Pasar Rejowinangun

pasar gedheBanyak sekali yang terjadi selama enam bulan di Canberra. Pertama-tama meninggalnya Soeharto yang walaupun penting, tapi terasa jauh. Berita berikutnya adalah kelahiran dua keponakan baru dari kakak saya Aan dan adik saya Taufan, lelaki dan perempuan. Diantara kedua berita gembira ini, perjumpaan dengan pakde Dargo kemarin ternyata adalah perjumpaan terakhir. Diantara beberapa event-event penting tersebut, ada beberapa peristiwa yang juga berubah, salah satunya terbakarnya Pasar Rejowinangun di Magelang, salah satu tempat bersejarah yang tidak akan pernah ditemukan lagi dalam bentuk yang sama pada kamis 26 Juni 2008 magrib.

Semangat yang diperlukan untuk berangkat sekolah ke luar negeri tidak hanya kemampuan akademis dan bahasa, termasuk salah satunya kesiapan “kehilangan” dinamika di Indonesia, di kampung halaman dan keluarga. Dinamika kehidupan orang-orang yang dekat dan berkaitan dengan pernikahan, kelahiran, kematian dan yang lainnya harus diiklaskan. Kehilangan paling mudah tentu saja rindu pada gorengan, lotek dan pindang keranjang. Tapi toh jika pulang nanti tetap ada tukang gorengan dan lotek, apalagi pindang keranjang. Tapi saya tidak pernah mempersiapkan diri mendengar berita Pasar Rejowinangun terbakar dan tidak pernah lagi melihat bentuknya seperti dulu.

Continue reading “Pasar Rejowinangun”

Euro 2008

Piala eropa tengah digelar. Jutaan orang rela menanti di depan TV tiap dini hari untuk menyaksikan negara demi negara tumbang oleh negara yang lain. Sepakbola memang menjadi hiburan yang istimewa, membius dan menyebarkan candu. Tidak berbeda dengan rokok. Mungkin ini sebabnya, pabrik rokok selalu gemar beriklan di ajang bola. Tapi posting kali ini bukan posting tentang pencinta bola, apalagi tentang industri rokok. Ini adalah tulisan laki-laki yang tidak menyukai bola, yang menjadi minoritas di tengah komunitas laki-laki lainnya.

 

Lelaki Indonesia suka sekali dengan bola. Saya tidak tahu sebabnya. Sepakbola adalah olahraga tradisional yang peraturannya hanya berubah sedikit sekali dalam 300 tahun. Apa istimewanya sebuah bola yang ditendang ke kanan, kiri, depan belakang untuk dapat masuk di gawang yang besar itu. Gawangnya pun juga dijaga oleh kiper, tentu saja susah. Nah karena susah, mengapa menjadi menarik? Apanya yang istimewa?

 

Tapi fakta memang membuktikan bahwa sepakbola menjadi sarana social yang sangat ampuh dalam komunitas. Dalam komunitas lelaki, prestise bisa tiba-tiba terangkat jika hapal betul dengan nama-nama pemain, sejarah hidup dan kariernya, sampai urusan asmaranya. Lelaki tipe begini, bisa dipastikan mendominasi percakapan. Para lelaki, terutama remaja, lebih mudah menghapal semua pemain asing sebuah negara, daripada ibukota provinsi di Indonesia, yang menjadi pelajaran wajib di IPS. Mayoritas lelaki Indonesia, layak menjadi komentator sepakbola tingkat nasional.

 

Pengalaman saya dengan sepakbola tidak begitu menyenangkan, baik di lapangan ataupun di depan TV. Pertandingan ‘profesional’ pertama terjadi ketika kelas 1 SMP. Continue reading “Euro 2008”

Bogeman: Setting Masa Kecil

Screen Shot 2016-08-23 at 9.45.44 AMSejak lahir hingga kuliah di Yogya, saya tinggal di Bogeman, sebuah kampung di jantung kota Magelang. Sekitar satu kilometer dari alun-alun. Kampung ini tidak besar, tapi bagaimana kenangan masa kecil menjadi inspirasi di masa depan menjadi menarik untuk diceritakan. Bogeman terbagi menjadi tiga: Bogeman Lor (utara), Bogeman Kidul (selatan) dan Bogeman Wetan (Timur). Dari sejarahnya, Ibu saya berasal dari Bogeman Wetan dan kemudian pindah ke Bogeman Kidul mengikuti Bapak.

Nah Kisah Bogeman muncul saat ada salah satu tugas yang paling teringat ketika menjadi mahasiswa baru yaitu tugas matakuliah Sejarah Sosial Politik, dimana kami harus membuat Sejarah Diri Sendiri (thanks to Mas Cornelis Lay). Apapun!!!  Tugas ini memberikan pandangan bahwa sejarah tidak hanya didominasi tokoh-tokoh besar dengan peristiwa besar, ia bisa lahir dari hal kecil dengan pelaku yang tidak penting. Saya memilih untuk menceritakan tentang kampung Bogeman dalam matakuliah itu yang berakhir dengan nilai A.

Nama Bogeman apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti PUKULAN. Dari namanya, anda tentu dapat membayangkan bagaimana kampung saya. Di sebelah barat, dipisahkan oleh Sungai Manggis yang terkenal karena Novel Burung Burung Manyar nya Romo Mangun,  ada kampung Juritan. Di Sebelah Timurnya ada Kampung Jaranan. Di samping Jaranan ada kampung Paten (mati, meninggal). Juritan dulunya dipakai sebagai markas Prajurit dan Jaranan dipakai tempat menyimpan kuda, dan Bogeman, tentu saja, adalah tempat Prajurit Berpukulan. Artinya, kampung saya sudah mewarisi tradisi kekerasan sejak lama. Versi lain nama Bogeman karena terdapat makam Kyai Bogem, tapi hal itu tidak bisa menjelaskan nama Juritan dan Jaranan, apalagi Paten yang menjadi musuh bebuyutan perkelahian tarkam dengan Bogeman (sekarang masih ada gak ya).

Tiga Kampung Bogeman memiliki akar dan tradisi yang berbeda. Bogeman Timur, tempat mbah saya, tidak pernah menarik untuk diceritakan. Jalan yang sempit dan berliku dengan tumpuan rumah-rumah yang tidak beraturan menjadi setting geografis bagaimana seluruh MALIMA: Maen, Madon, Madat, Mabuk, Maling, menjadi gejala umum yang hampir bisa ditemukan di setiap sudut kampung. Tiap hari, selalu ada cerita tentang si A yang istrinya selingkuh, Si B yang tertangkap mencopet, Si C yang jadi Bandar Kuda Lari (judi yang menjadi generasi penerus SDSB) dan sebagainya. Saat menginap di rumah Embah, yang Alhadulillah tak pernah lepas wudhu sampai wafatnya, saya seringkali dibangunkan oleh suara lemparan piring pecah, makian istri karena suami pulang pagi, dan anak yang menangis minta sarapan, yang tak kunjung tersedia karena memang tidak ada yang bisa dimasak. Tapi bagaimanapun, menginap di rumah Embah selalu menjadi pengalaman yang menyenangkan, terlebih karena saya bisa mencicipi babat sapi goreng yang dipersiapkan untuk dijual bersama bahan sarapan lainnya, 100 meter dari rumah Embah setiap hari. Setiap pukul 2 pagi, pasangan suami istri ini telah menanak nasi, menyiapkan kluban, menggoreng tempe untuk dijual guna mencukupi biaya keenam anak mereka.

Continue reading “Bogeman: Setting Masa Kecil”

Bunuh…..

Perjuangan politik adalah perjuangan melawan lupa…

Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa (Milan Kundera)

 

Barangkali itulah semangat yang ingin dimunculkan M Yuanda Zara, mahasiswa sejarah UGM angkatan 2003, melalui bukunya: Kematian Misterius Para Pembaru Indonesia. Seperti biasa, buku bahasa Indonesia yang mampir di stock buku baru Chiefley library, perpus Sosial politik ANU, bisa menjadi semacam ‘refresing’ membaca saya. Telah dua buku tentang ‘masa lalu’ yang saya baca, yang pertama buku tentang ‘Tommy Soeharto’ dan yang kedua buku Zara ini. Buku semacam ini, tak lebih dari 3 jam dibaca, begitu dipinjam, dibaca di perpustakaan dan langsung dikembalikan.

 

Buku ini bercerita tentang enam tokoh Pembaru Indonesia yang meninggal karena dibunuh atau dihilamgkan. Keenamnya adalah Tan Malaka, Marsinah, Udin, Wiji Thukul, Baharuddin Lopa dan Munir. Keenamnya ditulis dengan gaya deskriptif dan lebih banyak naratif sembari bertutur. Tapi berbeda dengan tulisan lainnya yang cenderung interogative, tulisan ‘adik’ ini menarik karena ditulis dengan memanfaatkan berbagai sumber, termasuk internet dan blog.

 

Keenam orang itu adalah misteri bagi bangsa Indonesia. Hidup keenamnya adalah perjuangan dan akhirnya adalah sebuah misteri. Tan Malaka ditembak dan mayatnya dibuang di kali Brantas, Marsinah disiksa selama tiga hari sebelum dibunuh tentara, Udin dieksekusi pembunuh di rumahnya di jalan Parangtritis, istrinya sempat melihat pembunuh suaminya, Wiji Thukul hilang, Lopa dan Munir dikabarkan dibunuh dengan arsenic.

 

Continue reading “Bunuh…..”

SBY’s Kitchen Cabinet

Berbarengan dengan naiknya harga bahan kebutuhan pokok seiring dipangkasnya subsidy BBM, Indonesia digemparkan dengan temuan BBM (Bahan Bakar Motor) dari Air (H2O) yang diberi nama Blue Energy. Temuan yang diklaim Djoko Soeprapto ini kemudian masuk ke lingkar dalam SBY, menipunya, sehingga didukung orang no 1 di Indonesia. JS dikenalkan ke SBY melalui ‘staf pribadi‘ Heru Lelono dan kemudian membangun perusahaan di Cikeas, 2 kilometer dari rumah SBY. Tulisan ini akan mengurai bagaimana Indonesia hanya memberikan cek kosong bagi siapapun presiden negeri ini yang dengan leluasa membangun kitchen cabinet.

Sejarah telah mencatat terdapat sedikitnya empat kali kasus penipuan besar yang melibatkan presiden dan pejabat negara. Penipuan pertama dilakukan Raja Idris dan Ratu Markonah yang mengaku dapat membantu Soekarno membebaskan Irian Barat. Setelah mengaku sebagai pemimpin Suku Anak Dalam dan tinggal berminggu-minggu di hotel, Markonah yang ternyata adalah pelacur kelas kambing di Tegal dan Idris yang tukang becak ketahuan belangnya.

Continue reading “SBY’s Kitchen Cabinet”

Menciptakan Persaingan Monopolistik

Buku teks ekonomi menggambarkan monopoly sebagai sebuah kondisi pasar yang dikuasai oleh satu seller. Seller ini bisa menentukan harga yang berlaku di pasar sementara buyers tidak punya banyak pilihan untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Monopoly berkaitan erat dengan hukum demand and supply, ketika demand tetap dan supply sedikit, harga cenderung naik, atau paling tidak supplier dapat menentukan harga. Deskripsi monopoly jenis ini mudah sekali terlihat. Indonesia pernah memiliki pengalaman panjang dengan monopoly, misalnya ketika crony capitalism berlangsung semasa Soeharto dengan Tata Niaga Jeruk, Tata Niaga Gula, Tata Niaga Cengkeh, yang menjadikan keluarga Suharto menjadi kaya luar biasa. Sayangnya, semua ini pengertian yang basi tentang monopoly.

Pengertian baru tentang monopoly yang tidak mewajibkan hadirnya kekuasaan dalam monopoly, tidak mewajibkan modal yang besar dan telah dipraktekkan bertahun-tahun. Inti dari monopoly jenis baru ini adalah exclusivitas dengan memanfaatkan taste pasar yang dapat dibangun dari kuatnya branding. Selera pasar dimodifikasi sedemikian rupa sehingga memunculkan kesan eksklusif sebuah produk dari produk substitusi di pasar. Ketika pasar baru sudah tercipta, berapapun harga yang dijual seller, tetap akan dibeli. Disinilah monopoly tercipta. Seller menciptakan monopoly nya sendiri terhadap pasar, ia mampu menciptakan pasar baru yang berasas pada eksklusifitas. Demand pada pasar jenis ini berbentuk inelastis (penurunan jumlah pembeli lebih kecil dari kenaikan harga).

Continue reading “Menciptakan Persaingan Monopolistik”

Australia’s GOD

flag_australia_me.jpgDalam tulisan sebelumnya, telah dikupas tentang munculnya ‘tuhan-tuhan‘ baru dalam kehidupan manusia modern. Definisi ‘tuhan’ disini diartikan sebagai sesuatu yang diikuti, diyakini dan semua anjurannya ‘dilaksanakan’ dengan konsekuen dan tidak terbantahkan. ‘Tuhan’ non permanen ini bisa muncul dalam wajah yang begitu rupa, mengikuti arus kehidupan modern yang sulit ditemukan padanannya, bahkan pada waktu yang tidak terlalu lama. Siapakah “tuhan’ orang Australia? Tulisan ini diilhami dari munculnya konflik pribadi dengan ‘tuhan’ Australian tersebut yang begitu terasa bahkan dalam bulan-bulan awal tinggal di sini.

 

Tuhan itu adalah komputer dengan segenap softwarenya, yang menjadi ‘matrix’ -seperti dalam sekuel film MATRIX’- dalam kehidupan di Australia. Seluruh perintah sistem komputer dipatuhi dengan menghilangkan nurani bahkan akal sehat. Seluruh fase kehidupan di Australia diproses dalam sistem biner ‘0’ dan ‘1’ yang menyandera siapapun. Pada satu sisi, hal ini bisa membuat kehidupan menjadi lebih rapi, efficient dan tepat. Tapi ketika terjadi konflik, akal sehat dihilangkan. Pengalaman saya dengan DODO Australia membuktikan hal itu.

Continue reading “Australia’s GOD”

Mak Erot

Saya tergelitik untuk menulis sedikit tentang seksualitas, bukan karena pernah menjadi “pelanggan” mak Erot, tetapi lebih karena isu mak Erot memberkaitan dengan perdebatan antara Traditional/Alternative medicine dan Biomedical yang menjadi mainstream dunia kedokteran di Indonesia. Untuk urusan ini, tesis saya tentang dukun bayi, membahasnya dengan (semoga) komprehensif.

Sekitar enam bulan yang lalu, sebelum berangkat ke Australia, saya bolak balik ke kantor iklan KR dan Kompas untuk urusan pengiklanan. Nah, esoknya, sambil memastikan iklan saya termuat dengan benar, saya tergelitik untuk melihat bagian pengobatan di KR. Di bagian ini terdapat iklan tentang ‘pembesaran’ dan ‘pemanjangan’ penis. Bahkan di salah satu iklan, bisa dibuat kombinasinya. Panjang sekian cm dan diameter sekian cm. Saya takjub dengan iklan yang seolah-olah membayangkan alat vital laki-laki seperti balon, bisa ditiup dan dibentuk sesuai selera. Pengiklannya melampirkan foto mak Erot, yang tampak sudah renta, berkerudung (bukan berjilbab) yang mengesankan mak Erot ini santri betul. Pengiklannya tentu saja bukan mak Erot, yang konon tidak melek advertising, tetapi menantunya, cucu langsung, keponakan, anak kesayangan dll. Pokoknya mengesankan yang bersangkutan berhubungan darah, langsung atau tidak, dengan mak Erot. Banyak sekali iklan sejenis di satu kolom. Prakteknya hanya beberapa hari di salah satu kamar hotel kelas melati dengan “mahar” 300 an ribu. Nah, dari sini saya mulai bertanya-tanya.

Continue reading “Mak Erot”

Ken Arok

Dalam setiap penggalan sejarah Jawa, selalu muncul orang-orang yang kemudian menjadi tokoh dan dikenang sepanjang masa. Kita bisa mundur ke belakang agak jauh, tapi kiranya hidup Ken Arok adalah salah kisah yang paling banyak diceritakan. Bukan hanya karena kisahnya dicatat di Pararaton, tetapi lebih karena kisah Ken Arok adalah contoh nyata seperti apa yang dibayangkan Machiavelli dalam The Prince.

Saya pertama kali mendengar cerita tentang Ken Arok, ketika masih SD, dari ibu yang kebetulan guru SD yang sedikit banyak tahu cerita itu. Versi visualnya saya dapatkan beberapa minggu kemudian dari ‘kartu‘ yang dipotong-potong untuk bermain ‘tomprang’ dan ‘kiyu-kiyu‘. Setiap kartu terdiri dari 36  bagian yang harus dipotong sendiri. Ada gambar ‘gunung kelud‘ di salah satu kotak. Bahannya dari kertas yang bagus di bagian depan dan berwarna, serta coklat di bagian belakangnya. Bagian belakang kadang berisi rambu-rambu lalu lintas. Saya tidak tahu apakah mainan semasa kecil ini masih ada, dugaan saya sudah digantikan dengan kartu ‘pokemon‘, ‘avatar‘, ‘winnie the pooh‘ yang bahannya lebih mahal dan tentu saja hanya bisa dibeli di supermarket. Siapa juga yang mau menggunting sendiri ke 36 bagian kartu itu. Continue reading “Ken Arok”

SMS Santet

santetthumbnail.jpgBaru saja saya menerima email di milis mahasiswa Australia di Canberra yang tinggal di Toadhall. Maklum, sebagai alumni Toadhall, saya berhak menerima milis. Email ini agak menghawatirkan karena memberi info tentang kegemparan SMS Santet yang bisa membunuh, waduhh. Saya browsing sebentar dan beberapa versi SMS seperti berikut:

 

 

“Informasi, kalau ada nomor HP yang 0866 atau 0666 masuk berwarna merah, mohon jangan diangkat, karena ada virus kematian. Soalnya di Jakarta dan di Sumatera sudah ada yang meninggal gara-gara masalah ini, orang bilang lagi uji ilmu hitam.”

”Kalo ada telepon yang NOMORNYA BERWARNA MERAH jangan diangkat, karena bisa menelan jiwa. Hari ini sudah disiarkan di berita, terjadi di Jakarta dan Duri dan sudah terbukti. Sekarang masih diusut oleh pihak KEPOLISIAN. Dugaan sementara adalah kasus PEMBUNUHAN JARAK JAUH MELALUI TELEPON GENGGAM (HP) oleh dukun ILMU HITAM/si penelepon adalah ROH GENTAYANGAN yang mencari MANGSA. Harap dimengerti dan kirim ke teman atau saudara semua. Harap saling membantu sesama umat manusia.”

”Tolong diperhatikan serius. Jika menerima telp masuk dari HP dengan kepala no 0866 atau 066 dengan warna tulisannya merah, mohon dengan sangat jangan diterima. Sama sekali jangan memencet tombol apa pun karena telah memakan korban 1 orang di Medan dan 3 orang di Pekanbaru yang hangus karena HP-nya meledak. Mohon beritahu teman-teman lain”.

 

Semakin lama browsing, semakin aneh bunyinya dan semakin jauh dari akal sehat. Tapi bahasan tentang santet menarik untuk ditulis, karena peristiwa semacam ini selalu berulang ketika situasi politik dan ekonomi Indonesia sedang mengalami fase negatif dan berkaitan dengan relasi vertikal kita dengan pencipta.

 

Continue reading “SMS Santet”

HECS : Berhutang untuk Kuliah

Disebabkan lebih karena banyaknya pengunjung web bulan ini yang sedikit lebih dari biasanya, ingin rasanya menulis lagi sebagai bentuk apresiasi terhadap comment yang telah masuk, yang berdasarkan statistic harian, web ini dilihat rata-rata oleh 128 orang dari 26 negara, 40% nya dari Indonesia dengan rata-rata 2000 hits. Hits-hits ini yang membuat saya bersemangat menambah tulisan. No Comment juga tak mengapa, yang penting tulisan saya membawa manfaat. Saya akan menulis tentang HECS, Higher Education Contribution Scheme, ditengah due paper-paper yang mendesak. HECS ini menarik untuk dilihat karena banyak dijadikan lesson drawing Negara lain dan genuine made in Australia. Selain itu, sebagai pengingat artikel yang baru saja saya baca,. Kira-kira berikut ringkasannya.

HECS adalah skema pinjaman Pemerintah Australia untuk Australian Citizens dan Permanent Residents guna melanjutkan pendidikan tinggi setingkat sarjana di Australia. Pendeknya, Pemerintah Australia memberikan bantuan financial kepada Australians yang mau melanjutkan studinya di Universitas bagi mereka yang masih ingin kuliah dan tidak bekerja setelah lulus Year 12 (kira-kira setara lulusan SMA). Kapan hutang untuk kuliah ini dibayar? Tergantung kepada kemampuan financial penghutang setelah lulus dari perguruan tinggi dan kemudian bekerja. HECS hanya dibayarkan setelah penghutang memiliki penghasilan di atas $43.000 per tahun dan diambil berdasarkan proporsionalitas progressif, artinya, semakin tinggi penghasilan, semakin tinggi pula prosentasi pembayaran hutangnya. Bagaimana jika miskin terus dan tidak mampu membayar? Katakanlah, menganggur setelah lulus kuliah.Ya tidak usah membayar. Hutang dibawa mati, walaupun negara dengan penduduk 20 juta jiwa ini sangat sulit mencari penganggur. Bagaimana HECS bisa muncul, apa latar belakangnya?

Setidaknya, Australia melampaui empat fase penting dalam Politik Pendidikan dalam satu abad terakhir. Pertama, Fase jaman Perang dunia sampai dengan tahun 1970. Fase ini ditandai dengan mahalnya biaya pendidikan dan menjadi privilege kaum terbatas, berduit dan laki-laki . Pendidikan tinggi didominasi oleh laki-laki, kelas menengah, yang umumnya kulit putih. Pada waktu itu, orang kuliahan hanya 2.3% dari seluruh populasi penduduk berusia 17-22 tahun. Pendidikan di Universitas waktu itu sangat mentereng dan bergengsi, katakanlah hanya orang yang Sugih Mbegedhu saja yang bisa mengenyamnya. Fase ini diakhiri dengan munculnya pemerintahan baru kaum buruh dengan naiknya Whitlam menjadi Perdana menteri setelah beberapa dekade gagal menguasai kursi Parlemen di Canberra. Continue reading “HECS : Berhutang untuk Kuliah”

Permit Parking

Permit ParkingJujur saja, saya sering kehabisan ide untuk menulis disini, semenjak tinggal di Australia. Bukan berarti tidak ada yang menarik di Australia, terutama Canberra, tetapi karena saya terbiasa dengan menulis berdasarkan sesuatu yang “tidak seharusnya” atau paling tidak “bisa menjadi lebih baik lagi” dari beberapa peristiwa. Oleh karena itu, beberapa kejadian di Australia menjadi tidak menarik, karena seringkali “ya memang begitu seharusnya.” atau “sudah baik“.

 

Negara yang baik adalah negara yang dibangun oleh seluruh warga negaranya, bukan hanya pemerintah, bukan hanya rakyat, bukan hanya elemen bisnisnya dan bukan hanya parpolnya. Semuanya harus berpartisipasi dalam national development. Salah satu aspek dari partisipasi itu terlihat dari ruang yang terbuka untuk elemen diluar pengambil kebijakan, atau dalam bahasa Colebatch “attentive public” dan bukan hanya “sub-government”. Bentuk kongkritnya bisa dilihat dari keberadaan KOTAK SARAN. Katakanlah misalnya Dardias University sebagai sebuah universitas baru ingin tahu sejauh mana pelayanannya memuaskan seluruh elemen di kampus. Disediakanlah KOTAK SARAN di setiap fakultas dan juga tersedia online. Elemen kampus juga rajin mengirim kritik lewat media yang ada, managemen kampus menindaklanjutinya dengan segera bentuk partisipasi itu. Begitu seterusnya hingga terbangun situasi ideal apabila seluruh pihak berpartisipasi.

 

Dalam level negara juga demikian. Bentuk partisipasi yang dilakukan SLANK untuk anggota DPR di Senayan seharusnya disikapi dengan sangat bijak. Tidak ada kritik “yang membangun”. Semua kritik pada dasarnya tetap membangun. Terminologi “kritik membangun” sengaja dipakai rejim Soeharto untuk membungkam mereka yang “anti pembangunan” yang dengan gampang kemudian dicap sebagai “kiri atau PKI”. Mereka yang “tidak membangun” justru tidak akan meluangkan energinya untuk membuat sebuah kritik, apatis lebih baik. Tapi tunggu dulu, apatis pun juga bisa dianggap sebagai kritik, misalnya buat kawan-kawan yang memilih golput.

Jawaban KPK terhadap upaya penuntutan terhadap SLANK jelas, Al Amin ditangkap, plus PSK nya. Namanya Al Amin lho, sekali lagi Al Amin, -orang yang dapat dipercaya-. Aneh memang anggota DPR kita, lebih reaktif daripada jaman Soeharto. Iwan Fals jauh-jauh lebih keras kritiknya, judulnya saja Wakil Rakyat, dan sepertinya merupakan lagu yang selalu up to date bahkan untuk waktu yang sekian lama.

 

Australia adalah salah satu negara yang dibangun dengan bersama-sama itu. Salah satu contohnya ketika saya terkena parking fine yang bikin mangkel. Saya memang salah karena tidak memarkir Carol (nama mobil saya) di tanda PERMIT PARKING yang saya bayar $151 untuk 11 bulan. Denda untuk pelanggaran parkir ini luar biasa banyak, $159. Artinya, lebih banyak dari biaya bayar parkir tiap tahunnya. Hal ini terjadi karena sudah 40 menit mencari lokasi parkir dan semuanya penuh, dan kelas sudah menunggu. Saya beresiko dengan parkir dan ternyata RANGER ANU tengah mencari mangsa. Mobil difoto  dan sedetik setelahnya, bill pelanggaran ditempel di wiper. Sebelum saya, dua teman Indonesia juga terkena fine dengan sebab yang kurang lebih sama.

 

Continue reading “Permit Parking”

Daylight Saving

Salah satu temuan paling penting sepanjang sejarah kebudayaan manusia adalah penemuan tentang waktu. Buku the Discovery yang saya beli di toko buku bekas di Montreal menyebutkannya demikian. Penemuan tentang waktu dimulai dari kesadaran bahwa bumilah yang berputar mengelilingi matahari (heliocentric) dan bukan sebaliknya (geocentric). Temuan yang harus ditebus dengan nyawa Galileo ini membuka peluang baru tentang temuan tentang waktu matahari dimana setiap putaran planet selalu akan kembali ke titik yang sama ketika berputar dalam satu putaran penuh. Bumi akan menemui titik yang sama pada satu putarannya terhadap matahari. Dari sanalah waktu matahari berawal.

Waktu bulan dihitung berdasarkan putaran bulan terhadap bumi. Setiap malam, manusia mengamati perubahan terhadap bulan. Kapan bulan menjadi sabit, separo dan purnama diamati secara terus menerus. Tidak kalah luar biasa dibandingkan dengan waktu matahari, waktu bulan dipakai sebagai standar waktu manusia. Kedua basis perhitungan ini dipakai manusia selama ribuan tahun untuk menentukan banyak hal. Bedanya, dalam waktu matahari, matahari berposisi sebagai centre dan dalam waktu bulan, bumilah yang berfungsi sebagai centre.

Sekali manusia menemukan bagaimana waktu dapat dihitung, temuan lain segera menyusul. Kejadian-kejadian penting kemudian dicatat dan dikategorikan, sehingga nelayan tahu kapan badai akan datang, petani tahu betul bahwa ada 2 minggu cuaca panas tanpa hujan setelah 6 minggu musim hujan. Perhitungan lainnya dikategorikan secara lebih detail dengan mengamati setiap tanggal lahir manusia yang menjadikan perhitungan bintang, shio dan primbon tetap diminati. Pendeknya, temuan tentang waktu membuka kesempatan luas terhadap perhitungan lainnya yang membuka kesempatan banyak hal. Penemuan tentang waktu, mungkin hanya bisa tersaingi dengan penemuan computer dan internet.

Continue reading “Daylight Saving”

Ceteris Paribus

aus$Judul dari posting ini sudah mengendap sekian lama di draft WordPress. Judul ini datang dari bahasan tentang Introductionary Academic Preparation di Crawford yang mau tidak mau harus bersentuhan dengan ekonomi. Kristen mengajar dengan baik persiapan untuk course microeconomics yang akan dilalui di semester pertama dan macroeconomics yang ada di semester kedua .  Kedua subjects ini begitu mengerikan terdengar setelah sekian lama tidak lagi menggambar grafik, memahami rumus dan melakukan penghitungan matematik. Tapi apa daya, tuntutan untuk segera settle di Canberra dengan mendapatkan akomodasi yang mamadai, menuntut untuk meninggalkan beberapa kelas Kristen dan kelas IAP lainnya ketika dihadapkan pada persoalan inspeksi rumah.

Ceteris Paribus mengacu pada “all things are being equal”. Ekonom menggunakan hukum ceteris paribus untuk membuat model pada gejala ekonomi, yang menurut para ekonom, hadir dalam setiap sisi manusia. Berbeda dengan political science yang lahir sejak jaman Yunani kuno, dimana hukum Plato masih sering menjadi rujukan (ingat Socrates sebagai Critical thinker pertama), study ekonomi relatif baru hadir di tahun 1776 dari Adam Smith, dewa ekonomi. Menariknya, walaupun baru berumur 250 tahun, ekonom mengklaim manusia tidak pernah lepas dari hukum-hukumnya. Economy berkaitan dengan urusan Scarcity dan Choice. Resources terbatas, keinginan tidak terbatas dan bagaimana pilihan menghadapinya.

Ekonomi kerap dijelaskan menggunakan graph untuk mempermudah pemahaman. Graph dalam ekonomi lebih mudah digambarkan sebagai sebuah cerita dalam novel. Graph dapat dibayangkan sebagai interaksi antar aktor-aktor dalam novel. Sehingga untuk mengerti interaksinya, harus mengenal dulu karakter tiap pemainnya. Kita harus mengenal karakter konsumen, karakter produsen berkaitan dengan -paling tidak- Quantity dan Price untuk mengetahui letak interaksi dalam Supply dan Demand. Pemahaman ini mengeliminasi ketakutan terhadap ekonomi yang melulu tentang tabel, agak berbeda dengan Ilmu Politik dan Pemerintahan yang selama ini saya pelajari dimana angka hanya dapat ditemukan untuk mengidentifikasi halaman dan tanggal peristiwa penting. Artinya memiliki kalkulator sama saja dengan mubazir, karena hanya akan rusak berdebu.

Sebagai orang yang awam ekonomi, kata-kata sepopuler Ceteris Paribus pun membuat saya sempat terhening sejenak, membayangkan buku teks ekonomi SMA yang tidak pernah bisa sepenuhnya terpahami, (apalagi buku jatah Depdikbud (sekarang Diknas). Entah karena kesulitan menggambar grafik elastic demand berikut supply nya dan menentukan Dead Weight Lost, Ceteris Paribus yang menjadi hukum penting ekonomi sepertinya mustahil dalam kenyataan. Berikut kisah mencari rumah di Canberra sebagai sebuah ilustrasi.

Continue reading “Ceteris Paribus”

Geby, Gita, Toadhall

Setiap mahasiswa yang pernah belajar diluar Indonesia pasti pernah merasakan bagaimana kesendirian menjadi masalah yang selalu muncul. Apalagi bagi mereka yang terbiasa tinggal di Jawa yang sejak 2004 dinobatkan Guinness Book World Record sebagai The most populous island in the world tiba-tiba harus beradaptasi dengan “daerah tanpa manusia” seperti Canberra yang toko-toko rata-rata tutup jam 5 sore dan jalanan mulai sangat sepi jam 8 malam, setara dengan jam 3 pagi di Jogja. Selain itu, semangat ngumpul orang Indonesia tidak bisa hilang begitu saja. Inilah sebabnya kisah-kisah perkawanan ketika belajar di luar negeri selalu menjadi kisah yang tidak pernah dilupakan sampai mati. Setelah selesai sekolah, bukan kisah memusingkan menghadapi banyaknya bahan bacaan yang sepertinya mustahil untuk diselesaikan dalam satu semester, tetapi kisah lucu-lucu, remeh-temeh yang selalu memberikan semangat untuk terus belajar sampai jenjang tertinggi. Berikut antara lain kisah Geby, Gita dan Toadhall yang saya tinggali satu setengah bulan terakhir sebelum tinggal off campus di Queanbeyan.

Toadhall adalah asrama favorit mahasiswa ANU. Selain berada di kampus, hall ini juga murah “hanya” $146 per minggu. Ruangannya dibagi dalam 7 blok dari A-G dan terdiri dari empat lantai. Sangat susah berkompetisi untuk masuk ke Toadhall, paling tidak harus mendaftar 6 bulan in advance. Geby adalah senior saya di UGM. Begitu mengenal sosoknya, orang akan langsung paham betapa ramahnya orang ini. Bagaimana tidak, pada hari pertama di Toadhall, bang Geby lebih dulu mencariku dan membantu mengantarkan koper ke F742. Waktu itu, kami hanya sama-sama tahu nama, bukan wajah. Mbak Gita juga demikian, dirinya akan langsung menampakkan sikap ceria begitu orang menyapanya (kalau tidak disapa duluan, karena konon kabarnya mbak Gita rajin menyapa duluan).

Kedua Ph.D student ini datang di Toadhall pada hari yang sama, berikrar untuk tetap bersama, dan anehnya submit Desertasi pada hari yang sama juga. Keduanya pulang ke Indonesia hanya berselisih hari, mas Geby di UGM, mbak Gita di UI. Keduanya juga dianggap senior di Toadhall dan dianggap sebagai bu lurah dan pak lurah. Tidak mengherankan jika pada saat perpisahan, hampir seluruh mahasiswa Indonesia hadir, memberikan hawa pengap dan menggetarkan di Anton Aalbers room. Setahu saya, ini adalah acara paling ramai untuk orang Indonesia, jauh melebihi acara Indonesia lainnya. Ada semacam magnet dari keduanya sehingga banyak sekali yang hadir dan berkontribusi. Mulai dari bakso sampai gule kepala kambing (yang terakhir sangat jarang sekali ditemui, membayangkan cara membikinnya saja sudah pusing 😆 ).

Continue reading “Geby, Gita, Toadhall”