Setahun Kos Bersama Delapan Mahasiswa Papua


IMG_2045-810x639Akhir-akhir ini ada berita miris tentang penolakan beberapa tempat kos-kosan terhadap mahasiswa asal Papua di Yogyakarta. Kalau toh hal itu merupakan sebuah realitas sosial yang terjadi saat ini, sebenarnya akar persoalannya sudah berlangsung cukup lama. Saya ingin bercerita tentang pengalaman saya tinggal bersama teman-teman yang mayoritas berasal dari Manokwari, sebelum menjadi ibukota Provinsi Papua Barat.

Selama empat tahun tinggal di Blok F, Catur Tunggal VIII Klebengan sejak tahun 1997-2001 saya tak pernah pindah kos, sehingga dapat mengamati berbagai penghuni kos yang berganti. Kos ini terdiri dari delapan belas kamar. Dua belas kamar masing-masing empat kamar yang membentuk huruf U, tiga kamar yang merupakan ekstensi huruf U yang diletakkan kurang beraturan di antara halaman yang luas dan tiga kamar yang letaknya di dalam dan dekat dengan rumah pemilik kos. Kos kami letaknya agak masuk di jalan buntu Klebengan walaupun lebar jalannya cukup rasional untuk masuk satu mobil.

Kos kami ini, karena fasilitasnya yang tak lebih dari kamar 3×3, sedikit teras dan empat kamar mandi yang baknya selalu dipenuhi jentik nyamuk, tak pernah menjadi harapan para pencari kos, termasuk saya. Tak mengenal Yogyakarta sebelumnya dan mencari kos saat daftar ulang, saya menjadi penghuni kos ini karena sekian banyak kos lain telah penuh. Lelah mencari, saya putuskan untuk menetap di kos yang katanya tidak akan menaikkan sewa tahunan jika saya tidak pindah. Penghuni kos rata-rata mahasiswa baru, yang juga lelah mencari sehingga akhirnya memutuskan untuk tinggal, tak terkecuali, delapan orang mahasiswa dari Manokwari.

Kecuali satu orang, tujuh orang mahasiswa asal Manokwari ini mengikuti berbagai program khusus di UGM dan di Universitas lainnya sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas mereka sebagai PNS di Manokwari. Mereka datang di periode 1999-2000, tahun berikutnya semuanya pindah. Satu orang mahasiswa baru di APMD yang tinggal di kos paling depan, dekat pintu masuk, sedangkan yang lain tinggal di kamar U. Selain mahasiswa APMD, umur mereka rata-rata jauh lebih tua dari kami yang berada di awal 20-an.

Saya, di kamar nomor empat, bersebelahan kamar dengan mahasiswa Papua paling rajin di nomor tiga. Dia belajar D3 Kedokteran Hewan (KH) di UGM, walaupun sebelumnya telah memiliki ijasah D3 untuk bidang yang sama. Menurutnya, belajar D3 KH di Jayapura dan UGM jauh sekali bedanya. Walaupun sebenarnya hanya mengulang, dia merasa berat harus belajar lagi karena perbedaan kualitas pendidikan tersebut. Saya sering melihatnya belajar malam-malam dan membuat kopi untuk menahan kantuk. Kami sering mengobrol untuk urusan sepele.

Dua bulan setelah mahasiswa Papua datang, beberapa dari istri-istri mereka menengok, beberapa membawa serta anak yang masih balita. Mereka membuat jamuan yang tak pernah saya lupakan. Makanan special khas Papua dengan sagu yang dibawa langsung dari Papua. Bentuknya seperti lem glukol tapi lebih encer dan dimakan bersama ikan kuah berwarna kuning. Belakangan saya tahu namanya Papeda. Mungkin selama saya mahasiswa, baru kali itulah lambung saya mengembang sempurna kekenyangan.

Saya tidak pernah merasa punya persoalan tinggal bersama beberapa orang mahasiswa Papua selama satu tahun walaupun beberapa fenomena terjadi di kos. Namun krisis selalu terjadi di kos kami selama beberapa tahun. Pernah suatu ketika, mahasiswa asal Gombong kehilangan handphone Nokia 5110 sehabis maghrib. Dia satu-satunya di kos yang punya handphone ketika SIM card Simpati masih berharga satu juta. Ketika handphone hilang, saya dan lima orang penghuni kos sedang menonton film di Fakultas Peternakan dengan biaya murah meriah. Kami berjalan kaki ke sana.

Setelah pergi ke dukun di Jalan Solo, mahasiswa ini diberi tahu bahwa pencurinya adalah mahasiswa gondrong yang kos di  kamar pojok (No. 1). Padahal dia bersama saya menonton film saat HP nya hilang. Persoalannya, teman dari Gombong ini lebih percaya dukun dibanding fakta. Kami bersitegang dengannya dan beberapa penghuni kos lain yang ikut ke dukun, sampai satu bulan kemudian, teman kuliahnya yang asli Jogja terbukti mencuri handphonenya. No IMEI nya sama dengan kardus HP teman saya yang hilang. Rupanya, teman ini datang saat mahasiswa Gombong sedang mandi dengan kamar tidak dikunci dan menghilang sejurus kemudian sambil menyambar HP.

Konflik juga pernah terjadi antara mahasiswa senior yang bersitegang dengan anak pemilik kos, Continue reading “Setahun Kos Bersama Delapan Mahasiswa Papua”

Meloncat dari Kereta

mudik_dengan_kereta_apiilustrasi_100818152005Ini cerita tentang pengalaman menggunakan kereta di jaman dulu. Mungkin sebenarnya tidak dahulu sekali sih, cuma sekitar sepuluh tahuun.. Kalau dilihat, sebenarnya perubahan yang dilakukan bangsa Indonesia, misalnya terkait managemen kereta, sudah luar biasa. Ini pengalaman beberapa kali menjadi freerider kereta api dan cerita teman-teman yang kuliah di STAN yang rajin pulang ke Magelang via Kutoarjo.

Dulu semua orang bisa keluar masuk stasiun dan kereta. Sehingga, kondektur kereta yang mengecek karcis harus bekerja extra tapi dengan kompensasi income yang tak kalah extra. Karena bisa bebas keluar masuk stasiun dan kereta, maka tak sedikit freerider yang memaksimalkan kesempatan. Mereka bahkan punya tarif sendiri untuk masing-masing jenis kereta. Istilahnya “nembak” di atas kereta. Untuk kelas ekonomi, sekitar tahun 2000 an tarifnya sekali “nembak” adalah dua sampai lima ribu. Untuk Kelas Bisnis tarifnya lima sampai sepuluh ribu dan untuk kelas eksekutif tarifnya maksimal 20 ribu. Untuk rute Yogyakarta-Jakarta, biasanya ada pemeriksan tiket sebanyak dua atau tiga kali. Dua-tiga kali juga anda perlu nembak. Jadi total biaya yang dibutuhkan untuk dua kali “nembak” untuk kelas ekonomi adalah sepuluh ribu, tak sampai separuh tiket asli yang sekitar 25 ribu.

Cara nembaknya juga sangat sederhana. Anda tinggal perlu mengulurkan uang kepada kondektur yang memeriksa karcis. Dia  juga sudah otomatis memahami bahasa symbol ini dengan memasukkannya ke dalam kantong celana, yang sengaja dibuat sangat panjang, bahkan mendekati lutut. Pertama dia akan memasukkannya ke kantong sebelah kanan, jika sudah penuh, baru bergeser ke sebelah kiri yang tak kalah panjangnya. Jika jumlah tembakannya banyak dan beberapa uangnya receh, bunyi kerincingan, di tengah suara rel kereta, menyertai setiap langkahnya. Jika anda membawa pecahan uang besar, kadang perlu negoisasi kepada petugas untuk memberikan kembalian. Jika wajah anda sudah terbiasa menembak, mereka akan menyediakan kembalian. Pernah kawan saya hanya punya pecahan limaribu untuk pulang ke Magelang dari Jakarta. Dia perlu menembak dua kali dan ngotot biayanya dua ribu. Dibayangi rasa tak percaya jika petugas tak memberikan kembalian, dia tak tarik ulur uang lima ribu dengan tiga ribu kembalian. Uang lima ribu berpindah dari tangan kanannya ke tangan kiri kondektur kereta, dan tiga ribu rupiah berpindah dari tanggan kanan kondektur ke tangan kiri teman saya ini secara bersamaan. Kadang kondektur memaksa anda “membeli” tiket yang satu tiket bisa digunakan dua orang. Tiket ini bisa dipakai di pemeriksaan selanjutnya.

Ini adalah korupsi paling nyata dan paling jelas yang terjadi di tingkat bawah. Prosesnya sering berlalu dengan sangat cepat sehingga sebelum anda menyadari apa yang terjadi, proses sudah berakhir.  Saya yang kuliah di Yogya, hanya tertawa-tawa mendengarkan cerita kawan yang selalu pulang dari Jakarta setiap ada libur lebih dari dua hari. Di satu sisi kita bisa menyebutnya korupsi, di sisi lain, inilah kreatifitas rakyat jelata terhadap negara yang tak pernah serius memikirkan nasibnya. Kereta ekonomi dibiarkan panas dengan tempat duduk keras, lantai kotor dan toilet yang tak bisa digunakan. Jika toh toilet berfungsi, (di seluruh kelas kereta) anda bisa melihat kotoran yang anda buang tersapu angin dan mendarat di antara rel. Belum termasuk kereta yang harus berhenti tiap sepuluh menit disalip kereta-kereta lain termasuk kereta barang. Dari jadwal jam 6 pagi, kereta paling cepat datang tiga-empat jam kemudian.

Karena tak bisa diprediksi berapa banyak jumlah penumpang yang menjejali kereta, semua orang masuk tergantung kapasitas manusia yang bisa bertahan di dalamnya. Pernah suatu ketika, saya membeli tiket hari Sabtu dari Jakarta menuju Yogyakarta, kelas ekonomi di Pasar Senen. Waktu itu, apesnya berbarengan dengan Muktamar Muhammadiyah di Senayan sehingga empat gerbongnya sudah dipesan. Dua jam sebelum jadwal berangkat, sudah tidak ada tempat duduk di “gerbong umum.” Tiket ekonomi waktu itu, yang berupa kotak kecil tebal berwarna merah, tidak memiliki nomor kursi, hanya tulisan “duduk” dan “berdiri”. Continue reading “Meloncat dari Kereta”

Menggugat UUK

Capture1 Kedaulatan Rakyat, Analisis, 6 Juni 2016

UUK 13/2012 digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh Muhammad Sholeh, advokat dari Surabaya. Jika seluruh pasal yang digugat dimenangkan MK, maka mekanisme pemilihan untuk Gubernur dan Wakil Gubernur DIY akan melalui Pilgub sama seperti 33 provinsi lainnya. Sebelum panik, mari kita kaji persoalan ini secara jernih.

Pertama, terkait dengan penggugat. Penggugat adalah advokat muda yang berambisi untuk menjadi politisi. M. Sholeh pernah mencoba peruntungan Bupati Sidoarjo dan Wakil Walikota Surabaya. Keduanya layu sebelum berkembang. Terakhir, dia menjadi Caled DPR RI di Pemilu 2014 melalui Gerindra Dapil I Jawa Timur dengan nomor urut 6. Gerindra hanya punya satu wakil di Dapil tersebut dan menambah kegagalan M Sholeh untuk kesekian kalinya.

Menariknya, M Sholeh ini memang hobi menggugat. Bahkan dalam Pemilu 2014, taglinenya adalah “Sholeh Gugat”. Di kasus gugat menggugat, dia cukup punya prestasi, antara lain menggagalkan mekanisme nomor urut yang digunakan di pemilu 2009, sehingga merubah sistem pemilu dari daftar tertutup menjadi daftar terbuka murni. Sistem ini yang diteruskan di Pemilu 2014 yang banyak memunculkan politik uang, karena kompetisi berlangsung bukan antar partai, tetapi juga antar kandidat. Pendeknya gugat-menggugat menjadi sarana ybs untuk mendapatkan popularitas, yang belum bisa ditransformasi ke elektabilitas sehingga bisa menduduki posisi politik di legislatif dan eksekutif.

Kedua persoalan penggugat yang berdomisili di Surabaya. Selain DIY, Papua dan Papua Barat, semua WNI berhak berkompetisi di Pilgub. Di Papua dan Papua Barat, UU Otsus Papua membatasi hanya penduduk asli Papua yang bisa menjadi Gubernur dan Bupati/Walikota. Sehingga, gugatan M.Sholeh memiliki legal standing yang kuat karena hak konstitusionalnya tercerabut lewat UUK. MK memberikan azas keadilan bagi setiap individu WNI yang merasa hak konstitusionalnya tercerabut oleh sebuah UU. Continue reading “Menggugat UUK”

Dwitunggal Baru DIY

Kedaulatan Rakyat, Analisis, 26 April 2016

Wakil Gubernur Yogyakarta Paku Alam X Suryodilogo akhirnya ditetapkan. Inilah untuk pertama kalinya, UUK 13/2012 digunakan untuk memilih pemimpin politik di Yogyakarta.  Tulisan ini ingin menelusuri beberapa persoalan terkait proses penetapan, sekaligus melihat kemungkinan dwi tunggal Sultan-Paku Alam memimpin Yogyakarta.

Pertama, prinsip penentuan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY adalah administratif dan bukan proses politis. Kewenangan pemerintah dan DPRD DIY berada di level teknis administratif dan bukan pada persoalan subtantif dan politis. Hanya saja, hambatan politis menjadikan proses teknis menjadi berbelit. Proses politis yang berlangsung, hal tersebut terjadi di ranah tradisional di dalam Puro. Ketika jumenengan (6/1) dihadiri oleh mantan presiden Megawati, lima menteri dan dua gubernur, proses politis dapat diasumsikan berakhir. Kehadiran Sultan HB X menjadi penanda penting bahwa Paku Alam X Suryodilogo memililil legitimasi yang cukup.

Kedua, waktu penetapan Wagub tergolong lama. Apabila dihitung dari sejak mangkatnya PA IX, dibutuhkan 5 bulan, 9 hari (161 hari) kekosongan jabatan Wagub DIY atau hampir setengah tahun. Apabila dihitung sejak surat pemberhentian Wagub diterima DPRD DIY tanggal 17 Januari 2016, dibutuhkan 99 hari. Untuk proses administratif, hal ini tergolong lama jika dibandingkan dengan para Gubernur yang terpilih melalui Pilkada 9 Desember 2015 yang dilantik tanggal 12 Februari 2016. Proses penghitunggan suara dan administratif hanya membutuhkan waktu 65 hari atau sekitar dua bulan.

Ketiga, hambatan-hambatan teknis seringkali digunakan untuk kepentingan politis. DPRD memberlakukan kehati-hatian ekstra pada proses penetapan karena keputusannya dapat digugat pihak yang bersengketa, dalam hal ini kubu Anglingkusumo. Beberapa hari lalu, seorang anggota dewan meminta perubahan nama harus dengan ketetapan Pengadilan Tinggi, tidak cukup hanya dengan surat dari notaris. Sebelumnya, persoalan terkait dengan sumber dana pansus dan persoalan lainnya. Continue reading “Dwitunggal Baru DIY”

Boki Nita dan Tradisi Suksesi Kasultanan Perairan

Malutpost, Opini, 7 April 2016

12931246_1292606177417996_8850889466989565679_nKasultanan dan Kerajaan di Indonesia dapat dibagi menjadi dua kategori: Pesisir (coastal) dan agraris/pedalaman (inland). Kedua karakter ini berbeda secara sangat substansial, baik pada aspek ekonomi maupun politik termasuk di dalamnya tradisi pergantian Raja/Sultan.

Aristokrasi pesisir struktur ekonomi kerajaan didasarkan pada ekonomi perairan yang terutama diderivasi dari kerjasama perdagangan dan sumber daya laut. Struktur ekonomi dagang dan laut ni menentukan karakter-karakter lainnya. Secara geografis, letak Kedaton menghadap laut dengan Bandar/Pelabuhan yang biasanya letaknya persis di depan Kedaton.  Sumber ekonomi yang didapatkan dari perdagangan bersifat bergerak seperti emas, perak dan sutra dan memiliki karakter penduduk yang relatif heterogen yang adaptif menerima perubahan. Bentuk kendaraan khas berupa kapal, penting untuk basis legitimasi. Penguasaan tanah yang subur tidak menjadi prioritas, dibandingkan dengan penguasaan simpul-simpul perdagangan. Kasultanan Ternate, Tidore dan Gowa merupakan contoh kasultanan persisir.

Sementara aristokrasi agraris mengandalkan sumber daya ekonomi pada tiga hal penting: tanah, irigasi dan tenaga kerja. Kekayaan tidak bergerak ini membuat penguasaan wilayah menjadi penting. Letak kerajaan masuk ke pedalaman yang mengandalkan pada pertanian dan kondisi tanah yang subur. Saluran irigasi dibuat memanfatkan aliran air sungai adalah kebutuhan sentral dan dijadikan alasan untuk membangun Keraton. Penduduknya relatif homogen dan dibutuhkan pemimpin yang kuat untuk mengontrol tenaga kerja agar tidak berpindah ke kerajaan lainnya. Aristokrasi agraris mengandalkan kereta untuk transportasi seperti ditemukan di Yogyakarta dan Surakarta. Kedua Kasultanan ini tidak memiliki Kapal, seperti Kapal Kora Kora.

Di Kasultanan Ternate, struktur politik tidak seperti di Kasultanan Yogyakarta yang mengerucut seperti piramida dengan Sultan berada di posisi puncak piramida. Di aristokrasi perairan, struktur politik terbagi dan tersebar ke dalam unit-unit yang lebih kecil. Di Kasultanan Ternate, kekuasaan politik disebar ke Bobato 18 yang secara riil berkuasa di daerah dan menentukan Sultan selanjutnya. Di Kerajaan Gowa, struktur politik didistribusikan kepada  9 Bate yang disebut Bate Salapang.

Sementara di Kasultanan Yogyakarta atau Surakarta, Continue reading “Boki Nita dan Tradisi Suksesi Kasultanan Perairan”

Menanti Wakil Gubernur

 Screen Shot 2016-02-03 at 6.00.47 PMKedaulatan Rakyat 3 Februari 2016 download PDF

Sejak 21 November 2015 sampai dengan hari ini, DIY tidak memiliki wakil gubernur. Walaupun seluruh tatacaranya sampai hal yang bersifat teknis sudah diatur dalam UUK, ternyata aspek birokratis, administratif dan politis masih menghambat penguasa baru Pakualam menggantikan ayahnya menjadi Wagub.

Hambatan pertama terkait dengan surat pemberhentian Wakil Gubernur yang harus ditandatangani presiden. Dalam prakteknya, institusi politik baik di Yogyakarta maupun di Jakarta gagal menciptakan proses yang cepat seperti yang selama ini didengungkan pemerintah Jokowi. Surat surutnya PA IX disampaikan Pakualaman ke DPRD DIY lalu ke Kemendagri sebelum akhirnya sampai di meja Mensesneg untuk ditandatangani presiden. Surat dari Kemendagri baru sampai di Mensesneg sehari sebelum Jumenengan (6/1) dan sampai di DPRD DIY tanggal 17 Januari.

Mengapa butuh waktu 55 hari hanya untuk menerbitkan surat pemberhentian sebagai Wakil Gubernur yang disebabkan oleh surutnya yang bersangkutan? Continue reading “Menanti Wakil Gubernur”

Pakualaman dalam Keistimewaan

Kedaulatan Rakyat, Analisis, 7 Januari 2016

Screen Shot 2016-01-07 at 11.04.17 PMSalah satu hasil positif dari revolusi kemerdekaan 1945-1949 adalah bergabungnya dua kerajaan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta pada 1950, berlawanan dengan tren “pemekaran” Mataram yang terjadi karena konflik internal. Proses ini tidak mudah karena baik HB IX maupun PA VIII harus melepaskan ego. Kasultanan merelakan Pakualaman yang “hanya” kadipaten untuk menduduki posisi sebagai wakilnya, pun Pakualam harus merelakan Kadipaten Adikarto lebur menjadi Kulon Progo tahun 1951.

Namun ketika 15 daerah swapraja dengan kontrak panjang dan 268 dengan kontrak pendek dihapuskan pemerintah tahun 1958, posisi politik Pakualaman terangkat. HB IX mengangkat dan memposisikan PA VIII dalam pemerintahan DIY sebagai wakil gubernur dan secara de facto menjalankan pemerintahan DIY. Sebabnya, HB IX memiliki karier politik yang sangat panjang sehingga lebih banyak berada Jakarta. Jika kita mengurutkan tokoh berpengaruh di masa Sukarno dan Suharto, HB IX mungkin satu-satunya yang bisa masuk dalam daftar sepuluh besar. Dalam kondisi inilah PA untuk pertama kalinya mulai mengatur Yogyakarta melebar dari benteng kecil Pakualaman dan Kadipaten Adikarto.

Sehingga, sejak dibentuk provinsi DIY tahun 1950 sampai dengan reformasi 1998, PA VIII lebih banyak menjadi memimpin DIY dibandingkan Sultan HB IX. Ketika HB IX surut tahun 1988, Suharto enggan melanjutkan jejak politik dengan mengangkat HB X. PA VIII menjabat sebagai Gubernur sampai HB X dikukuhkan DPRD DIY menjadi Gubernur beberapa minggu setelah Suharto jatuh.

Sikap dan kompromi politik HB IX dan PA VIII inilah yang membuat posisi Pakualaman menjadi signifikan sejak dihadiahkan Raffles kepada Pangeran Notokusumo (saudara tiri HB II) tahun 1812. Posisi politik Pakualaman meningkat jauh dibandingkan dengan sumbangan wilayahnya yang hanya sekitar 5,8% total luas DIY, terdiri dari lima dari total 78 kecamatan di DIY atau 179,3 km2 dari 3185,8 km2 total wilayah DIY. Kunci dari meningkatnya posisi politik Pakualaman di DIY adalah sikap PA VIII dan PA IX yang “nderek” sikap politik Kasultanan.

Karena jejak politik 1945-1998, posisi Pakualaman sebagai “wakil” Kasultanan dilegalkan melalui UUK 13/2012 baik secara politik, ekonomi dan budaya. Hamengku Buwono yang bertahta dan Paku Alam yang bertahta diposisikan saling menggantikan satu sama Continue reading “Pakualaman dalam Keistimewaan”

Priyo Waspodo

priyo waspodo-pp2Priyo Waspodo adalah guru sejarah saya ketika bersekolah di SMA Negeri 1 Magelang. Beliau pindahan dari SMA Taruna Nusantara. Masuk ke Smansa tahun 1995 langsung dengan gayanya yang khas dan berani. Langganannya majalah Forum Keadilan yang sempat naik daun menggantikan Tempo yang dibredel Suharto tahun 1994. Pesannya khas dan tak mudah dilupa,”Saya mengajar sejarah agar kita bisa membuat sejarah dalam hidup yang sekali ini.”

Pelajaran sejarah menjadi sesuatu yang sangat mengasikkan, bukan karena berbicara masa lalu, tetapi menghubungkannya dengan masa kini. Anda tahu? Tahun  1994-1996 adalah tahun-tahun puncak kekuasaan Suharto. Dialah orang pertama yang saya dengar menyebut Suharto, bukan Pak Harto atau Haji Muhammad Suharto seperti yang dikatakan para penjilat itu. Dalam pelajaran di kelas, kritiknya tajam terhadap DPR dan Suharto. Sehingga konon ada anak anggota DPRD yang merasa tersinggung dengan perkataannya. Lalu anak ini (kakak kelas saya) mengadu ke bapaknya yang anggota DPRD. Setelah telepon sana-sini, Pak Priyo lalu di suspend untuk mengajar di SMA Negeri 1 Magelang sekitar tiga bulan.

Dasar suspensi itu adalah bahwa SK perpindahannya dari SMA Taruna Nusantara ke SMA Negeri 1 Magelang masih diproses oleh birokrasi yang lelet. Selama SK itu belum keluar, dirinya tidak bisa mengajar di SMA Negeri 1 Magelang. Hal ini tentu berbeda dengan guru mutasi lainnya yang bisa tetap mengajar sambil menunggu SK. Tahun-tahun itu adalah jaman “authoritarian bureaucratic” dimana ketika surat masuk, tak ada yang bisa menjamin  kapan keluarnya.

Lalu, kami membuat aksi dan petisi. Beberapa kawan-kawan mengumpulkan tanda tangan untuk mendukung dan mendesak Pak Priyo diijinkan kembali mengajar sejarah. Buat kami, dia adalah guru yang harus dibela. Hampir semua siswa menandatangani petisi ini, yang tersebar dari kelas satu sampai kelas tiga. Posisi Pak Priyo tidak selalu diuntungkan dengan petisi ini. Dia berterima kasih atas dukungan murid-muridnya, waluapun tak ada alasan yuridis yang bisa membuat kepala sekolah Drs. Soekardjo bisa membuatnya kembali mengajar.

Lalu, dua bulan setelah dia menganggur di rumahnya di Pakelan, saya menemuinya. Seperti biasa, dirinya selalu ramah dan menginspirasi ketika didatangi. Kulit tubuhnya yang putih telah berubah menjadi kecoklatan. Untuk mengisi kekosongan hari, dia membantu tukang memperbaiki rumah barunya, yang luasnya tak seberapa. Selama masa tersebut dia tetap mendapatkan gaji. Tetapi yang membuat batinnya perih adalah tak bisa bertemu dengan murid-muridnya. Tak ada yang lebih menyengsarakan bagi seorang guru selain halangan untuk bertemu murid-muridnya. Tak lupa, saya meminjam Forum Keadilan yang saya baca sembunyi-sembunyi.

—000—

Saya kembali mendapat kabar beberapa tahun setelah lulus SMA Negeri 1 Magelang, lulus dari UGM dan menyelesaikan master yang pertama, kira-kira tahun 2007. Ibu saya menelepon bahwa Pak Priyo berjualan pisau dan menawarkannya ke kampung-kampung. Kata ibu saya, pisau-pisau yang dijual Pak Priyo, yang diambil dari Surabaya, selain harganya terjangkau, juga tajam dan awet.

Waktu itu saya mengingat kembali pelajaran-pelajaran pak Priyo. Tokoh-tokoh yang sering diceritakannya ketika SMA, banyak yang sudah saya temui. Kesempatan bekerja menjadi asisten di JPP UGM memberikan ruang untuk bertemu tokoh politik di tingkat lokal dan nasional. Saya sudah bertemu presiden dan membantu tim melakukan presentasi dihadapan presiden di awal tahun 2003, enam tahun setelah lulus SMA. Dan dalam setiap kesempatan itu, saya selalu teringat guru politik saya yang pertama: Priyo Waspodo.

Tak lupa, saya mengirimkan beberapa kartu pos ketika  menempuh pendidikan master kedua di ANU, Canberra.

—000—

Beberapa bulan lalu saya mendengar pak Priyo mencalonkan diri menjadi Wakil Walikota Magelang untuk Pilkada serentak besok pagi. Pasangan incumbent Sigit Widyonindito pisah ranjang dengan Wakilnya Joko Prasetyo. Joko Prasetyo mendaftarkan diri menjadi calon Walikota berpasangan dengan Pak Priyo.

Joko Prasetyo dan Priyo Waspodo masuk melalui jalur independen karena gagal memperoleh dukungan PDIP dan koalisi lainnya yang memberikan dukungan ke Sigit. Tentu saja tak mudah mengalahkan kandidat PDIP di Magelang. Dalam tiga pilkada terakhir, pasangan yang menang adalah pasangan dukungan PDIP, walau walikota yang digantikan Sigit, Fahrianto, harus mendekam di bui karena korupsi buku ajar. Tak sulit diduga, Pak Priyo salah satu tokoh yang membongkar praktek korupsi tersebut.

Sulit menduga peluang kandidat independen, walaupun untuk kota kecil seperti Magelang yang terpaksa harus dimekarkan menjadi tiga kecamatan dan harus meminjam satu polsek dari Kabupaten Magelang agar Polresnya tidak dilikuidasi. Mesin partai untuk beberapa kasus bekerja lebih efektif daripada kandidat independen, dan tentu saja, semua itu digerakkan dengan kekuatan uang. Saya lahir dan besar di kampung Bogeman, kantong PDIP, dan tahu persis bagaimana pergerakan uang itu mengerakkan partai lalu selanjutnya menggerakkan kandidat. Jadi uang dari kandidat, digunakan untuk menggerakkan mesin partai, lalu kembali lagi mendukung kandidat, inilah siklus yang selalu terjadi. Atau bagaimana Fahrianto, pembuat roti rumahan di kampung saya, bisa menjadi walikota. Menurut hitungan ICW, anggaran untuk parpol hanya 0,0006% dari APBN dan hanya mampu memenuhi 0,63% kebutuhannya. Atau menurut pendapat supervisor saya Marcus Mietzner, dampak dukungan negara terhadap partai adalah “minuscule”, tak berefek. Jadi berapapun anggaran tambahan yang disediakan kandidat, akan langsung diamini parpol.

Tapi jika mereka menang, Continue reading “Priyo Waspodo”

Pura dan Wakil Gubernur

PuroKedaulatan Rakyat, analisis, 23 November 2015 . PDF

DIBANDINGKAN dengan 33 provinsi lain di Indonesia, sepertinya posisi Wakil Gubernur DIY akan terus menjadi posisi cukup krusial dan tidak hanya menjadi ‘ban serep’. Sejak UUK disahkan, posisinya ditegaskan secara legal formal terintegrasi dengan struktur politik tradisional Pakualaman. Keterikatan antara pemerintahan modern dan tradisional ini menempatkan posisi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY tidak mudah diintervensi oleh Pemerintah Pusat. Namun juga menuai ancaman terkait konflik internal.

Sehingga tidak aneh, jika posisi ini menjadi ‘gula’ yang menggiurkan yang menarik untuk diperebutkan. Selain itu, karakter Pakualaman yang agraris, menemukan momentumnya setelah lahan di Pesisir Selatan memiliki nilai ekonomis tinggi. Sebelumnya, kerajaan agraris yang bercirikan tanah, petani dan air tak sepenuhnya dimiliki Pakualaman. Pakualaman memiliki tanah kurang produktif dan hanya dihadiahi 4.000 cacah oleh Raffles. Sehingga, sejak didirikan, Pakualaman hanya memainkan peran minimal dalam percaturan politik, dibandingkan dengan tiga kerajaan Jawa lainnya.

Pakualaman yang inferior pada awal kemerdekaan, memilih menggabungkan diri dengan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan merelakan Kadipaten Adikarto bergabung menjadi Kulonprogo tahun 1951. Inilah satu-satunya amalgamasi dalam pemerintahan daerah di Indonesia yang bertahan hingga saat ini. Kunci suksesnya terletak pada kesadaran politiknya untuk selalu mengikuti posisi politik Kasultanan.

Posisi Wakil Gubernur bertambah penting ketika Yogyakarta tidak memiliki Gubernur pascamangkatnya HB IX. PA VIII menjabat Gubernur dari tahun 1989-1998 karena keraguan Soeharto untuk menentukan HB X meneruskan jabatan ayahnya. Bahkan HB X sempat berkata sulit baginya untuk menjadi Gubernur DIY selama Pemerintahan Soeharto.

Dibandingkan dengan ayahnya yang menjadi Wagub DIY selama 53 tahun (termasuk pejabat Gubernur DIY karena belum ada gubernur definitif), KGPAA PA IX (Ambarkusumo) menduduki posisi tersebut cukup singkat, hanya selama 12 tahun. Beliau memulainya sejak 2003 pada usia 65 tahun. Continue reading “Pura dan Wakil Gubernur”

Mengapa Menunda Pilkada?

KR140815Kedaulatan Rakyat, Analisis, 14 Agustus 2015

KPU, sesuai sistem di UU Pilkada yang mengharuskan minimal dua pasangan calon, menunda Pilkada di empat daerah: Kabupaten Tasikmalaya, Timor Tengah Utara, Blitar dan Kota Mataram sampai 2017. Apabila dilihat dari prosentase peserta Pilkada serentak 2015 yang berjumlah 269 daerah, tentu hal itu tak signifikan atau hanya 1,5%. Namun, apabila dihitung dari jumlah penduduk, keempat daerah tersebut memiliki 3, 5 juta jiwa yang nasibnya harus “digantung” selama dua tahun. Pejabat Bupati atau Walikota dilarang mengambil keputusan strategis yang berbeda dengan pemimpin daerah sebelumnya. Sebenarnya pilkada tak perlu diundur jika taat pada sejarah dan prinsip demokrasi.

Pemilihan bukan hal baru dalam sejarah politik lokal di Indonesia. Dari berbagai variasi cara dan metode pemilihan di desa-desa dalam praktek yang sudah menyejarah, kita mengenal calon tunggal yang melawan “bumbung kosong”. Tak jarang yang menang adalah “bumbung kosong” tersebut. Pada titik inilah pemilihan diulang. Tetapi calon yang sudah mendaftarkan diri sesuai dengan ketentuan yang ada tidak dihapus haknya untuk berkompetisi. Model serupa diadopsi dalam rekomendasi Kemendagri dimana pasangan tunggal melawan gambar kosong. Tapi toh akhirnya Perpu tidak keluar dan Pilkada di empat daerah tersebut ditunda sesuai PKPU 12/2015. Continue reading “Mengapa Menunda Pilkada?”

Review Perbandingan Beasiswa Dikti, AAS dan LPDP

14 Juli 2015 (Karena populernya tulisan ini, mohon diupdate kembali berbagai kebijakan yang mungkin sudah berubah sejak tulisan ini ditulis pada 2015 dan disesuaikan pada 2016).

Tidak mudah mencari perbandingan beasiswa yang apple to apple. Tetapi bagi yang masih bingung membandingkan beasiswa yang sekarang semakin banyak jumlahnya bagi WNI, berikut perbandingan ketiga beasiswa yang cukup populer di Australia antara Dikti yang dikhususkan bagi dosen, Australia Award Scholarship dan LPDP yang terbuka bagi seluruh WNI. Dikti dikelola oleh Direktorat Pendidikan Tinggi, Kementrian Riset dan Dikti. Beasiswa Dikti diambilkan dari APBN, sementara LPDP dari endowment fund yang sama-sama dikelola oleh Kemenkeu. Dana LPDP berasal dari endowment fund yang dicetuskan semasa menkeu Sri Mulyani yang diinvestasikan di berbagai usaha. Sehingga, keterlambatan Dikti salah satunya disebabkan karena anggaran terlambat di APBN. Jadi istilahnya, Dikti tidak pegang uang, uangnya di Kemenkeu yang juga mengelola LPDP. Sebelum masuk ke review, silakan perhatikan tabel berikut. Table berikut ini perbandingan antara Bayu Dardias (Dikti, enrolled Dec 2012), Burhanuddin Muhtadi (AAS, enrolled April 2013) dan Haula Noor (LPDP, enrolled July 2014).

Disclaimer: Perbandingan ini berdasarkan penuturan yang bersangkutan (termasuk kesediannya dimasukkan namanya di tulisan ini) dan buku panduan beasiswa masing-masing misalnya iniini, ini dan info perpanjangan disini untuk Dikti atau disini untuk LPDP dan juga komentar teman-teman di FB. Kantor kami bertiga berada di satu lantai di Hedley Bull Building, jadi perbandingan ini cukup bisa memberikan gambaran nyata atas kasus nyata. Mis-akurasi dimungkinkan terjadi terutama ketika ada kebijakan baru.   Continue reading “Review Perbandingan Beasiswa Dikti, AAS dan LPDP”

Dawuhraja: Perintah dari Langit

Berikut ini adalah rangkuman beberapa pertanyaan teman-teman media via email dan WhatsApp.

Apa isi Sabdaraja 30 April 2015?

Gusti Allah, Gusti Agung, Kuoso Cipto.

Kawuningono siro kabeh

Abdiningsun, putri dalem, sederek dalem, sentono dalem lan abdi dalem

nompo weninge dawuh Gusti Allah, Gusti Agung, Kuoso Cipto lan romoningsun,

eyang-eyang ingsun, poro leluhur Mataram.

Wiwit waktu iki, ingsun nompo dawuh kanugrahan,

dawuh Gusti Allah, Gusti Agung, Kuoso Cipto

 asmo kelenggahan ingsun,

Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati ing Ngalogo

 Langengging Bawono Langgeng, Langgenging Toto Panotogomo.

 Sabdo Rojo iki perlu dimangerteni, diugemi lan ditindakake yo mengkono sabdoningsun.

 

Apa isi Dawuhraja 5 Mei 2015?

Siro abdi ingsun, seksenono

ingsun

Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh, Suryaning Mataram, Senopati ing Ngalogo Langgenging Bawono Langgeng, Langgenging Toto Panotogomo

Kadawuhan netepake putriningsun

Gusti Kanjeng Ratu Pembayun

katetepake

Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram.

Mangertenono yo mengkono dawuh ingsun.

*Sabdaraja dan Dawuhraja ini berdasarkan rekaman klarifikasi Sultan HB X di Ndalem Wironegaran yang didengarkan penulis berulang-ulang. Jika ada kesalahan, teks asli dimiliki oleh Sultan HB X

Apa bedanya dengan yang sudah tersebar di media?

 Beberapa media menyebut kata “abdiningsun” di Sabdaraja dan “Abdi Ingsun” di Dawuhraja dengan “adiningsun”. Padahal saya dengarkan rekaman berkali-kali, Ngarso Dalem tidak mengatakan “adiningsun” tetapi “abdiningsun”. Adik-adik Sultan HB X itu adalah “sederek dalem”. Jadi masuk dalam kategori “abdiningsun” yang terdiri dari putri dalem, sederek dalem, sentono dalem dan abdi dalem.

Dalam konteks Dawuhraja yang hanya menyebut “abdiningsun” itu maksudnya empat golongan di atas (Putri Dalem, Sederek Dalem, Sentono Dalem dan Abdi Dalem). Jadi Dawuhraja tidak hanya dikhususkan untuk adik-adik Sultan sebagaimana tersirat jika kata “abdiningsun” diganti “adiningsun”, tetapi untuk seluruh abdiningsun.

Apakah penjelasan Ngarso Dalem HB X bahwa Sabdaraja dan Dawuhraja adalah perintah Allah lewat leluhurnya bisa dipercaya?

Saya adalah ilmuwan politik bukan ahli supranatural yang tidak bisa memverifikasi apakah hal tersebut memang benar terjadi. Saya hanya bisa memberi pendapat tentang konteks dan sejarah yang menggunakan “kuasa langit” sebagai bagian dari legitimasi.

Menggunakan “kuasa langit” sama sekali bukan hal baru di dalam Kerajaan di Indonesia. Dalam prasasti Telaga Batu yang ditemukan di Palembang yang dibangun Kerajaan Sriwijaya sekitar abad ke 7 masehi mengisahkan tentang kutukan-kutukan yang akan diterima bagi mereka yang membangkang atau memberontak kepada kerajaan. Hal itu terus menerus digunakan untuk membangun legitimasi.

Di Kasultanan Yogyakarta, “bisikan leluhur” yang paling terkenal (sekali lagi saya tidak memiliki kemampuan verifikasi) adalah ketika HB IX mendadak menandatangai perjanjian dengan Gubernur Yogyakarta Lucien Adam setelah berbulan-bulan buntu. HB IX mendapatkan bisikan dari leluhur untuk menandatangani karena Belanda akan segera pergi. Bunyinya “Tole, tekena wae, Landa bakal lunga saka bumi kene.”(Roem & etal, 2011, p. 37) Setelah ditandatangani, beliau dinobatkan tahun 1940 dengan Dr Lucien Adam duduk di sampingnya.

Sebelumnya, Sultan Hamengkubuwono X juga mengaku pernah dua kali mendapatkan “bisikan leluhur”. Pertama ketika gerakan reformasi. Sultan yang mengaku melakukan laku spiritual mendapatkan petunjuk bahwa Suharto akan jatuh setelah ada dua pelita yang dikerumuni oleh ribuan laron. Sehari sebelum Suharto jatuh, Sultan HB X dan PA VIII mengeluarkan amanat bersama yang terakhir dikeluarkan 5 September 1945 di Alun-Alun Utara. Dua pelita itu adalah dua beringin kurung dan ribuan laron itu adalah mahasiswa yang mendengarkan orasi beliau. Makna bisikan leluhur ini disampaikan setelah Suharto jatuh.

“Bisikan leluhur” kedua beliau menjelang Pilpres 2009. “Bisikan leluhur” itu mengatakan bahwa sudah saatnya beliau “berganti pakaian” yang kemudian diterjemahkan sebagai maju menjadi Capres. Sultan HB X belum pernah secara administrative didaftarkan sebagai kandidat Capres atau Wapres.

Apa persamaan dan perbedaan dari ketiga “bisikan leluhur” itu dengan yang saat ini digunakan sebagai dasar Sabdaraja dan Dawuhdalem? Continue reading “Dawuhraja: Perintah dari Langit”

Bracing for first female sultan

The Jakarta Post 8 May 2015

Yogyakarta Sultan Hamengkubuwono (HB) X appointed his eldest daughter, GKR Pembayun, crown princess with the new royal title of GKR Mangkubumi through a royal proclamation on May 5. This long-expected decision has stirred up a controversy in the province’s patriarchal Javanese society.

Unlike the neighboring Pakualaman principality, the sultanate of Yogyakarta has struggled to choose a successor to the current sultan, who is the first monogamous monarch of the line but does not have a son. His wife GKR Hemas has given him five daughters.

According to royal rules and precedents (paugeran), which are based on Islamic beliefs, the sultan must follow the right of primogeniture. When Sultan HB V passed away without any male heirs, his successor was his younger brother.

Therefore, according to jurisprudence, the throne should go to one of HB X’s 11 brothers from his father’s four wives.

Based on bloodline and position in the sultanate bureaucracy, KGPH Hadiwinoto is the most suitable candidate, not only because he has the highest royal title but also because he is the only sibling of the current sultan.

Long before he ascended to the throne, Sultan HB X had initiated reform inside the sultanate after his daughters reached maturity. Before HB X’s reign, the bureaucracy was men’s business, with only one women’s affairs office (kaputren).

During his tenure, HB X carefully placed his daughters as deputies of their uncles. When the uncles passed away, the sultan’s daughters took over the posts.

One of the most important jobs is KH Panitrapura, or sultanate state secretary, which is now held by the sultan’s second daughter GKR Condrokirono, who replaced GBPH Joyokusumo, the sultan’s youngest brother who died in 2013. HB X also created a new department to accommodate his daughters’ expertise, such as the 2012 establishment of the Tepas Tandha Yekti, which is responsible for IT and documentation. It is very clear that the sultan has prepared his daughters to lead the sultanate for a long time.
_____________________

The order changed the basic foundations of the Yogyakarta sultanate.

GKR Mangkubumi has been particularly groomed by her mother Hemas, a member of the Regional Representatives Council. Hemas’ excellent political and social skills have been important in Pembayun’s promotion.

The new heir’s first test in politics came last year when Pembayun’s husband, Wironegoro, contested the national legislative elections. Even though he lost miserably, the couple learned a lot for future entry into national politics.

However, the sultan’s desire to promote GKR Mangkubumi as his successor faces abundant cultural, political and legal obstacles. Culturally, all sultans carry male symbols. The Yogyakarta sultan bears the title of Kalifatullah, or senior spiritual leader, which is associated with men.

In the mosque, the sultan has a special place between the imam and male followers.

He also holds the sacred Continue reading “Bracing for first female sultan”

Sabdaraja

Screen Shot 2015-05-07 at 7.29.08 PM

Kedaulatan Rakyat, Analisis, 7 Mei 2015

Sultan Hamengkubuwono mengeluarkan dua kali Sabdaraja dalam selisih lima hari. Sabdaraja pertama menyingkirkan rintangan kultural yang menghambat GKR Pembayun menjadi Putri Mahkota. Sabdaraja kedua menegaskan perubahan nama GKR Pembayun menjadi Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng in Mataram. Menilik gelar Putra mahkota yang umumnya bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Hanom Amengku Negara Sudibaya Raja Putra Narendra Mataram, pesan Sultan jelas: Pembayun adalah Putri Mahkota.

Upaya Sultan menunjuk Pembayun sudah lama tetapi memuncak pada penyusunan Perdais Pengisian Jabatan Gubernur beberapa bulan lalu. Waktu itu beliau kalah, karena DPRD tetap memilih mengikuti UUK 13/2012 dan tetap meninggalkan pertanyan: Jika UUK yang narasinya sama dengan Perdais disambut Kraton dengan gembira, mengapa Perdais justru sebaliknya?

Penobatan seseorang menjadi penerus tahta seharusnya disambut dengan sukacita, bukan dengan tertutup dan sembunyi-sembunyi. Apalagi, UUK sudah jelas menyebutkan: Sultan yang bertahta adalah Gubernur DIY. Sehingga momentum ini harus dirayakan bersama dengan rakyat Yogyakarta. Tetapi yang justru terjadi, masyarakat curiga, dan tak ada ucapan selamat sama sekali.

Penobatan Putra Mahkota tak pernah sama kisahnya, tapi menarik untuk melihatnya kembali, setidaknya dalam kasus HB IX dan HB X. Dorojatun dikukuhkan menjadi Putra Mahkota di sebuah hotel di Batavia tahun 1939, setelah kembali dari Leiden. Di sana, HB VIII menyerahkan Keris Kanjeng Kiai Joko Piturun di hadapan beberapa anak lelaki lainnya, termasuk anak lelaki tertua, Hangabehi. HB VII meninggal beberapa hari kemudian di Stasiun Tugu. Selo Sumardjan (2012) menulis dalam disertasinya bahwa saat itu muncul petir di siang bolong, menandakan penerusnya adalah orang yang istimewa. Sejak saat itu, HB IX selalu memakai Keris Joko Piturun, tidak pernah memakai Keris Kanjeng Kiai Kopek (keris tertinggi) yang khusus untuk Raja.

Penobatan KGPH Mangkubumi hanya berlangsung singkat, sesaat sebelum dikukuhkan menjadi Sultan. Beliau disebut putra mahkota lima menit karena sampai HB IX wafat tidak menunjuk putra mahkota. Seluruh Paman, Pakde dan adik-adik Sultan bersepakat menunjuk Mangkubumi menjadi Putra Mahkota dan semuanya hadir pada acara penobatan, termasuk tamu undangan dan masyarakat. Kemudian ada prosesi pembukaan tombak pusaka dan penghunusan keris oleh beberapa pangeran yang menandakan bahwa siapapun yang menolak, akan berhadapan dengan keluarga kerajaan.

Seluruh prosesi ini dihapuskan oleh HB X pada proses penobatan Pembayun. Garis keturunan laki-laki merupakan paugeran paling utama dalam seluruh kerajaan Islam di Indonesia. Lima hari sebelumnya, keris Joko Piturun dan Keris Kanjeng Kiai Ageng Kopek “disempurnakke” dan terancam teronggok di pojok Gedhong Prabayekso karena tak memiliki pinggang yang layak diikuti.

Tetapi yang paling penting, penobatan Pembayun tidak diikuti oleh dukungan politik keluarga keraton. Tidak ada satupun adik-adik Sultan yang hadir. Setelahnya, tidak ada satupun yang mengucapkan dukungan. Bahkan, PA IX juga tidak tampak. Satu-satu nya pendukung Pembayun adalah Ngarso Dalem sendiri. Continue reading “Sabdaraja”

Sabdatama dan Sabdaraja Sultan Hamengkubuwono X

Apa perbedaan Sabdatama dan Sabdaraja?

Sejak dinobatkan pada 7 Maret 1989, Sultan sudah mengeluarkan dua kali Sabdatama dan  Sabdaraja 30 April dan Dawuhraja (atau Sabdaraja II) 5 Mei. Tapi ketiganya hanya berbeda penamaannya saja.

Sabdatama I (10 Mei 2012) ditujukan untuk memastikan poin-poin keistimewaan Yogyakarta diakomodasi dalam Undang Undang. Sabdatama II (6 Maret 2015) ditujukan untuk mengakhiri polemik terkait pembahasan Perdais tentang Pengisian Jabatan Gubernur. Sabdatama ditujukan untuk kalangan eksternal, diumumkan di Bangsal Kencono. Pada saat mengumumkan Sultan mengenakan pakaian batik model peranakan menggunakan blangkon. Sabdatama dihadiri Paku Alam yang bertahta dan sebagian besar adik-adiknya.

Sabdaraja I (30 April 2015) berisi lima hal, tiga berkaitan dengan gelar: mengganti “Buwono” menjadi “Bawono” ,“Sedasa” menjadi “Sepuluh” dan menghilangkan “kalifatullah”, mengakhiri perjanjian pendiri Mataram antara Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan, serta menyempurnakan Keris Kanjeng Kiai Ageng Kopek (pusaka Sultan) dan Keris Kanjeng Kiai Joko Piturun (pusaka putra mahkota). Dawuhraja hanya berisi satu hal yaitu merubah gelar Gusti Kanjeng Ratu Pembayun menjadi Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng in Mataram. Sabdaraja ditujukan ke kalangan internal, dan diumumkan di Sitihinggil. Pada saat mengumumkan, Sultan mengenakan pakaian kebesaran warna hitam (keprabon), lengkap dengan pusaka inten bersegi delapan dan kuluk warna biru yang dikenakan terakhir pada 1989.

Berikut perbandingannya:

 
Sabdatama I
Sabdatama II
Sabdaraja
Dawuhraja
Diumumkan
10 Mei 2012
6 Maret 2015
30 April 2015
5 Mei 2015
Selisih
23 tahun
2 tahun, 10 bulan
2 bulan
5 Hari
Sifat
Terbuka
Terbuka
Tertutup
Tertutup
Tempat
Bangsal Kencono
Bangsal Kencono
Siti Hinggil (Bangsal Manguntur Tangkil)
Siti Hinggil (Bangsal Manguntur Tangkil)
Pakaian Sultan
Batik Peranakan
+Blankon
Batik Peranakan
+Blangkon
Kebesaran
+Kuluk Wakidan Biru
Kebesaran
+Kuluk Wakidan Biru
Kehadiran
Lengkap termasuk PA IX
Lengkap termasuk PA IX
Ratu Hemas, Putri Dalem   dan KGPH Hadiwinoto
Semua Rayi Dalem dan PA IX tidak datang
Latar Belakang
Penyusunan RUUK
Penyusunan Perdais+Suksesi
Suksesi
Suksesi
Target
Eksternal Kraton
Internal dan Eksternal Kraton
Internal Kraton
Internal Kraton
Isi
Download disini
Download disini
Revisi Gelar:
1.     Kalifatullah
2.     Bawono
3.     Sepuluh
Revisi:
4.      Perjanjian pendiri
Mataram
5.      Keris Kanjeng Kiai Ageng Kopek
dan
Kiai Joko Piturun
Gelar Gusti Kanjeng Ratu Pembayun menjadi Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng in Mataram
Keberhasilan
Berhasil (UUK disahkan)
Gagal (Perdais tidak menghapus kata “istri”)
Belum diketahui
Belum diketahui
Dampak Kohesifitas Internal
United
Divided
Divided
Divided
Dampak Kohesifitas Eksternal
United
Divided
Divided
Divided

Apa maksudnya merevisi perjanjian Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan?

Itu adalah makna politis yang maksudnya, garis keturunan tidak lagi garis laki-laki, tetapi juga bisa perempuan.

Apa maksudnya “menyempurnakan” Keris Kiai Ageng Kopek dan Keris Kiai Joko Piturun?

Itu adalah perkataan politis yang maksudnya adalah “putri mahkota” dan Sultan selanjutnya (dalam hal ini GKR Pembayun) tidak perlu lagi menggunakan keris. Ketika Sultan mengatakan “nyempurnakke” itu berarti pula mengindikasikan bahwa leluhurnya HB I-IX memegang keris-keris yang belum sempurna.

Apakah penobatan GKR Mangkubumi menjadi “Putri Mahkota” akan otomatis menjadi Sultan?

Belum tentu. Walau peluang menjadi Sultan makin terbuka. Ada beberapa sebab:

Pertama, dalam sejarah, HB VII sempat empat kali memilih Putra Mahkota, baru pada pada pemilihan keempat yang bersangkutan menjadi Sultan HB VIII. Putra Mahkota pertama meninggal dunia setelah dinobatkan. Dokumen pribadi Residen Belanda menyebut kematiannya karena penyakit ayan. Putra Mahkota Kedua kurang sehat kejiwaannya setelah dinobatkan menjadi putra mahkota. Bahkan pada pemilihan ketiga, Gusti Putro yang sudah ditentukan tanggal Jumenengan, meninggal dunia sebelum dinobatkan. Kematiannya masih misterius hingga saat ini (Harjono 2012 h. 42).  Itu sebabnya, tidak semua adik Sultan bersikap keras karena menganggap Sultan adalah posisi yang tidak bisa dipaksakan. Jika bukan jatahnya, akan menerima akibatnya.

Kedua, penobatan menjadi Sultan butuh legitimasi dan legitimasi tidak dapat diwariskan. Rakyat Yogyakarta tunduk pada Sultannya, tetapi belum terbukti tunduk pada GKR Pembayun, satu-satunya perempuan dalam sejarah Mataram yang menjadi “Putri Mahkota”. Continue reading “Sabdatama dan Sabdaraja Sultan Hamengkubuwono X”