticket voting yaitu kondisi yang terjadi di Amerika dimana pemilih memilih kandidat dari partai yang berbeda untuk jabatan politik yang berbeda. Misalnya memilih kandidat dari Partai Republik untuk jabatan Presiden dan memilih kandidat dari partai Demokrat untuk jabatan Gubernur. Artinya terdapat kecenderungan besar bahwa pemilih memberikan dukungan yang berbeda untuk tingkatan jabatan politik yang berbeda, baik di eksekutif maupun legislatif. Di Indonesia yang memiliki tingkatan-tingkatan pemilu yang jauh lebih kompleks, ticket-splitting lebih mudah terjadi. Pada pemilu 2009 misalnya, di Aceh pemilih sadar betul untuk memilih Partai Aceh di tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi, dan menyalurkan dukungan untuk PD di tingkat Nasional.

Pendeknya, perolehan signifikan PD diuntungkan yang didapatkan dari swing voters dan ticket-splitting. Satu-satunya cara untuk mempertahankan dukungan PD adalah dengan menjaga citra seperti yang sukses dilakukan dalam pemilu 2009. Tetapi nampaknya hal ini jauh lebih sulit dilakukan karena beberapa pertimbangan dan cacat politik yang terus terjadi.

Continue reading “Anas, SBY dan 2014”

Demokrasi ‘Jupe’

Kedaulatan Rakyat – Analisis – 270410

Upaya artis Julia Perez (Jupe) dan Maria Eva dalam meraih jabatan politik lewat Pemilukada di Pacitan dan Sidoarjo memunculkan kecemasan publik. Ketakutan tidak hanya mencuat karena daerah dipimpin oleh figur yang mungkin kurang kompeten, tetapi juga keraguan atas kemampuan partai politik melakukan proses rekruitmen politik. Wajarkah kekhawatiran itu?

Tahun 2010 menandai lima tahun pemilihan kepala daerah langsung yang dilakukan sejak 2005. Apabila di tahun 2005 dilangsungkan 226 Pemilukada (11 provinsi, 179 kabupaten dan 36 kota), di tahun 2010 jumlahnya meningkat menjadi 244 Pemilukada (7 provinsi, 202 kabupaten dan 35 kota). Dengan jumlah sebanyak ini, sebenarnya tidak perlu ada kekhawatiran terhadap naiknya artis dalam politik lokal karena beberapa alasan, yaitu:

Pertama, posisi politik tertinggi yang selama ini dapat digapai oleh seorang artis “hanyalah” posisi Wagub di Provinsi Jabar yang diraih Dede Yusuf. Posisi lainnya antara lain dipegang Dicky Chandra (Wabup Garut) dan Rano Karno (Wabup Tangerang). Dilihat dari posisinya sebagai wakil, yang bersangkutan tidak serta merta menentukan arah perubahan politik karena masih terdapat kepala daerah.

Fenomena Indonesia juga tidak terlalu menghawatirkan ketika disandingkan dengan pengalaman negara-negara lain. Filipina yang memilih Joseph Estrada menjadi Presiden (1998-2001) pada akhirnya harus mengaku salah. Estrada dijatuhkan oleh gerakan rakyat karena korupsi dan divonis penjara seumur hidup.

Bahkan di negara tempat literatur demokrasi dikembangkan seperti Amerika, tidak steril dari dorongan berkuasa bagi public figure. Arnold Schwarzenegger, artis yang memiliki otot seperti Gathotkaca menjadi Gubernur di California. Aktor Ronald Reagon, setelah menjadi Gubernur, menjadi Presiden ke 40 Amerika sampai dua periode.

Continue reading “Demokrasi ‘Jupe’”

Kerbau Pak Presiden

Kedaulatan Rakyat-Analisis- 080210

Seandainya pak Presiden tidak curhat ke mana-mana, sebenarnya isu-sua dalam demo 28 Januari memperingati 100 hari pemerintahan SBY-Boediono akan berakhir. Justru karena curhat itulah, isu-isu yang disampaikan demonstran terus terpelihara media. Presiden seringkali melakukan blunder politik yang tidak menguntungkan dirinya dan pemerintahannya.

Dalam sistem presidensial murni yang dianut Indonesia, Presiden memegang peran paling signifikan dalam pemerintahan. Artinya, Presiden menjadi nahkoda terhadap ke mana bangsa akan diarahkan. Walaupun dalam melakukan kerjanya, Presiden mendapatkan oversight dari lembaga-lembaga negara yang lain, dirinya tetap bertanggungjawab terhadap kesuksesan dan kegagalan pemerintahan.

Hanya saja, lebih sering terjadi, pembantu-pembantu presiden menjadi bumper terhadap buruknya kinerja pemerintahan. Hal ini seringkali membuat dinamika pemerintahan berlarut-larut. Sebuah pertanyaan sederhana, mengapa Pansus Century tidak menghadirkan Presiden yang menjadi penentu seluruh kebijakan ekonomi? Bukankah ketika Presiden datang, semuanya lebih jelas terlihat dan lebih cepat selesai? Di lain pihak, menyangkut kebijakan populis, Presiden sendiri yang maju ke depan. Contohnya sederhana, ketika BBM naik, pembantu Presiden yang mengumumkan, ketika BBM turun, Presiden dengan wajah berbinar sendiri yang mengumumkannya.

Demonstrasi 100 hari SBY-Boediono, terlepas dari sebagian yang dibayar oleh musuh politik SBY, mengarah langsung ke jantung pemerintahan. Target demonstrasi yang dibidik jelas, SBY-Boediono dianggap kurang berhasil dalam 100 hari pertama. Demonstran seolah ingin menunjukkan bagaimana sistem presidensial dijalankan. Untuk itulah, dibawa seekor kerbau yang ditulis SiBuYa. Apakah itu melanggar norma-norma ketimuran? Continue reading “Kerbau Pak Presiden”

Penjara Swasta

Kedaulatan Rakyat, Analisis, 250110

Penjara mewah Ayin, Aling dan Darmawati Dareho di Rutan Pondok Bambu membuat banyak orang tersentak. Ternyata busuknya sistem hukum di negeri ini tidak hanya pada proses menentukan seseorang dihukum di tingkatan pengadilan, tapi juga bagaimana seseorang akhirnya dihukum. Kira-kira, apa penyebab maraknya jual beli sel penjara?

Harus diakui bahwa daya tampung penjara yang ada saat ini sangat jauh dari layak. Karena itulah saya lebih senang menyebutnya sebagai penjara, bukan Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan. Penghuni penjara sulit menjadi lebih bermasyarakat ketika dijejal-jejalkan di sel. Kata rumah juga tidak tepat, karena penjara bukan tempat untuk narapidana untuk selalu kembali, sebagaimana kita selalu merindukan untuk kembali pulang ke rumah. Kata Rumah hanya cocok untuk Ayin yang menyediakan permainan mandi bola bagi anak adopsinya.

Data resmi menunjukkan, setidaknya terdapat 35% kelebihan daya tampung penjara, terparah di Jakarta dan Sumatera Utara. Bahkan ada penjara yang dihuni delapan kali jumlah kapasitas maksimalnya. Pertanyaannya, apakah semakin banyak orang jahat di Indonesia? Bisa jadi jawabannya tidak. Pemerintah tidak mampu menambah jumlah penjara seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Padahal, jumlah penghuni penjara bertambah mengikuti penduduk yang beranak pinak.

Karena daya tampungnya yang terbatas, sel penjara menjadi barang langka (scare resource) dan menjadi komoditas yang menarik untuk ditransaksikan. Sejak jaman purba, ekonomi berkutat dengan distribusi barang langka tersebut. Semakin sedikit sumber daya (sel) dan semakin banyak orang butuh, semakin tinggi harganya. Teori dasar (persediaan dan permintaan) Demand and Supply berlangsung. Tidak mengherankan, harga sel ‘layak’ di penjara bisa ratusan juta. Jika tidak mampu, tentu ada paket hematnya, berdesakan dengan napi lain, termasuk bromocorah kelas kakap yang untuk kentut pun harus antri.

Dalam managemen sektor publik, telah terdapat inovasi-inovasi untuk memberikan kesempatan kepada pihak non-pemerintah ‘membantu’ terselenggaranya pelayanan publik yang lebih baik. Hal ini dikenal sebagai konsep privatisasi. Artinya, pelayanan publik bukan monopoli pemerintah untuk mengatur, menyiapkan, mengelola dan mengevaluasi. Pemerintah seringkali hanya bertugas untuk mengatur dengan membuat regulasi, selebihnya, distransferlah beberapa urusan tersebut ke pihak swasta untuk dikelola.

Pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan telah sejak dulu melibatkan pihak ketiga untuk mengelolanya. Dalam banyak hal, sektor swasta banyak yang lebih kompetitif dan efisien dibandingkan dengan pemerintah. Bisakah penjara diswastakan? Continue reading “Penjara Swasta”

Politik Jawa SBY

Kedaulatan Rakyat-Analisis- 13 Desember 2009

Salah satu kesalahan besar dalam menganalisa langkah kepemimpinan SBY adalah ketika melihatnya dalam kerangka teori demokrasi liberal gaya barat. Padahal, sebagai orang Jawa, SBY lebih memperhatikan dan menggunakan tuntunan politik Jawa dalam pengambilan keputusan.

Artikel lama yang tetap relevan yang ditulis oleh Ben Anderson (1972), The Idea of Power in Javanese Culture secara gamblang mengidentifikasi konsep kekuasaan barat dan Jawa. Menurut Ben, konsep kekuasaan Jawa tidak hanya berbeda, tetapi pada banyak yang bersebarangan dengan model kekuasaan di barat yang menjadi dasar pengembangan ilmu politik. Orang Jawa percaya bahwa kekuasaan itu bersifat konkrit, homogen, berada pada jumlah yang sama di bumi dan tidak perlu dipertanyakan legitimasinya.

Orang Jawa percaya pada wahyu kekuasaan yang bisa berpindah dari satu orang ke yang lainnya dalam wujud yang konkrit. Pertanda bergulirnya kekuasaan bisa bermacam-macam, misalnya dari sinar yang memancar dari rahim Ken Dedes yang dipercaya akan melahirkan raja-raja Jawa. Air kelapa yang diminum Ki Ageng Pemanahan sampai kekuasaan yang mewujud pada keris Djoko Piturun di Kraton Yogyakarta saat penyerahan kekuasaan dari HB VIII ke HB IX. Selain itu, bentuk lainnya seperti sinar di angkasa sering dianggap penting dalam upaya perebutan kekuasaan di tingkat lokal.

Hal ini berkebalikan dengan paham kekuasaan barat yang menganggap kekuasaan adalah hasil kontestasi politik. Kekuasaan boleh dimiliki siapa saja asalkan lolos dalam segenap seleksi menuju kekuasaan, bukan pada wujud yang “nitis” dan tergaris dalam diri seseorang. Tak perlu memiliki keris untuk menggapai posisi politik penting.

Continue reading “Politik Jawa SBY”

Politik Dana Pencari Suaka

Kedaulatan Rakyat, Analisis, 18 November 2009

Oceanic_Viking _off_IndonesiaSelama dua tahun tinggal di Canberra, ibukota Australia, tidak pernah kata “Indonesia” menghiasi berita nasional Australia sebegitu intensif selama sebulan terakhir, kecuali berkaitan dengan isu imigran gelap.

Imigran pencari suaka (asylum seekers) deras mengalir ke Australia sejak pemerintahan Kevin Rudd mulai bekerja di akhir 2007. Dibandingkan dengan pendahulunya John Howard, Kevin Rudd menerapkan soft policy (yang lebih memudahkan) bagi imigran untuk menjadi warga negara. Pencari suaka dari negara-negara konflik seperti Afganistan, Pakistan, Iraq dan Sri Lanka menjadikan Australia negara tujuan karena dianggap “paling murah” secara finansial dibandingkan dengan kawasan Eropa, Amerika atau Kanada.

Indonesia turut terseret dalam pusaran isu ini karena posisi geografisnya yang menjadi “jalur” para imigran tersebut. Umumnya, para imigran membayar calo penyelundup manusia melalui jalan darat dan udara sampai ke Malaysia. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan laut dengan kapal seadanya menuju Christmas Island di ujung barat laut Australia untuk diproses lebih lanjut menjadi Permanent Resident (penduduk tetap) di mainland. Beberapa imigran lain yang putus asa, kekurangan uang dan tak kenal calo, menjelajahi Samudra Hindia, plus segala resikonya.

duajiSaat ini, tak sedikit WNI yang dihukum lebih dari lima tahun karena tergiur uang imigran yang jumlahnya mencapai 100 juta/orang. Beberapa menggunakan cara-cara yang sangat brutal. Setelah tertangkap patrol AL Australia dengan tujuan ke mainland April lalu, kapal pengangkut diledakkan yang akhirnya “memaksa” korban ledakan ditempatkan di mainland. Cara putus asa ini memudahkan proses imigrasi selanjutnya karena yang bersangkutan telah sampai di mainland.

Continue reading “Politik Dana Pencari Suaka”