Orde Terberat Partai Golkar

Radar Jogja, 09 Oktober 2009

Dimuat Juga di Jawa Pos, Radar Timika, Radar Sulteng, Radar Banten, Jambiekspress dll, dengan judul Jalan Terjal Hadang Golkar.

ABURIZAL Bakrie bakal memimpin Partai Golkar lima tahun ke depan. Di tengah kekecewaan Surya Paloh, dan dua kandidat lainnya, Ical optimistis bisa membawa Golkar menjadi lebih baik. Bisakah target ideal itu direalisasikan? Bagaimanakah kemungkinan perpaduan Golkar baru dan pemerintahan SBY-Boediono, berdasarkan rekam jejak Golkar setelah Soeharto jatuh?

Terlepas dari kekalahan di pemilu lalu dari Partai Demokrat, harus diakui, saat ini Golkar adalah salah satu partai politik dengan institusi partai yang mapan. Wajar seandainya posisi ketua umum Golkar menjadi stepping stone untuk meraih posisi puncak negeri ini.
Hal ini lebih disebabkan karena Golkar menikmati perlakukan khusus selama Orba. Kantor cabang Golkar di daerah selalu berada di pusat kota dan megah, lengkap dengan pohon beringin yang tumbuh lebat, berbeda dengan partai lainnya yang masih bersusah payah membangun kantor baru agar bisa pindah dari kantor kontrakan. Golkar juga memiliki sistem partai yang baik dan kader-kader yang kenyang pengalaman.
Itu sebabnya, Golkar mampu mereposisi diri setelah pemilu 1999 dan akhirnya memenangkan pemilu 2004. Dalam sepuluh tahun terakhir, kader Golkar menduduki jabatan strategis di tingkat pusat dan daerah. Tapi nampaknya, langkah Golkar ke depan akan semakin terjal karena kehilangan Golkar di dua ranah penting sekaligus, eksekutif dan legislatif.
Pertama, inilah pertama kalinya Golkar kehilangan posisi sebagai Ketua DPR sejak pemilu 1971. Ketika Soeharto jatuh, Golkar masih mampu menempatkan kadernya, Akbar Tanjung dan Agung Laksono di posisi ketua DPR. Posisi itu sekarang dipegang Marzuki Alie dari Demokrat. DPR memiliki arti penting karena menjadi kekuatan politik baru Indonesia pasca empat Amandemen UUD 1945.
DPR, selain melakukan fungsi legislasi, kontrol dan anggaran juga memiliki peran signifikan dalam menentukan pejabat negara. Presiden memerlukan DPR dalam menyatakan keadaan perang, mengangkat duta dan memberikan amnesti dan abolisi. Selain itu, persetujuan dan kerjasama DPR dibutuhkan untuk mengisi posisi di seluruh lembaga penting negeri ini, misalnya KPK, KPU, MK, Gubernur BI dll.
Kuatnya posisi politik DPR juga menjadi daya tarik hadirnya politik uang. Karena itu banyak anggota DPR yang ditanggkap KPK dalam proses pengisian jabatan-jabatan tersebut. Fungsi ketua DPR dalam menjalankan keseluruhan tugas-tugas baru DPR ini jelas signifikan.
Hal ini berkebalikan dengan MPR yang hanya berfungsi seremonial. Tanpa agenda amandemen UUD 1945 dan Presiden yang baik-baik saja, fungsi MPR hanya melantik Presiden yang dipilih langsung rakyat. Dua fungsi MPR, memilih Presiden dan membuat GBHN telah digantikan dengan Pilpres. Selain ruangan yang besar, hampir tak ada yang bisa dibanggakan dari posisi ketua MPR.
Kedua, kekalahan Kalla di Pilpres semakin memudarkan harapan kader Golkar dapat menduduki posisi strategis di pemerintahan SBY-Boediono. Seandainya Golkar di bawah Ical akan bergabung dalam barisan koalisi SBY, posisi paling tinggi yang dapat diraih hanyalah posisi menteri. Dalam pemerintahan sebelumnya, Kalla masih berada di posisi cukup menentukan sebagai Wapres yang berbagi peran dengan presiden. Selain itu, beberapa pos penting seperti kepala Bappenas masih dipegang kader Golkar.
Jika diumpamakan sebagai pemudik, Golkar yang terlambat masuk bus, dipaksa berdesakan untuk mendapatkan kursi yang telah terisi pendukung koalisi. Sementara itu, kursi semakin sulit didapat setelah Banteng lebih dulu melompat naik bus. Karakter sopir yang ingin merangkul semua golongan, mempersilahkan siapa saja masuk bus, walaupun sadar kursinya tak cukup lagi. Continue reading “Orde Terberat Partai Golkar”

Kembalinya Keluarga Cendana

Kedaulatan Rakyat-Analisis-30082009

picture1Kabar mengejutkan keluarga Cendana kembali menjadi perdebatan penting. Dua anggotanya yang paling banyak menghiasi berita, Mbak Tutut dan Tommy, tertarik masuk pentas politik lewat Munas VII Partai Golkar (PG) di Pekanbaru Oktober mendatang. Tommy jelas mengungkapkan ketertarikannya, sedangkan Mbak Tutut tengah mempertimbangkannya. Apakah yang membuat mereka tertarik dengan Partai Golkar dan bagaimana peluangnya di pentas politik nasional?

Bagaimanapun, PG tetap merupakan kendaraan politik terbaik bagi keluarga Cendana dalam politik karena beberapa pertimbangan sebagai berikut. Pertama, sisa-sisa dukungan rejim Orde Baru selama 32 tahun masih tampak jelas menggurat dalam tubuh PG. Secara kasat mata, hanya PG yang memiliki jaringan kuat di hampir seluruh kabupaten/kota, kecuali di daerah pemekaran. Selain pengorganisasian, jalur karir dan manajemen yang jelas dan bagus, infrastrukstur PG juga paling kuat. Kantor-kantor cabang PG di daerah terletak di lokasi strategis. Kekuatan infrastruktur ini sulit disaingi partai lain yang masih banyak yang mengontrak, atau bertempat di rumah salah satu pengurusnya. Artinya walaupun dana yang dikeluarkan untuk menjadi pucuk pimpinan PG besar, hal ini hanya secuil dibandingkan dengan membangun sendiri seluruh sistem organisasi dan infrastruktur tersebut.

Kedua, PG memiliki banyak kader yang berkualitas yang dibuktikan oleh kuatnya persaingan di dalam organisasi. Dibandingkan dengan PDIP dan PD, PG relatif tidak memiliki pimpinan karismatis tapi tetap mampu mendapatkan suara yang signifikan. Artinya, “keberhasilan” PG menjadi runner up pemilu 2009 dapat dibaca sebagai hasil kerja keras kader berkualitas. Selain itu, pada Pilpres 2004, hanya PG yang memberlakukan konvensi internal untuk kandidat presiden. Walaupun hal ini tidak diteruskan di Pilpres 2009, hal ini menandakan begitu kompetitifnya persaingan didalam tubuh partai. PG juga tercatat sebagai partai yang paling banyak “meluluskan” alumninya di berbagai partai politik. Kader-kader Golkar yang menjadi kepala daerah di lebih 200 kabupaten/kota, baik atas dukungan PG atau partai lainnya. Continue reading “Kembalinya Keluarga Cendana”

Kabinet Dapur

Kedaulatan Rakyat-Analisis-21 Agustus 2009

Kasak-kusuk pembentukan kabinet SBY II sudah bergulir sejak pencalonannya dilakukan. Menteri-menteri strategis, misalnya menteri Pendidikan yang memegang 20% APBN, diincar banyak partai, bahkan secara terang-terangan. Dengan modal sekitar 26% kursi DPR dan satu putaran Pilpres, seharusnya SBY berani memilih anggota kabinet dengan pertimbangan profesional daripada kabinet “pelangi” untuk menghindari pengulangan kesalahan kitchen cabinet.

Istilah Kitchen Cabinet (Kabinet Dapur) pertama kali digunakan untuk mendiskripsikan tingkah laku Presiden ketujuh Amerika, Andrew Jackson di awal tahun 1830-an. Kitchen Cabinet adalah para penasihat Presiden tidak resmi yang pararel dengan Kabinet sebenarnya. Langkah politik Presiden sangat  ditentukan oleh “bisik-bisik” di belakang meja dapur dan bukan di the real cabinet.

Dengan membentuk kabinet pelangi, SBY akan sulit mewujudkan janji kampanyenya, sebagaimana terjadi di pemerintahan 2004-2009. Kemenangan SBY tidak disebabkan karena terealisasinya janji kampanye Pilpres 2004 tetapi lebih kepada politik populis BLT (Mietzner 2009). Belajar dari kesalahan kabinet Indonesia bersatu, beberapa faktor kurang efektifnya pemerintahan disebabkan antara lain. Pertama, SBY tidak leluasa memilih orang-orang yang benar-benar dikehendaki menjadi menteri. Faktor-faktor yang diterapkan untuk memilih menteri menjadi sangat beragam. Faktor keahlian dikalahkan dengan faktor politik strategis lima tahun. Kedua, terjadinya rangkap jabatan menteri dan pengurus partai politik. Setiap menteri yang berasal dari partai politik akan hadir dalam identitas ganda, sebagai menteri dan sebagai wakil partai di kabinet sekaligus. Tarik ulur kepentingan partai dan posisi menteri membuat birokrasi tidak efektif.

Continue reading “Kabinet Dapur”

Parkir Waton Gratis….

Saya kaget membaca berita di Kompas tentang parkir berbayar di UGM bersamaan dengan satu pintu masuk ke UGM. Komentar di berita itu didominasi penolakan terhadap rencana parkir berbayar (belakangan, saya baru tahu jika ternyata surat edaran ttd Prof. Ainun Naim tidak berbicara tentang bayar membayar, hanya ujicoba pengaturan lalu lintas di UGM- download link dibawah).  UGM dianggap komersial, menghancurkan predikat sebagai kampus kerakyatan dsb. Saya tidak terlalu risau dengan parkir barbayar, dan justru mendukung ide ini. Tapi ide tentang satu pintu masuk mengganjal di kepala. Bagaimana bisa satu pintu karena lokasinya yang terbuka, dipisahkan jalan kaliurang dan memiliki RS Sardjito yang menjadi RS Rujukan:roll:? Mungkin sudah banyak yang berubah di UGM sejak saya tinggalkan hampir dua tahun, tetapi apakah memang sedrastis itu perubahannya?

Ada beberapa alasan untuk mendukung ide parkir berbayar di UGM. Alasan itu antara lain:

Pertama, parkir berbayar bukan isu yang baru, sejak saya kuliah (1997-2002), parkir di UGM sudah membayar. Setiap terjadi perhelaan besar di UGM, kendaraan yang parkir selalu harus membayar. Jika ada wisuda, pameran computer di GSP, Mantenan di GSP atau wisma KAGAMA, seingat saya parkirnya tidak gratis. Selain itu, pengelolaan dan transparansinya perlu dipertanyakan.

Beberapa tempat sudah menerapkan parkir berbayar sejak lama.  Parkir di Perpustakaan Pusat Unit 1 juga selalu membayar sejak dulu. Setiap Sholat Jumat di Masjid UGM atau “sarapan” di Sunday Market UGM juga bayar.  Parkir di sekitar kantor pos, Kosudgama dan KU juga bayar. Jadi, jika alasan membayar menjadi polemik, kenapa tidak dari dulu ? Artinya ketika dikelola sendiri-sendiri, tidak jelas tranparansinya mengapa tidak diprotes, sedangkan ketika akan dikelola secara lebih sistematis mengapa ditolak?

Continue reading “Parkir Waton Gratis….”

Makan Siang Terjauh

Seberapa jauhkan anda “tersesat” di perjalanan dan akhirnya hanya memutuskan untuk makan siang? Jika jawabannya “masih” dalam kisaran puluhan kilometer, anda masih beruntung. Perjalanan Sabtu (14/3/2009), lima bulan lalu sungguh menakjubkan. Saya makan siang di KFC setelah menempuh perjalanan 218 km dari Queanbeyan menuju kota kecil Shellharbour di pesisir timur Australia. Melenceng 110 km dari tujuan utama di Goulburn, kota antara Canberra dan Sydney. Bagaimana itu bisa terjadi?

Tidak cukup hanya menaiki mobil dengan kondisi bagus dan tubuh dengan kondisi fit, berkendara di Australia praktis membutuhkan perangkat penting lainnya: google maps dan GPS. Google Maps diperlukan untuk menganalisa jarak, waktu tempuh sesuai dengan rute yang dipilih. GPS memandu perjalanan dengan bantuan satelit, termasuk estimasi waktu kedatangan. Di Australia, tidak ada pedagang atau orang-orang di pinggir jalan yang bisa ditanyai dan sulit berhenti di pinggir jalan. Menembus kepadatan Sydney dan Melbourne hampir mustahil dilakukan tanpa GPS dan (minimal) peta.

Masalahnya, database di google maps terbatas, dan disinilah awal mula bencana tersebut. Rencananya, istri saya yang menjadi anggota Management Committee di Queanbeyan City Council ingin ikut menghadiri acara multicultural di Belmore Park di Goulburn. Tapi hanya mengetikkan Belmore Park, sehingga entry pertama yang muncul adalah Belmore Park di Shellharbour. Sedikit sentuh-sentuh di GPS, meluncurlah kami ke Shellharbour. Nah, tiga setengah jam kemudian, barulah kami sadar bahwa kami menyetir terlalu jauh. Tak apalah, kami akhirnya menikmati kota kecil di pinggir laut ini setelah telebih dahulu makan siang di KFC. Lagian, perjalanannya juga mengasikkan. Daripada dibawa stress, mendingan dibawa ketawa iya gak?

Silly thing isn’t it?

Pemilu Berbayang Putusan Hukum

Kedaulatan Rakyat-Analisis-30 Juli 2009

Putusan MA tentang penentuan kursi DPR kembali menimbulkan prahara baru dalam politik Indonesia. Dapatkah logika hukum dipakai untuk menyelesaikan perselisihan politik? Bagaimana dampaknya terhadap arsitektur politik Indonesia?

Otto von Bismarck, Perdana menteri pertama Jerman pernah mengatakan frasa yang sangat terkenal, “Laws are like sausages, it is better not to see them being made” (hukum itu seperti sosis, lebih baik tidak melihat bagaimana ia dibuat). Dalam politik kontemporer Indonesia, bukan hanya prosesnya yang tidak layak untuk dilihat, dampak keputusan hukum tidak menyenangkan, terutama bagi partai-partai yang kehilangan kursi DPR.

Arsitektur politik sebuah negara dengan sistem demokrasi tidak langsung sangat ditentukan oleh desain sistem pemilu. Sistem pemilu merupakan aturan main yang menentukan siapa pemenang dan bagaimana kandidat berkompetisi untuk mentransformasikan suara rakyat menjadi kursi. Bahkan, sistem pemilu menentukan kualitas kebijakan yang dihasilkan. Lebih jauh, Pippa Norris (2004) menuliskan bahwa electoral engineering tidak hanya mempengaruhi bagaimana sistem politik terbentuk, tetapi juga berpengaruh terhadap perilaku aktor-aktor politik di dalamnya. Pendeknya baik buruknya bangsa salah satunya ditentukan oleh pilihan sistem pemilu.

Dalam negara demokrasi, sistem pemilu merupakan hasil negosiasi politik antar kekuatan-kekuatann politik. Dalam sistem presidensial murni di Indonesia, kekuatan politik utamanya adalah parlemen dan presiden. Keduanya memiliki mandat langsung dari rakyat melalui pemilu.

Menariknya, desain politik tidak hanya ditentukan oleh eksekutif dan legislatif tetapi juga ditentukan oleh yudikatif. Secara filosofi, hadinya legislatif dimaksudkan untuk memastikan bahwa peraturan memang menjadi “the only game in the town” dan tidak dimaksudkan untuk membuat “game” itu sendiri. Namun demikian dua putusan hukum oleh MK maupun MA berdampak kuat dalam keseluruhan sistem politik Indonesia. Continue reading “Pemilu Berbayang Putusan Hukum”

Teror yang Gagal

Kedaulatan Rakyat-Analisis-21 Juli 2009

RUANGAN Education 424 University of Sydney itu mendadak sunyi ketika panitia menyampaikan berita tentang dua bom yang mengguncang Jakarta. Jumat 17/7/09 adalah hari terakhir dilaksanakannya Indonesian Council Open Conference (ICOC) 2009 yang dihadiri Indonesianists (ahli Indonesia) dari seluruh dunia. Dua bom itu seolah menghancurkan asumsi dasar konferensi yang didirikan di atas pilar-pilar perdamaian, kesetaraan dan demokrasi yang jauh dari teror. Sukseskah dua bom itu membalikkan pandangan dunia atas Indonesia?


Sampai saat ini, tidak ada definisi jelas tentang terorisme. Tetapi setidaknya beberapa kriteria terorisme dapat dirangkum sebagai berikut (Richardson (2006), Deen (2005) dan Pape (2005)): Pertama, tindakan teror bertujuan untuk memberikan rasa takut (fear). Kedua, tujuan jangka panjang jauh lebih penting daripada akibat jangka pendek. Ketiga, tindakan teror adalah upaya untuk mewujudkan sesuatu ideologi. Keempat, memiliki korban dari kalangan sipil dan bersifat massal. Kelima, dilakukan pada waktu dan tempat yang tidak terduga. 


Berdasarkan definisi tersebut, sebenarnya tindakan teror bom di dua hotel mewah di Jakarta dapat dikatakan gagal daripada berhasil. Keberhasilan teror tersebut terletak pada output-nya saja yaitu bom yang meledak dan gagal mencapai tujuan lainnya (outcome) yang jauh lebih besar dilihat dari beberapa fakta sebagai berikut.


Pertama, bom tersebut gagal memberikan rasa takut kepada masyarakat Indonesia dan dunia. Hampir tidak ada perubahan yang berarti dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama Jakarta. Ekonomi Indonesia tidak terguncang. Selain itu, tidak terjadi eksodus di berbagai bandara di Indonesia, pusat perbelanjaan berjalan normal, tingkat hunian hotel di Jakarta relatif stabil dan aktivitas Jakarta yang berjalan normal.


Kedua, bom tidak berhasil membawa korban yang jauh lebih besar yang bisa jadi, menjadi tujuan utama peledakan. Ceritanya akan jauh berbeda jika bom ‘berhasil’ menewaskan pasukan Manchester United (MU) dan Tim All Star Indonesia. Paling tidak, pesan penting pelaku teror akan membekas seumur hidup di pecinta sebakbola dan menghancurkan satu generasi sebakbola Indonesia dan Inggris. Selain itu, dalam Piala Dunia di Afrika Selatan tahun depan, pesan teroris akan kembali menggema di seluruh dunia.


Ketiga, agenda teroris untuk memanjangkan isu selama mungkin terkubur oleh pernyataan presiden sore hari yang menghubungkan teror tersebut dengan pilpres. Pernyataan ini telah mengaburkan motif dan agenda sebenarnya dari pemboman karena menjadi spesifik dan sempit hanya berkaitan dengan kekecewaan pada pilpres. Tindakan teror tidak dilakukan berdasarkan fenomena ‘dadakan’ seperti ketidakpuasan pilpres, tetapi lebih merupakan kumpulan dendam yang terbentuk sedikit demi sedikit dalam waktu lama. Dua buku otobiografi karya Iman Samudra dan Amrozi jelas mengindikasikan hal tersebut. 


Keempat, dilihat dari dampaknya, bom saat ini belum sebanding dengan bom mobil di JW Marriot tahun 2003 atau bom Bali 2002. Hal ini penting untuk melihat tingkat kekuatan teroris di Indonesia. Artinya, aparat keamanan Indonesia sebenarnya telah berhasil mereduksi secara signifikan jaringan dan kekuatan teroris di Indonesia. Kita seharusnya bangga dengan kinerja para aparat yang rela berpisah berbulan-bulan dengan keluarga demi memburu para teroris tersebut. Jika kita mencelanya, hal ini hanya akan menambah luas senyuman di mulut para teroris yang masih berkeliaran.


Kelima, ‘Bom MU’ juga gagal menghapus predikat Indonesia sebagai negara paling demokratis di Asia Tenggara. Demokratis atau tidaknya sebuah negara tidak ditentukan oleh 10-16 orang (jumlah teroris di Indonesia seperti diprediksi media Australia) yang di dalam otaknya tidak ada pikiran lain selain membunuh kaum westerners. Demokrasi ditentukan oleh 176 juta orang yang telah berhasil memilih Presiden Indonesia secara langsung untuk kedua kalinya, dan 171 juta rakyat Indonesia yang berhasil memilih wakilnya di DPR dan DPD.


Walaupun demikian, peristiwa ‘Bom MU’ tersebut kembali menegaskan kegagalan demokrasi untuk mereduksi terorisme. George W Bush menggunakan asumsi bahwa dengan menjadikan negara-negara di Arab ‘terinstal’ demokrasi akan meminimalisir kemunculan terorisme. Dalam jangka panjang dapat meningkatkan keamanan warga Amerika sendiri. Dimulailah serangkaian proses ‘instalasi’ demokrasi tersebut dengan cara-cara yang jauh dari demokratis. Namun tampaknya demokrasi bukanlah solusi untuk terorisme (Gause, 2005).

 

 

Oposisi Setengah Hati

 

Kedaulatan Rakyat -Tajuk Rencana- 16 Juli 2009

Tinggal menunggu waktu, SBY hampir bisa dipastikan memimpin Indonesia untuk kedua kalinya. Pada saat yang sama, para penantang yang kalah, berikut barisan koalisinya, gundah. Kemanakah layar mereka akan tertuju? Bergabung bersama penguasa, menjadi oposan, atau tidak menjadi dua-duanya?

Oposisi dapat dipahami sebagai gabungan partai-partai politik di DPR yang berseberangan dengan pemerintah. Wacana oposisi kemungkinan besar akan muncul sebagai bagian dari berita politik, setidaknya sampai pemerintahan baru berjalan Oktober kelak. Wacana oposisi juga akan dipakai sebagai tawar menawar partai untuk mendapatkan jatah menteri di kabinet. Namun demikian arsitektur politik Indonesia menyulitkan hadirnya oposisi. Beberapa sebab itu antara lain:

Pertama, Indonesia menganut sistem presidential murni yang memisahkan secara tegas garis antara eksekutif dan legislatif. Oposisi lazim muncul dalam sistem parlementer dimana eksekutif/pemerintah menyatu dengan parlemen. Pemimpin tertinggi pemerintahan yang biasanya disebut Perdana Menteri berikut kabinetnya adalah bagian dari parlemen. Begitu juga sebaliknya, pimpinan oposisi adalah bagian dari parlemen. Artinya, dalam pemerintahan parlementer, pemilihan hanya dilaksanakan satu kali dalam periode tertentu untuk memilih seluruh anggota parlemen termasuk kabinet. Lazim terjadi, pimpinan partai pemenang kemudian menjadi perdana menteri. Indonesia pernah mencoba melakukan praktik parlementer pada awal kemerdekaan, walaupun kurang berhasil.

Continue reading “Oposisi Setengah Hati”

Presiden dan Komposisi DPR

Kedaulatan Rakyat, Analisis- 11 Juli 2009

Dalam setiap kesempatan debat dan kampanye, setiap kandidat presiden dan wakil presiden selalu berjanji untuk melakukan banyak hal di berbagai sektor. Pengangguran akan diturunkan, pertumbuhan ekonomi ditingkatkan, pendidikan digratiskan dan kesehatan dijamin. Semudah itukah presiden terpilih merealisasikan janji kampanyenya?

Kebijakan publik tidak hanya didasarkan atas keinginan presiden semata tetapi harus dikontestasikan dalam struktur politik yang ada. Tidak seperti negara diktator yang kekuasaan tersumbu pada satu titik, negara demokratis menyebar kekuasaan “veto”-nya pada beberapa lembaga. Indonesia yang merupakan satu-satunya negara demokratis di Asia Tenggara dengan kategori “free” (Freedomhouse.org). Artinya, walaupun pasangan capres memenangkan pemilu, bahkan dengan satu putaran sekalipun, upaya mewujudkan misi dan programnya masih teramat panjang dan berliku.

Dalam sistem presidensial murni yang diterapkan di Indonesia, tantangan terbesar presiden terletak pada kemungkinan tercapainya konsensus di DPR. Proses penyusunan kebijakan publik memerlukan dukungan DPR sebagai bagian dari mekanisme checks and balances. Semakin banyak Presiden didukung di DPR, semakin mudah merealisasikan program-programnya. Untuk tujuan inilah, siapapun presiden terpilih tidak memiliki pilihan lain selain menyusun kabinet “pelangi” yang menteri-menteri berasal dari berbagai partai politik. Dengan memiliki kekuatan di eksekutif dan legislatif sekaligus, realisasi program kerja diusahakan untuk seminimal mungkin di veto oleh DPR.

Continue reading “Presiden dan Komposisi DPR”

Musnahnya Nama Lokal Indonesia

Dari iseng-iseng di semester break kali ini, kalau diamati,  ternyata banyak hal menarik dalam proses pemberian nama anak. Teman-teman saya, teman-teman adik dan kakak saya, memberi nama anak mereka dengan nama yang tidak berbahasa Indonesia dan tidak berbahasa daerah. Bahkan dalam lingkup extended family, nama anak-anak didominasi oleh nama dengan bahasa Arab untuk kami yang Muslim. Setelah saya cermati, ternyata nama kedua anak saya pun juga bisa dibilang terjangkiti virus ke-Arab-an tersebut. Gejala apakah ini?

Cobalah anda perhatikan nama anak-anak dan balita sampai setidaknya usia sepuluh tahun, terutama dari kelas menengah perkotaan Indonesia. Dominasi nama-nama berbahasa Arab terbukti sangat dominan. Nama perempuan Zahra misalnya, sangat laris belakangan ini, entah sebagai nama depan atau nama belakang. Nama seperti Raihan, untuk laki-laki, juga tidak kurang menarik penggemar.

Sebenarnya, tren nama Arab sudah muncul sejak Islam pertama kali menyebar di Indonesia. Buku sejarah menyebut Islam masuk ke Indonesia sekitar abad 11-12. Beberapa temuan artefak menunjukkan Islam telah datang lebih dulu, sekitar abad 7 (misalnya temuan stempel di bangkai kapal di perairan Cirebon). Sejak ditemukannya makam Fatimah binti Maemun di abad 11 di Gresik, nama-nama Arab menghiasi tren nama di Indonesia. Continue reading “Musnahnya Nama Lokal Indonesia”

Peti Mati Bernama Hercules

Dimuat di TANDEF

Salah satu pesawat TNI AU terjatuh lagi pagi ini. Belum jelas apa penyebabnya, yang jelas petaka adalah ini musibah berikutnya setelah pesawat Fokker jatuh di Bandung dan menewaskan putra terbaik di PaskhasAU. Saya langsung mengganti status di Facebook menjadi “Audit TNI !!!!”. Banyak komentar masuk. Musibah jatuhnya pesawat TNI AU sangat emosional buat saya. Mengapa?

Salah seorang sahabat, Norman Nugroho, tewas bersama jatuhnya Chopper Superpuma di Wonosobo dua hari sebelum tsunami Aceh di akhir 2004. Waktu itu pangkatnya masih Letnan Satu. Saya berdebar-debar menunggu berita di tagline TV setelah ditelpon kawan-kawan berkali-kali tentang kabar Norman adalah salah satu dari 14 korban. Norman adalah teman baik ketika SMA dan kami mendaki beberapa gunung bersama, termasuk berbagai kegiatan di SMA antara lain Pramuka. Dia Ketua PMR saya ketua Glacial (Pecinta Alam). Kami sering kerja bareng. Bersama teman saya yang lain, kami bertiga pernah ikut Geowisata di Bantul yang diselenggarakan Mapala Geologi UGM selama tiga hari. Ini peristiwa yang sangat mengesankan. Diantara teman tentara yang lain, dia yang paling tidak pelit untuk diajak diskusi. Darinya, saya tahu tentang berbagai posisi “sikap” di AAU. Setiap pesawat jatuh selalu mengingatkan saya pada sosok kalem Norman.

Saat menulis status tersebut di Facebook, saya tidak bermaksud memojokkan TNI AU. Maksudnya adalah, dengan diaudit, akan jelas kebutuhan “standar” TNI. Kalau kurang sebaiknya ditambah, kalau belum beres dibenahi. Kalau standarisasinya masih kurang, mungkin perlu sertifikasi management. Dengan cuaca yang bagus seperti di foto evakuasi (tidak seperti ketika Superpuma jatuh), jelas ada yang tidak beres, baik di internal TNI, maupun di luarnya. Mari diperinci satu-satu.

Secara politis, posisi TNI sangat-sangat jauh berbeda sejak Post-Soeharto Indonesia. Kebetulan, saya sedang membaca buku Marcus Mietzner (2009), dosen saya, Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation. Pemerintah Indonesia pasca Soeharto yang mengusung ideologi Huntingtonian yang menganggap tentara harus militer professional. Dengan pandangan ini, Dwi Fungsi ABRI dihapus, dan dampaknya sungguh sangat luar biasa. Keuangan Prajurit menciut drastis. Saat ini muncul desakan agar bisnis TNI dipreteli yang juga masih berakar pada ideologi Huntingtonian ini. Kini menjadi tentara tidak segagah sebelumnya. Di lain pihak, rakyatpun menolak militer termasuk pensiunan, ke kancah politik. Sekitar 8% pensiunan TNI dan Polri yang berlaga di Pilkada sebagian besar kalah (Mietzner, Inside Indonesia, January 2006). Saat ini sulit mencari Gubernur yang berasal dari TNI/Polri. Di Jawa hanya tersisa di Jateng. Di Jaman Soeharto, seluruh Gubernur di Jawa dari TNI. Dari lebih dari separuh kepala daerah di Indonesia yang berasal dari TNI selama Orba, hanya menyisakan kurang dari 10 orang di 400 lebih kabupaten kota dan 33 Provinsi atau sekitar 2%-3% saja. Posisi TNI di Di DPR/DPRD semakin masuk dalam kategori “endangered species.”

Continue reading “Peti Mati Bernama Hercules”

Tujuh tipe Facebookers

Aplikasi satu ini seperti sebuah game, membuat kecanduan dan menyebabkan orang tidak produktif. Bedanya, Facebook dibungkus dengan backbone yang bagus, menjalin silaturahmi.

Perkenalan dengan facebook dimulai November tahun lalu di tengah deadline menyelesaikan paper akhir di perpustakaan University House, ANU. Awalnya, hanya sekedar iseng melepas lelah dibalik ribuan kata yang harus diedit. Hanya dalam seminggu, jumlah friends mendekati 100 dan sekarang hampir 600 dalam enam bulan. Artinya, terdapat tambahan seratus friends sebulan. Dari angka itu, tak lebih dari 20 orang yang saya add, selebihnya hanya melakukan confirm terhadap request. Selain itu, (paling tidak sampai saat ini) saya cukup selektif meng approved hanya request dari seseorang yang benar-benar dikenal, atau (maaf buat mereka yang ter ignore).

Facebook memang menarik, terutama untuk kondisi saat ini. Facebook adalah pengejawantahan apa yang disebut Friedman sebagai globalisasi 3.0, merubah dunia yang small menjadi tiny yang dimotori oleh actor individual. Dari kota gersang Canberra saya bisa mengupdate kondisi kawan-kawan yang telah tersebar entah ke mana.

Dari  sejumlah itu, beberapa kawan meng add saya sebagai kawan pertama mereka di Facebook. Beberapa kawan yang lain memasukkan saya dalam lima besar. Padahal, kami sudah tak bertemu lebih dari 5 tahun. Sepenting itukah saya dalam jaringan pertemanannya atau menjadi teman yang berkesan? Mungkin tidak, hanya sekedar iseng di google.

Selain itu, Facebook dapat sejenak mengendurkan syaraf, terutama saat teman men ‘tag’ kita di salah satu foto jadulnya. Setelah itu, tinggal adu kekuatan ingatan di comments. Seringkali, foto yang di upload itu sama sekali tidak ada dalam ingatan.

Dalam hal upload foto di facebook, temen-temen ini juga bisa dikategorikan menjadi tujuh jenis.

Pertama, Kawan Narsis. Hampir seluruh foto yang diuploadnya adalah foto diri dengan berbagai pose dan berbagai keadaan, di kantor, di rumah, di taman, di dapur dan (terutama) di luar negeri. Paling parah dari golongan ini adalah mereka yang mengupload seluruh foto dirinya yang diambil sendiri dengan handphone generasi baru. Artinya muka Kawan Narsis menghiasi 30 persen foto. Continue reading “Tujuh tipe Facebookers”

Pemilu di Canberra

Kemarin saya memilih di Canberra. Kapan lagi memilih di luar negeri :grin:, sekaligus ingin merasakan bagaimana menariknya pesta demokrasi ini, sebesar apa sih kerta suaranya, seperti apa sih calonnya, dls. Penasaran saja mengingat pemilu di Indonesia selalu menarik. Bahkan pemilu di jaman Soeharto pun selalu menarik. Pengalaman melewati empat kali pemilu (1997, 1999, 2004, 2008) akan saya tulis disini.

PEMILU 1997

Tidak ada yang menduga Soeharto akan jatuh setahun kemudian. Tetap ada tiga partai, PPP, Golkar, PDI (Soerjadi) dilaksanakan Mei 1997. Sebagai pemilih pertama, seharusnya pemilu waktu itu menjadi ajang yang menarik. Tetapi tidak, sebabnya, saya sudah terilfiltrasi beberapa majalah PRD yang didapatkan secara sembunyi-sembunyi. Karena sudah sore (saya datang dari Jogja untuk persiapan UMPTN) , petugas KPPS di Bogeman Kidul, Magelang datang ke rumah, menanyakan mengapa saya tidak datang (ini bukan bentuk represi, tetapi bentuk semangat kekeluargaan). Akhirnya saya datang, dan membuat suara tidak sah. Ini pemilu terburuk karena beberapa minggu sebelumnya kena marah ibu karena memiliki kaos PPP dan ketahuan menyimpan tabloid PRD. Tapi ada yang lucu ketika penghitungan suara. Instead of noblos, ada satu suara yang digunting lambang bintangnya, menicptakan coblosan terbesar :lol:. Petugas KPPS akhirnya menganggap suara itu sah.

PEMILU 1999

Continue reading “Pemilu di Canberra”

Electionist dalam Sistem Presidensial

Banyak pihak memperkirakan angka Golput akan naik pada pemilihan 2009 dengan berbagai alasan, mulai dari kontestasi politik, regulasi hingga kinerja KPU. Faktor yang jarang diperbincangkan tetapi penting berkaitan dengan bosannya pemilih karena terlalu banyaknya pemilihan. Mungkinkah ini menjadi faktor utama tingginya Golput dan bagaimana hubungannya dengan sistem presidensial yang dipakai Indonesia saat ini?

Dalam praktek pemilu di banyak negara, tingkat partisipasi politik dalam pemilu dihitung bukan berdasarkan pada pemilih yang tidak hadir (Golput) tapi dihitung berdasarkan tingkat pemilih yang hadir (voters’ turnout). Munculnya fenomena terbalik di Indonesia disebabkan antitesis atas dominasi Golkar di era 70 an yang tersimbolkan dalam pilihan frasenya: Golput sebagai lawan dari Golkar. Jika di luar negeri pemilu diupayakan untuk meningkatkan jumlah voters’ turnout, di Indonesia pemilu diusahakan untuk menurunkan jumlah Golput.

Tidak dapat dipungkiri, pemilu merupakan elemen terpenting demokrasi. Demokrasi hanya bisa hadir dalam partai politik yang tumbuh bebas yang bertarung dalam pemilu yang jujur (Duverger 1963). Hadirnya institusi pemilu yang mantap juga sangat vital dalam konsolidasi demokrasi. Selain itu, pemilu juga sarana efektif untuk menyalurkan partisipasi politik rakyat dan menjamin terpilihnya elit politik yang sesuai dengan keinginan rakyat. Sejak reformasi, pemilu di Indonesia bisa dikategorikan jujur dan menjadi rujukan kisah sukses terkait dengan konsolidasi demokrasi di negara berkembang.

Continue reading “Electionist dalam Sistem Presidensial”

Berhenti Merokok

Menurut data badan kesehatan PBB, WHO 2004, di tahun 2002 lebih dari 750 ribu orang Indonesia meninggal akibat rokok. Mereka menghabiskan lebih dari Rp 100 triliun dalam setahun untuk membeli lintingan tembakau dan cengkeh itu. Data demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 2008 menunjukkan, 93 persen pecandu rokok adalah orang dewasa, sedangkan di bawah 20 tahun mencapai 7 persen.

(Tempointeraktif.com diakses tanggal 27 February 2009)

Saya mencoba berhenti merokok setelah 12 tahun rutin memasukkan Tar, nikotin, irritants dls ke paru-paru setiap hari. Rokok saya  (dulu) Sampoerna A Mild warna merah, walaupun sering merokok apapun jika kepepet :razz:. Bila tiap batang AMild mengandung 0.1 mg nikotin, setidaknya sudah 8760 mg terhisap selama 12 tahun dengan 20 batang perharinya. Mengapa saya berhenti merokok dan bagaimana caranya?

Pengetahuan tentang bahaya merokok sudah sangat mudah didapatkan saat ini. Hanya dengan sedikit googling, ribuan artikel tentang bahaya rokok sudah muncul. Dari sekian artikel itu, hampir tidak ada tidak ada penelitian ilmiah yang kontra terhadap bahaya rokok bagi kesehatan. Toh, walaupun pengetahuan telah dimiliki, tak mudah untuk berhenti.

Mengapa berhenti merokok?

Pertama, karena saya ingin berhenti. Ini syarat penting yang harus dimiliki.

Kedua, istri saya benci pada rokok. Kebencian ini meningkat drastis ketika di Canberra. Selama ini, rokok saya diimpor dari Sumedang dan harus membayar cukai import $48 per slop. Tapi hal ini bukan perhitungan matematis semata. Jika hanya mengandalkan hitungan ekonomis, tentu keputusan berhenti merokok sudah datang dari dulu. Berhenti merokok adalah simbol bagaimana mencintai istri lebih dalam daripada mencintai diri sendiri:oops:.

Ketiga, merokok di Australia sangat-sangat tidak nyaman. Di Australia, merokok adalah perbuatan yang lebih buruk daripada drinking. Drinking adalah gaya hidup, merokok adalah kecerobohan hidup. Di Indonesia berbeda. Merokok dipandang sebagai ‘kenakalan’ atau keburukan dengan strata terendah. Waktu di kampung Bogeman, saya sering mendengar ibu-ibu yang mendiskripsikan kenakalah pria 20an tahun dengan berkata: ” Wah, dia itu  baik banget lho, merokok saja tidak.” Jadi, jika seseorang tidak merokok, dianggap alim, baik dan berbudi dan jauh dari Molimo. Tidak sedikit juga (baik laki-laki atau perempuan) yang melihat rokok adalah ekspresi kejantanan laki-laki. Pada sisi yang lain, jika perempuan merokok, dianggap sebagai perempuan terjelek ahlaknya. Nah di Australia, mau merokok sangat repot. Disamping lokasinya yang harus minimal 10 meter dari building, keinginan merokok menjadi siksaan berat hampir di setiap musim. Di musim dingin, keinginan merokok dikalahkan oleh dinginnya suhu yang membekukan jari-jari, di musim panas anda tahu sendiri, mana enak merokok kala cuaca 38 derajat?

Bagaimana berhenti merokok?

Continue reading “Berhenti Merokok”